PESTA agung itu telah usai. Tak terdengar lagi denting gamelan ditabuh. Bangsal-bangsal di Sitihinggil kembali lengang. Keraton Kasultanan Yogyakarta telah berangsur kembali ke suasana sehari-hari. Ngarso Dalem Sultan Hamengku Buwono X pun telah menanggalkan ageman keprabon (busana kebesaran), dan kembali mengenakan pakaian "orang biasa" di kediamannya, di Keraton Kilen (Barat). "Ngarso Dalem kecapekan," ujar seorang abdi istana akhir pekan lalu. Tampaknya, itu bisa dimengerti. Jumenengan (penobatan) HB X sebagai Sultan, Selasa pagi pekan lalu, memang harus melewati serangkaian upacara yang melelahkan, sejak seminggu sebelumnya. Puncak acara jatuh pada hari jumenengan itu. Pada hari itu, K.G.P.H. Mangkubumi tampil dalam ageman keprabon, dengan celana panjang bermotif cinde merah, yang dibalut dengan kain kampuh Parangbarong. Di pinggang sang pangeran terselip keris pusaka Kanjeng Kyai Kopek. Dengan baju hitam dihias benang-benang emas, dan kuluk mahkota warna biru, Mangkubumi menjalani upacara jumenengan itu. Upacara jumenengan yang berlangsung selama satu jam itu berlangsung sangat khidmat dan rapi, padahal tanpa harus diantar oleh pembawa acara. Semuanya seakan berjalan secara otomatis. Gamelan, misalnya, berbunyi tepat pada menit yang ditentukan. Acara demi acara pun mengalir lancar. Peristiwa itu juga melahirkan sebuah lembaran baru dalam tradisi keraton: upacara itu dibuka dengan pembacaan surah Al Imran dan Al Fatikhah, oleh Qori Haji Muammar Zainal Asyikin, dosen Institut Ilmu Quran (IIQ) Jakarta, yang pernah menjadi juara MTQ Internasional di Kuala Lumpur (1981). Pembacaan Quran ini tak pernah dilakukan pada upacara jumenengan sembilan sultan sebelumnya. Usai pembacaan ayat Quran, undhang (maklumat) dibacakan, dalam bahasa Jawa Keraton: Pangeran Mangkubumi dinyatakan sebagai putra mahkota. Setelah itu, dinyatakan bahwa sang putra mahkota dinobatkan sebagai Hamengku Buwono. Sebuah bintang pusaka bersudut delapan pun disematkan di dada kirinya oleh pangeran tertua, Poeroebojo. Lalu, dengan pelan, Mangkubumi melangkah ke dampar kencono (singgasana), diiringi gending Kodok Ngorek dan Monggang. Setelah itu, sejumlah keputusan raja baru itu diumumkan. Antara lain menganugerahkan gelar Kanjeng Ratu Hemas bagi sang permaisuri. Pada kesempatan itu, dimaklumatkan pula peringkat para bangsawan di istana. Di Keputren, misalnya, K.R.A. Nindyokirono, atau Ny. Norma, berada pada peringkat ke-4, setelah Kanjeng Ratu Hemas, K.R.A. Pintoko Purnomo, dan K.R.A. Hestungkoro. Puncak keramaian justru terjadi sehari setelah jumenengan, pada upacara kirab, saat mana Sultan baru mengelilingi benteng keraton dengan kereta Kyai Garuda Yeksa, untuk memperkenalkan diri pada rakyat. Ratusan ribu manusia tumplek-bleg di jalan-jalan yang hendak dilewati Sang Garuda Yeksa. Tak mengherankan bila upacara itu mengundang membanjirnya lautan massa. Kirab terakhir dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX pada 1940. Bisa pula dimengerti bila atraksi langka itu menarik minat penduduk luar Yogya. "Saya sengaja datang ke Yogya untuk melihat wajah Ngarso Dalem," ujar Partorejo, 59 tahun, ketua rombongan dari Kebumen, sekitar 100 km sebelah barat Yogya. "Biar keluar ongkos, tapi saya puas bisa mendapat sawab dari Kanjeng Sinuwun," ujar anggota rombongan lain. Iring-iringan panjang HB X itu harus berjalan membelah lautan manusia, sepanjang 5 km. Pangeran Yudaningrat, adik HB X, bertindak sebagai manggalayuda. Ia memimpin iring-iringan raja baru itu, dengan menunggang kuda hitam gagah dan sebilah pedang di tangan. Enam bregodo (brigade) prajurit keraton menyusul di belakangnya. Permaisuri Ratu Hemas tak ikut serta dalam rombongan kereta kencana itu meski semula HB X menginginkannya. Selama kirab berlangsung, ia hanya bisa menunggu di Bangsal Pagelaran. Maklum, ada kepercayaan di lingkungan keraton, bahwa pada acara resmi itu kedudukan permaisuri digantikan oleh "permaisuri" yang lain, yakni Ratu Roro Kidul. Memang, kehadiran Nyi Roro Kidul, sang penguasa Laut Selatan, tak bisa disaksikan oleh massa di pinggir jalan. Namun, G.B.P.H. Prabukusumo, adik HB X yang berkuda mendampingi Kyai Garuda Yeksa, yakin bahwa sesuatu yang gaib telah terjadi di awal kirab. Ketika Garuda Yeksa sampai di perempatan Kantor Pos, beberapa ratus meter dari keraton, tiba-tiba ia melihat bayangan wanita mengenakan kebaya kuning-kehijauan, mirip yang dikenakan Kanjeng Ratu Hemas, terbang melintas, di atas peserta kirab dan penonton, dari arah barat. "Bayangan itu kemudian masuk ke dalam kereta Kyai Garuda Yeksa, yang di dalamnya duduk Ngarso Dalem," ujarnya. Ketika bayangan itu kian mendekat, kudanya meronta. "Saya kehilangan kontrol," kata Prabukusumo. Lalu, bersama kuda tunggangannya, ajudan HB X itu terjatuh. "Tapi saya tidak terluka sedikit pun," tuturnya. Namun demikian, ia tak berani memastikan apakah bayangan wanita itu Sang Ratu Laut Kidul atau siapa. Iring-iringan kereta pun bergerak membelah massa. Di antara mereka ada yang menunduk dan memberikan sembah, ketika Garuda Yeksa melintas. Anak-anak kecil pun, yang lahir di zaman maju, ini, memberikan sembah dalam bentuk yang lain. "Daag ..., Kanjeng Sultan," begitu anak-anak itu menyapa rajanya, sembari melambaikan tangan. Di tempat lain, sekelompok massa meneriakkan yel-yel, "Hidup Sultan." Sambutan hangat dari massa yang membludak itulah yang agaknya membuat wajah HB X, yang semula tegang, berubah jadi cerah. Tampaknya, Sultan baru ini gembira dan lega bahwa kehadirannya di puncak pimpinan keraton diterima oleh masyarakat. Maka, HB X yang sore itu mengenakan kostum keprajuritan, hitam-hitam dengan kuluk Kanigoro warna hitam pula, tampak bersemangat melambai-lambaikan tangan ke arah massa. Arak-arakan agung, yang juga diramaikan oleh beberapa grup drum band dan marching band itu, kembali ke keraton pukul 18.30. Iring-iringan panjang itu pun bubar. Sebuah kirab yang benar-benar sukses telah usai dipentaskan. Boleh jadi, sebagian massa menonton acara itu karena sekadar ingin melihat wajah raja baru dan kereta-kereta istana. Pada sisi lain, upacara itu juga bisa mengukur pamor sang raja baru. Peristiwa itu pun telah mengguratkan bukti, bahwa HB X populer. "Ia raja yang baik dan merakyat. Saat beberapa orang cedera sewaktu menyaksikan iringan pemakaman ayahnya, Pangeran Mangkubumi datang menengok ke rumah sakit dan malahan menanggung segala biaya pengobatan mereka," ujar seorang tukang becak. Menjelang upacara jumenengan akbar itu, banyak orang bertanya, buat apa lagi kedudukan Sultan di wilayah republik ini. Dalam pidato perdananya, di ujung upacara jumenengan, pertanyaan itu dijawab HB X sendiri, "Buat apa takhta dan menjadi Sultan apabila tak memberi manfaat bagi masyarakat?" Jawaban ini mengundang tepuk riuh dari tamu dan abdi dalem. Pertanyaan itu, menurut HB X, selalu mengusik hati nuraninya. Jawabannya adalah pertanggungjawabannya dalam kesadaran berbangsa dan bernegara. Sultan mengatakan, ia sangat menyadari posisinya sebagai Sultan di zaman kemerdekaan ini. HB IX dihargai masyarakatnya berkat pendapatnya "Takhta untuk Rakyat". Katanya, "Bila masyarakat mengharapkan hal yang sama, tentu saja tidak mungkin saya dapat lakukan sebagaimana bapak dan guru saya telah mencurahkan." Ngarso Dalem, dalam pidato itu, mengacu pada amanat leluhurnya seperti yang terkandung dalam seuntai kata Hamengku Buwono. "Hamengku Buwono menyandang tiga substansi," ujar Sultan baru itu, yaitu, "Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni." Hamangku berarti lebih banyak memberi daripada menerima. Hamengku punya makna ngemong, mengayomi, dan Hamengkoni yang berarti memberikan keteladanan. "Sebagai generasi penerus, saya ora mingkuh (tidak membelok) dari etos kejuangan pendiri keraton, Pangeran Mangkubumi I," ujar HB X. Untuk mengamalkan etos kejuangan leluhur itu, HB X bertekad meneruskan gagasan HB IX untuk, "Menata Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia, dalam wawasan integral Budaya Nusantara," dengan keraton sebagai pusat budaya. Inspirasi, kreativitas, dan aspirasi masyarakat, kata HB X ini, bersumber dari soal budaya. Di mata sejarawan UGM Dr. Kunto Wijoyo, kehadiran seorang Sultan, dalam sosoknya sebagai pemimpin informal, tetap bisa sejalan dengan kepentingan pembangunan. "Tokoh seperti itu masih diperlukan untuk merangsang dinamika masyarakat," ujarnya. Massa menyambut jumenengan dan kirab, dalam pandangan Kunto Wijoyo, "Tidak sekadar cari hiburan atau hura-hura." Antusias massa itu, menurut Kunto, merupakan indikasi bahwa orang Jogya tetap menginginkan "keistimewaan" di daerahnya. "Istimewa dalam hal budaya, misalnya, atau punya sultan," ujarnya. Namun, masih belum jelas, apakah mereka juga ingin HB X mewarisi "keistimewaan" ayahandanya, sebagai kepala daerah DIY?Laporan: I Made Suarjana, Kastoyo Ramelan, Aries Margono, dan Slamet Subagyo (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini