LEBIH 20 tahun lamanya rakyat di hilir Sungai Kahayan menunggu
manfaat pembangunan polder oleh PU di sana. Ketika seluruh pulau
Kalimantan masih merupakan satu propinsi, seorang insinyur
pertanian bangsa Belanda, H.J Schophuys, punya ide membangun
sistim irigasi polder seperti di negeri asalnya. lde itu
diterima oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Propinsi
Kalimantan waktu itu.
Maka digalilah terusan-terusan dan tanggul-tanggul berikut pompa
sedot dan pembuangnya, yang keseluruhannya dikenal sebagai
Polder Mentaren. Letaknya di seberang Kampung Buntoi sekitar 50
km dari muara Kahayan, diutara Anjir (Terusan) Basarang yang
menghubungkan S. Kahayan dengan S. Kapuas.
Proyek itu cukup kolosal. Di atas kertas, 2435 Ha persawahan
akan dialiri dengan air Sungai Kahayan melalui polder itu. Tapi
nyatanya, mungkin separuh dari kapasitas yang direncanakan belum
tercapai. Transmigran dari Jawa yang ditempatkan di sana, lebih
banyak menggantungkan nasib pada hujan.
Begitu pula petani-petani suku Dayak Ngaju, yang sawah
tradisional mereka banyak terambil oleh proyek polder itu. Pintu
air banyak yang sudah berkarat tanpa katup. Saluran induk
pembagi air banyak yang sudah diendapi lumpur, tumbuh-tumbuhan
dan tak berfungsi menyalurkan air ke sawah penduduk Sementara
tanah tanggul yang pemba ngunannya dimulai 1950, di sana-sini
sudah runtuh dan air sungai terus merembes menembus tanggul.
"Tanggul itu, sebagian besar hanya terbuat dari batang-batang
kayu yang dilapisi tanah. Jadi bukan tanah antero yang sudah
dipadatkan. Makanya air bisa merembes tembus," tutur bekas
Pambakal (Kepala Kampung) Buntoi, J. Mahar kepada pembantu TEMPO
G.Y. Adicondro yang berkunjung ke sana dua minggu lalu. Ini baru
diketahuinya pada 19O7, ketika sebagai Pambakal waktu itu dia
ikut mengawasi pembuatan beberapa turap (pintu air) serta
perbaikan tanggul yang bocor. Kontan dia protes, minta
konstruksi tanggul model begitu diperbaiki dulu. Namun
protesnya tak dihiraukan orang-orang PU. Malah Buterpra di
kecamatan itu memarahi Mahar.
Karena itu Mahar yang juga merupakan tokoh agama setempat masih
risau terhadap keadaan tanggul itu. Soalnya, banyak petani
Buntoi yang tadinya bersawah di Basarang, kini berusaha kembali
ke sawah asalnya di seberang kampungnya yang termasuk kawasan
polder itu. "Tanah di sepanjang Anjir Basarang sudah semakin
masam, sehingga percuma saja ditanami terus," kata Mahar.
Polder Raksasa
Keterangan Mahar itu dibenarkan Bigan Nara (40 tahun), seorang
petani Buntoi. Dia ini sudah 13 tahun bersawah di Basarang
dengan hanya dibantu oleh isterinya. "Tapi 4 tahun terakhir,
airnya semakin masam. Padi tak dapat ditanam lagi, sehingga
tahun-tahun terakhir itu kami hanya menanam jawan (ubi kayu),"
tutur isteri Nara. Makanya sudah dua tahun lamanya mereka
mencoba bersawah lagi di kawasan polder Mentaren. Sambung
suaminya: "Di sini airnya tidak masam, tapi rumputnya banyak.
Sulit membajaknya, karena kekurangan air."
Hasilnya, "satu borongan (10 x 10 depa), cuma dapat 4 blik (20
liter) gabah," sahut Ny. Nara. Padahal di sawah yang terairi
dengan baik, 1 borongan bisa menghasilkan sampai 10 kaleng.
Keadaan sawah para transmigran yang diapit sawah penduduk asli
di sana, tak jauh berbeda. Dari 34 keluarga yang berbanjar
sepanjang Raai VII misalnya, hanya 12 rumah yang hasil padinya
rada lumayan. "Rata-rata 5 kaleng/borong," kata seorang ibu asal
Tulungagung, Jawa Timur. Itu lantaran tanah sawah 12 keluarga
itu sedikit lebih rendah (sehingga rumah mereka pun sering
kebanjiran sehabis hujan lebat). Sedang tanah sawah ke-22
keluarga transmigran lainnya di Raai VII, hasil gabahnya hanya 2
- 3 kaleng/borong. Namun karena tak selalu tergenang air, yang
hasil padinya kurang itu lebih sukses dalam penanaman sayurmayur
dan ketela. Pokoknya, mereka semuanya hanya tergantung hujan,
tanpa saluran pembuang yang semestinya.
Kini Dr Schophuys yang sudah berdomisili di Bogor punya rencana
lebih fantastis membangun polder raksasa yang menghubungkan
Sungai Kahayan, Kapuas dan Barito yang dapat dinikmati oleh 75
ribu keluarga petani dan 200 ribu keluarga nelayan di Kal-Teng
dan Kal-Sel. Untuk itu sang profesor sudah membentuk yayasan
dan berusaha mencari dana sekitar 200 ribu gulden dari Belanda.
Sementara itu, nasib Polder Mentaren masih belum jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini