TIDAK hanya binatang yang rupanya perlu perlindungan. Juga
penduduk Pulau Enggano di Samudra Indonesia itu, agar tidak
punah sama sekali. Terutama penduduk asli pulau itu.
Di tengah kegiatan program nasional Keluarga Berencana, ternyata
pulau yang luasnya 68.000 hektar itu sekarang hanya berpenghuni
1.011 jiwa. Dari jumlah itu, "yang asli tinggal 800 jiwa,
sisanya adalah kaum pendatang," kata Nyonya Penny Tambunan
Manalu yang jadi Ketua Panitia Malam Dana Enggano di Senayan
pertengahan April lalu. Pulau ini termasuk wilayah Propinsi
Bengkulu.
Beberapa tahun lalu, memang pernah ada usaha untuk menambah
penduduk pulau itu dengan mendatangkan gelandangan dari Jakarta.
Waktu itu (1962) Jakarta menghadapi Asian Games. Supaya kota
tampak bersih, Menteri Sosial waktu itu telah mengirim 1500
gelandangan (terdiri dari 200 kepala keluarga dan 100 bujangan)
ke Enggano. Sebagian besar dari mereka ternyata tidak betah
tinggal di pulau yang sepi tersebut dan berusaha menyeberang
kembali ke pulau induk Sumatera, kemudian kembali ke Jawa.
Sebagian lagi meninggal terserang penyakit dan kekurangan
pangan. Menurut catatan terakhir, dari umlah 1500 gelandangan
itu, sekarang tinggal 20 orang.
Dari sederetan pulau di sebelah barat Sumatera, Pulau Enggano
cukup menarik perhatian kaum ilmiawan. Pada tahun 1770,
penduduknya masih mempergunakan kapak batu, sementara kawasan
lainnya yaitu Jawa dan Sumatera telah prigel mempergunakan kapak
besi. Biarpun begitu, pulau ini telah tercatat dalam peta Asia
tahun 1593.
Nama Enggano berasal dari kata Portugis yang berarti kekecewaan
atau penipuan. Ketika kapal layar Portugis sampai di pulau itu,
mereka menyangka bahwa Enggano adalah pulau Jawa atau tanah emas
yang mereka cari. Ternyata pulau itu tandus dan tidak mempunyai
harapan banyak untuk diolah. Pelaut Belanda pertama kali
menemukan pulau ini 5 Juni 1596.
Penduduk luar Enggano biasa menamakan pulau itu Pulo Telangiang.
Artinya pulau yang berpenduduk tanpa busana. Penduduk asli
sendiri menamakan pulau itu Khefu Annoeho (Cacuhia, Edwin M.
Loeb, 1972) atau e loppeh yang berarti pulau besar atau tanah.
Penulis Marsden bahkan mendapat keterangan dari penduduk Lampung
bahwa pulau ini hanya dihuni oleh wanita saja. Anak-anak yang
dilahirkan berasal dari angin atau karena para wanita itu
memakan buah tertentu di pulau itu. Karena itu penulis lain yang
menceritakan petualangannya ke pulau itu menamakan Enggano
L'isola delle Donne, pulau wanita.
Ko hajo & Koe
Pada 1862, pelaut Portugis pernah melakukan sensus untuk pulau
itu. Tercatat 3.000 orang penduduk. Belanda kemudian mencatat
penduduk pulau itu (yang juga terdiri dari orang-orang Tionghoa,
Banten dan Melayu Sumatera) pada 1885 tinggal 870 orang. Sensus
1914, tinggal 329 jiwa. Jumlah yang menyusut ini disebabkan
berbagai penyakit. Terutama malaria, tbc, disentri dan
beri-beri.
Keadaan menjadi membaik setelah pemerintah Belanda mengirim
seorang dokter ke pulau tersebut. Sekaligus dengan missi
penyebaran agama Kristen Protestan. Pemeluk agama Kristen
Protestan di sini kebanyakan berhaluan Huria Kristen Batak
Protestan.
Di pedalaman penduduk masih mempercayai roh baik dan buruk yang
diberi nama kowek. Sesaji diberikan kalau ada orang sakit atau
musim kemarau panjang. Ko hajo (dukun) biasanya berbicara kepada
koe (setan) untuk tidak lagi mengganggu penduduk.
Ketika aman Jepang tiba, pulau ini dijadikan gudang amunisi.
"Kami dipaksa bikin lubang-lubang pengintai di gunung," ujar
salah seoran, Kepala Suku, yang turut ke Jakarta untuk
memeriahkan Malam Dana. Sesudah itu hubungan dengan dunia luar
praktis terputus. Pada 1950, "barulah kami tahu bahwa sudah ada
negara Indonesia," kata Jacobson Kaarubi, pimpinan rombongan
kesenian Enggano.
Sampai sekarangpun, Enggano tetap terpencil. Hubungan
Enggano-Bengkulu, bisa dicapai sehari semalam dengan perahu.
Dalam sebulan, hanya ada dua perahu Enggano-Jakarta bisa dicapai
dua hari dua malam dengan kapal perintis. Kapal hanya ada satu
kali sebulan mampir di sana. Karena itu rombongan kesenian
Enggano yang beranggota 45 orang (12 di antaranya wanita) harus
menunggu sebulan lamanya di Jakarta, biarpun mereka bermain
hanya satu malam saja.
Satu Sarjana
Pada 1976 ada ditempatkan seorang dokter Puskesmas di pulau itu.
Untuk seluruh pulau, hanya ada sebuah pesawat teve. Ada 3 buah
SD, dua di antaranya SD Inpres. Kekurangan guru selalu melanda
Enggano. Kaarubi yang tamatan SGB pernah menjadi Kepala Sekolah
selama 12 tahun lamanya. Selama jangka waktu itu dia tidak
pernah mendapat surat pengangkatan. Putus asa, Kaarubi kemudian
memilih jadi rctani saja. Apa lacur, sekolah yang pernah
diasuhnya itu nyaris tutup karena tidak ada pamong. Akhirnya,
Kaarubi kembali lagi mengajar.
Malam Kesenian yang menyuguhkan beberapa tarian bermaksud
mencari dana untuk bea siswa. Yayasan Karya Enggano sekarang
telah memberikan 6 beasiswa kepada 6 orang anak untuk
melanjutkan belajar di SMP Bengkulu (5 orang anak) dan SMP Lubuk
Linggau. Selama ini baru ada seorang warga Enggano yang mendapat
gelar sarjana.
Pada malam dana, biarpun pengunjung tidak banyak di Balai Sidang
Senayan itu, "menurut perhitungan kasar, biaya itu sudah
tertutup," kata Penny lambunan Manalu. Artinya ongkos sewa dan
ongkos lainnya pas saja dengan hasil penjualan karcis. Tapi ada
yang lebih menggembirakan Penny. Yaitu munculnya seorang donor
(tidak mau disebut namanya) yang seumur hidupnya berniat untuk
menyumbang pendidikan anak-anak Enggano.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini