Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saya takut kalau ada setan lewat

Wawancara tempo dengan sri sultan hamengku buwono x tentang perasaannya tatkala melihat sambutan masyarakat pada upacara kirab, soal protokoler, manajemen dalam pengelolaan keraton, gaji abdi dalem, dll.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBUTAN masyarakat membludak tatkala kirab berlangsung. Bagaimana perasaan Ngarso Dalem tatkala melihat sambutan itu? Kedatangan masyarakat pada kirab itu, saya kira, dengan berbagai motivasi. Bisa saja mereka datang sekadar untuk menyaksikan suatu penampilan tradisi budaya. Atau kaum tua yang tradisional untuk ngalap berkah. Sedang yang muda mungkin sekadar untuk nonton saja. Walau begitu, saya terharu. Ketika pemakaman Sultan Hamengku Buwono IX, sambutan mereka juga luar biasa, tapi begitu tenang dan khusyuk. Sedang ketika kirab, sambutan mereka meriah. Saya terharu, karena ini merupakan tantangan bagi diri saya. Dalam arti, Insya Allah, saya bisa melaksanakan apa yang menjadi kewajiban saya. Mudah-mudahan kehadiran saya membawa manfaat bagi mereka. Apakah sambutan yang meriah itu suatu bukti legitimasi Anda sebagai pemimpin Yogyakarta? Mungkin betul seperti itu. Saya harapkan, dalam kondisi begitu, ada komunikasi dua arah. Artinya, masyarakat tidak membuat jarak dengan saya untuk berkomunikasi. Jangan sampai mereka sungkan karena terlalu meninggikan saya, sehingga komunikasi jadi terhambat. Apakah sambutan itu juga merupakan pertanda bahwa keraton masih besar pengaruhnya? Zaman sudah berubah. Konstelasi juga berbeda. Yang penting: bagaimana agar saya tidak lupa pada konsistensi sikap pengabdian saya selama ini. Memang banyak harapan masyarakat agar saya bisa melakukan apa yang saya katakan dalam pidato saya. Sebenarnya bukan hanya mereka yang khawatir. Saya sendiri khawatir, dengan perubahan fungsi saya ini saya bisa jauh dengan mereka. Saya takut kalau ada setan lewat .... Ketika kirab, Anda tampak tegang .... Tegang itu kan karena saya belum pernah melakukan. Saya tidak ingin apa yang saya lakukan keliru, yang mungkin bisa menimbulkan interpretasi macam-macam. Ada yang menduga, Ratu Kidul ikut kirab, sehingga Anda duduk agak mepet. Apa memang merasakan hal itu? Itu terserah anggapan orang. Tapi bagi saya, tidak perlu setiap orang tahu apa yang saya alami. Tidak mesti saya beri tahu hal-hal seperti itu pada semua orang. Konon, Ngarso Dalem pernah dihubungi Ratu Kidul sebelumnya. Ah, itu tidak tahu saya. Apakah Anda akan tetap bermain tenis di Madukismo atau berenang di Hotel Ambarrukmo setelah kini menjadi Sultan? Oh, itu biasa. Tidak ada masalah. Lha, kalau saya mengubah diri, wee ... malah saya yang susah. Tapi kan ada soal protokoler dan ada batasan-batasannya. Ah, tidak. Kalau saya buat protokoler, kan berarti saya menumbuhkan gap sendiri. Batasan-batasan itu kan kita ciptakan sendiri atau diciptakan orang. Kalau kita tidak menciptakan, mungkin akan diciptakan orang. Nah, kita bisa menerobos itu nggak? Jadi, Anda akan tetap jajan di warung atau makan lesehan di Malioboro seperti dulu? Ya, tetap. Tidak ada masalah. Malah saya harap pada masyarakat, kalau melihat saya jajan di pinggir jalan, jangan berpikir, "Wah, Pak Sultan kok jajan di emper Malioboro". Saya mohon jangan berkomentar begitu. Kalau hal seperti itu pun dimasalahkan, nanti kan malah menimbulkan gap dan bisa menghambat komunikasi kita. Maunya saya, ya, seperti biasa, tidak berubah. Sebagai pengayom semua golongan, apakah jabatan Ketua DPD Golkar DIY akan Anda lepaskan? Oh, tidak. Sebagai pengayom itu memang kewajiban saya. Selama ini, selaku Ketua DPD Golkar, saya punya porsi yang baik dengan PDI dan PPP. Sebagai pimpinan tertinggi keraton, apakah Anda akan menerapkan suatu manajemen baru dalam pengelolaan keraton? Dalam waktu yang dekat ini, saya belum bisa memikirkan bagaimana operasionalnya. Yang jelas keraton akan dikelola dengan lebih baik, lebih tertib, dan lebih profesional. Konsolidasinya sedikit demi sedikit telah dilakukan, tanpa meninggalkan aspek sosial yang diemban keraton. Misalnya, penduduk yang menggunakan tanah keraton untuk magersari (menumpang tinggal -- Red.), kalau dulu sewanya hanya Rp 10, akan disesuaikan dengan nilai sekarang. Ini bukan berarti kalau dikelola secara profesional lalu sewa tanah itu tinggi. Kalau tinggi kenaikannya, nanti malah akan menimbulkan konflik yang menyangkut aspek sosial keraton. Sekarang, bagaimana sewa itu naik dengan tetap diwarnai pengabdian kemasyarakatan dan aspek sosialnya. Bagaimana dengan kesejahteraan abdi dalem yang selama ini gajinya kecil? Dari manajemen dan kondisi yang lebih baik, kami bisa berharap akan berpengaruh pada aspek intern, yaitu kesejahteraan akan lebih baik. Tentang pengelolaan keraton tadi, apakah nilai-nilai tradisional akan dipertahankan? Saya kira tidak akan ada perubahan mendasar, mungkin (yang berubah) hanya masalah teknisnya. Yang penting segala makna filosofis dengan segala simbol-simbolnya yang ada tidak berubah, karena justru faktor filosofis dan spiritual inilah yang menentukan. Jadi, saya wajib mempertahankannya. Tapi karena perubahan zaman, ada hal-hal yang dikurangi. Misalnya kalau ada sesaji yang dulu memakai satu kilogram beras, mungkin nanti memakai setengah kilogram saja. Zaman memang sudah berubah. Tapi apakah orang akan berubah juga keyakinan spiritualnya. Saya tidak yakin itu. Karena intinya: orang percaya pada Tuhan, dan cara untuk dekat dengan Tuhan bermacam-macam. Apakah itu harus dilarang? Tidak bisa. Wong, itu keyakinan kok. Hakikat spiritualnya, kita mohon pada Tuhan untuk mendapatkan berkah. Tapi ini bukan dalam pengertian mistik, lho. Mungkin ada perubahan sikap pada soal tradisi ini antara Anda yang haji dan Sultan sebelumnya. Saya kira tidak ada perbedaan sikap. Karena haji saya itu sejalan dan menyatu dengan tugas dan fungsi saya sebagai Ngabdurakhman Sayidin Panoto Gomo Khalifatullah. Justru saya berharap, haji saya itu bisa memberi warna yang lebih baik dalam memperbaiki moral yang tidak baik. Ekstremnya, makin orang berpendidikan, makin banyak membaca buku agama, makin baiklah moralnya. Tapi perlu dipertanyakan juga, apakah betul begitu logikanya. Misalnya orang yang minum air cucian kereta (keraton) itu, apakah kecenderungannya bertambah atau berkurang? Kalau bertambah, berarti mereka belum benar melaksanakan keyakinan agamanya, kalau agamanya menganggap itu sebagai larangan. Tetapi bagi saya, sulit untuk melarang orang berbuat demikian. Misalnya, nanti kalau ada kereta yang dicuci, saya bilang: tidak boleb minum air itu ... tidak boleh mendekat .... Itu berarti saya berbuat sesuatu yang menimbulkan konflik dengan masyarakat, yang seharusnya saya dorong untuk lebih riil memandang realitas, tapi bukan dengan cara melarang itu. Tapi bukankah tradisi minum air bekas cucian kereta itu bertentangan dengan Islam? Bagi saya, memang benar itu syirik menurut agama Islam. Tapi saya juga tidak bisa memungkiri keyakinan individu, bahwa mereka yang minum air bekas cucian itu mempunyai alasan sendiri mengapa mereka melakukan itu. Saya tidak memaksakan orang harus begini, harus beitu. Tidak bisa. Itu keyakinan orang, kok. Apakah mungkin akan ada dualisme kepemimpinan di Yogya karena Sultan sekarang bukan sekaligus gubernur? Saya kira tidak, sebab batas-batas kewenangan dan kewajibannya memang berbeda. Andai kata ada masyarakat yang mengadu kepada saya, misalnya, saya sendiri tahu batas-batas kewenangan dan kewajiban itu. Akan saya komunikasikan keluhan masyarakat itu pada pihak yang berwenang. Tentang jabatan Sultan, apakah Anda memandangnya sebagai suatu panggilan, tugas, kewajiban, atau apa? Saya kira dalam pidato saya sudah jelas, bahwa pada dasarnya tidak ada alternatif lain. Artinya itu adalah tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dalam kaitan ini, saya mengingatkan diri saya sendiri, agar saya tidak lupa diri, tidak arogan, dan tidak menjauhkan diri dari masyarakat, dan sedikit-sedikit bisa membawa manfaat bagi kepentingan masyarakat. Keseimbangan ini yang harus saya jaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus