Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sebuah Polder Telah Sia-sia

Sebuah irigasi polder yang dibangun untuk mengairi sawah penduduk & transmigran Jawa di hilir sungai Kahayan, Kal-Teng sudah tidak berfungsi lagi. (dh)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH 20 tahun lamanya rakyat di hilir Sungai Kahayan menunggu manfaat pembangunan polder oleh PU di sana. Ketika seluruh pulau Kalimantan masih merupakan satu propinsi, seorang insinyur pertanian bangsa Belanda, H.J Schophuys, punya ide membangun sistim irigasi polder seperti di negeri asalnya. lde itu diterima oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Propinsi Kalimantan waktu itu. Maka digalilah terusan-terusan dan tanggul-tanggul berikut pompa sedot dan pembuangnya, yang keseluruhannya dikenal sebagai Polder Mentaren. Letaknya di seberang Kampung Buntoi sekitar 50 km dari muara Kahayan, diutara Anjir (Terusan) Basarang yang menghubungkan S. Kahayan dengan S. Kapuas. Proyek itu cukup kolosal. Di atas kertas, 2435 Ha persawahan akan dialiri dengan air Sungai Kahayan melalui polder itu. Tapi nyatanya, mungkin separuh dari kapasitas yang direncanakan belum tercapai. Transmigran dari Jawa yang ditempatkan di sana, lebih banyak menggantungkan nasib pada hujan. Begitu pula petani-petani suku Dayak Ngaju, yang sawah tradisional mereka banyak terambil oleh proyek polder itu. Pintu air banyak yang sudah berkarat tanpa katup. Saluran induk pembagi air banyak yang sudah diendapi lumpur, tumbuh-tumbuhan dan tak berfungsi menyalurkan air ke sawah penduduk Sementara tanah tanggul yang pemba ngunannya dimulai 1950, di sana-sini sudah runtuh dan air sungai terus merembes menembus tanggul. "Tanggul itu, sebagian besar hanya terbuat dari batang-batang kayu yang dilapisi tanah. Jadi bukan tanah antero yang sudah dipadatkan. Makanya air bisa merembes tembus," tutur bekas Pambakal (Kepala Kampung) Buntoi, J. Mahar kepada pembantu TEMPO G.Y. Adicondro yang berkunjung ke sana dua minggu lalu. Ini baru diketahuinya pada 19O7, ketika sebagai Pambakal waktu itu dia ikut mengawasi pembuatan beberapa turap (pintu air) serta perbaikan tanggul yang bocor. Kontan dia protes, minta konstruksi tanggul model begitu diperbaiki dulu. Namun protesnya tak dihiraukan orang-orang PU. Malah Buterpra di kecamatan itu memarahi Mahar. Karena itu Mahar yang juga merupakan tokoh agama setempat masih risau terhadap keadaan tanggul itu. Soalnya, banyak petani Buntoi yang tadinya bersawah di Basarang, kini berusaha kembali ke sawah asalnya di seberang kampungnya yang termasuk kawasan polder itu. "Tanah di sepanjang Anjir Basarang sudah semakin masam, sehingga percuma saja ditanami terus," kata Mahar. Polder Raksasa Keterangan Mahar itu dibenarkan Bigan Nara (40 tahun), seorang petani Buntoi. Dia ini sudah 13 tahun bersawah di Basarang dengan hanya dibantu oleh isterinya. "Tapi 4 tahun terakhir, airnya semakin masam. Padi tak dapat ditanam lagi, sehingga tahun-tahun terakhir itu kami hanya menanam jawan (ubi kayu)," tutur isteri Nara. Makanya sudah dua tahun lamanya mereka mencoba bersawah lagi di kawasan polder Mentaren. Sambung suaminya: "Di sini airnya tidak masam, tapi rumputnya banyak. Sulit membajaknya, karena kekurangan air." Hasilnya, "satu borongan (10 x 10 depa), cuma dapat 4 blik (20 liter) gabah," sahut Ny. Nara. Padahal di sawah yang terairi dengan baik, 1 borongan bisa menghasilkan sampai 10 kaleng. Keadaan sawah para transmigran yang diapit sawah penduduk asli di sana, tak jauh berbeda. Dari 34 keluarga yang berbanjar sepanjang Raai VII misalnya, hanya 12 rumah yang hasil padinya rada lumayan. "Rata-rata 5 kaleng/borong," kata seorang ibu asal Tulungagung, Jawa Timur. Itu lantaran tanah sawah 12 keluarga itu sedikit lebih rendah (sehingga rumah mereka pun sering kebanjiran sehabis hujan lebat). Sedang tanah sawah ke-22 keluarga transmigran lainnya di Raai VII, hasil gabahnya hanya 2 - 3 kaleng/borong. Namun karena tak selalu tergenang air, yang hasil padinya kurang itu lebih sukses dalam penanaman sayurmayur dan ketela. Pokoknya, mereka semuanya hanya tergantung hujan, tanpa saluran pembuang yang semestinya. Kini Dr Schophuys yang sudah berdomisili di Bogor punya rencana lebih fantastis membangun polder raksasa yang menghubungkan Sungai Kahayan, Kapuas dan Barito yang dapat dinikmati oleh 75 ribu keluarga petani dan 200 ribu keluarga nelayan di Kal-Teng dan Kal-Sel. Untuk itu sang profesor sudah membentuk yayasan dan berusaha mencari dana sekitar 200 ribu gulden dari Belanda. Sementara itu, nasib Polder Mentaren masih belum jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus