SEBUAH bendera Merah Putih kecil, yang enggan berkibar, tampak terpasang di sebuah atap rumah yang menyembul di tengah genangan air. Sujiem, janda tua pemilik rumah itu, telah mengucapkan "selamat tinggal" pada rumah, pekarangan, tanaman singkong, dan pohon pisangnya. Sujiem memang tidak bisa berbuat lain. Permukaan air Waduk Kedungombo terus merangkak naik. Dan Desa Ngrakum, Kecamatan Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, tempat Sujiem tinggal, semakin terendam. Air waduk itu terus bergerak naik, dengan laju 20-50 cm sehari. Akhir pekan lalu, air telah sampai pada elevasi 79,5, dan akan mencapai elevasi 86 akhir 1989 ini. Setahun kemudian, seluruh areal waduk bakal terendam total. Sekitar 70 keluarga masih tetap bertahan di Ngrakum, 120 di ataranya anak usia SD. Mereka kini terpaksa harus berpisah dengan bangku sekolah. Gedung sekolah di desanya telah terendam, sehingga mereka harus pergi sekolah ke desa lain. Itulah yang membuat anak-anak itu lebih suka membolos. Maklum, "Jalan ke sekolah terhalang air," ujar Ngadimin, 29 tahun, seorang penduduk desa. Kerinduan akan hari-hari sekolah dialami pula oleh Sujasmin, 13 tahun, bekas siswa kelas 6 di SD Ngrakum. "Jika Pak Guru bersedia datang kemari, kami masih mau masuk sekolah," ujarnya. Kini anak-anak desa itu melewatkan hari-harinya dengan bermain air di pinggir waduk itu. Proses penggusuran di kawasan waduk itu memang alot. Dari 5.391 KK pemukim di kawasan seluas 60 km2 (37 desa) itu, menurut angka resmi, masih ada sekitar 1.600 KK yang bertahan. Desa-desa di situ memang harus digusur untuk memberikan tempat bagi 723 juta meter3 air. Selain berperan sebagai pengendali banjir, dari waduk senilai Rp 131,8 milyar itu bisa dipetik listrik 22,5 MW. Proyek Kedungombo itu telah ditangani sejak 1981. Sebagian besar penduduk telah pindah ke daerah lain atau bertransmigrasi. Tapi ganti rugi yang ditawarkan -- Rp 730/m2 untuk tanah pekarangan, Rp 400 untuk sawah, dan Rp 360 untuk tegalan -- tak bisa diterima oleh sebagian penduduk, karena dianggap terlalu kecil. Mereka nekat bertahan di desanya, kendati sejak Januari lalu penggenangan mulai dilakukan. Akibatnya pun jelas, mereka harus mendiami desa yang terkepung air. Suasana muram itulah yang menggugah niat budayawan Yogya, Y.B. Mangunwijaya, yang biasa dipanggil Romo Mangun, untuk membuat pos bantuan kemanusiaan di situ, terutama untuk anak-anak. "Kami hanya ingin mempraktekkan kesetiaan sosial," ujar Romo Mangun. Gagasan Romo Mangun itu ternyata mendapat banyak dukungan, antara lin dari Prof. Dr. Slamet Rahardjo, guru besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang Kyai Hamam Djafar dari Pondok Pesantren Pabelan dan Romo Peter Smith dari Solo. Sebagai pribadi, mereka menghimpun diri dan membentuk sebuah panitia. Jumlah bantuan yang dikumpulkan Romo Mangun dkk. sudah cukup banyak. "Tapi bantuan itu akan kami salurkan sendiri, tidak lewat pemda," kata Romo Mangun. Alasannya, kalau lewat pemda tidak jalan, karena antara warga Kedungombo dan pemda sudah ada kesenjangan komunikasi. Apa pun dalih Romo Mangun, Gubernur Jawa Tengah Ismail berkehendak lain. "Dengan berbagai pertimbangan yang tidak perlu saya sebutkan, saya tidak mengizinkan Romo Mangun melakukan kegiatan di lokasi genangan itu," ujar Gubernur Ismail kepada TEMPO. Bahkan Ismail melarang pula Romo Mangun dkk. merambah kawasan Kedungombo. Alasannya, daerah genangan itu telah ditetapkan sebagai kawasan terlarang bagi orang luar. Larangan itu disampaikan langsung oleh Ismail kepada Romo Mangun, Jumat pekan lalu, tatkala Romo Mangun dkk. menghadap Gubernur untuk meminta izin. Menurut Ismail, sudah banyak upaya pemerintah untuk membantu masyarakat Kedungombo. Di antaranya menyediakan tempat penampungan di Desa Kayen. "Di desa itu semua fasilitas kebutuhan masyarakat sudah tersedia. Di sana ada sekolah, pasat, puskesmas," ujarnya. Jika Romo Mangun ingin melakukan kegiatan sosial di Kayen, Ismail akan mengizinkan. Tentang nasib 3.500 anak Kedungombo yang disinyalir Romo Mangun sangat menyedihkan karena pendidikannya telantar dan kesehatannya tak terjaga, Ismail membantah. "Ah, itu terlalu didramatisir." Berbagai pertimbangan yang tidak disebut oleh Ismail itu, boleh jadi, memang menyangkut urusan politik. Gubernur Ismail, menurut Romo Mangun, menuduh mereka yang menolak ganti rugi itu eks tahanan politik (ET) atau eks anggota organisasi terlarang (OT). Tuduhan ET dan OT itu ditolak oleh Romo Mangun, yang telah beberapa kali meninjau daerah genangan itu. "Tidak betul, itu dibikin-bikin karena penduduk tak mau tetima uang ganti rugi," ujarnya. Bagi proyek kemanusiaannya, status OT atau bukan, tak jadi soal. "Menolong orang sengsara tak perlu memandang kawan atau lawan," ujarnya. Kini Romo Mangun berniat meminta jalan lewat pejabat lain, termasuk Mendagri Rudini. Beberapa pekan lalu, Rudini memang menyatakan tak keberatan terhadap rencana aksi sosial Romo Mangun dkk. "Kalau sekadar membantu, nggak apa-apa. Asal jangan mempolitisir Kedungombo," ujar Rudini kepada TEMPO Senin pekan ini. Namun, mengenai penolakan Gubernur Ismail, Rudini berkomentar, "Gubernur memang punya kewenangan untuk mengatur Kedungombo. Sabtu pekan lalu, 15 mahasiswa Semarang yang tergabung dalam "Karya Bakti Mahasiswa untuk Masyarakat Kedungombo" mendatangi gedung Setwilda Ja-Teng, di Semarang. Mereka menyatakan keprihatinan atas penolakan Gubernur Ismail terhadap rencana aksi kemanusiaan Romo Mangun. "Kami bukan di bawah koordinasi Romo Mangun. Namun, kami adalah relawan/relawati yang mendukung aksi kemanusiaan Romo Mangun," kata Gunawan Budi Susanto, juru bicara kelompok itu. Wajah Desa Ngrakum sendiri tak mengesankan sebuah komunitas yang melarat. Padi bisa ditanam dua kali setahun, dengan sisipan tanaman palawija. Kini setiap sore penduduk berkumpul dan memandangi air waduk yang kian mendekat. Apa yang terjadi kalau air kian meninggi? "Kami masih punya Tuhan," kata Ngadimin.Kastoyo Ramelan, Putut Tri Husodo, Heddy Lugito, dan Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini