Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pulau 1000 Penduduk

Malam dana kesenian oleh Yayasan Karya Enggano diadakan di Jakarta. Pulau Enggano yang dihuni kurang lebih 1.000 jiwa keadaannya sangat menyedihkan karena kurangnya sarana kesehatan & pendidikan. (ils)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK hanya binatang yang rupanya perlu perlindungan. Juga penduduk Pulau Enggano di Samudra Indonesia itu, agar tidak punah sama sekali. Terutama penduduk asli pulau itu. Di tengah kegiatan program nasional Keluarga Berencana, ternyata pulau yang luasnya 68.000 hektar itu sekarang hanya berpenghuni 1.011 jiwa. Dari jumlah itu, "yang asli tinggal 800 jiwa, sisanya adalah kaum pendatang," kata Nyonya Penny Tambunan Manalu yang jadi Ketua Panitia Malam Dana Enggano di Senayan pertengahan April lalu. Pulau ini termasuk wilayah Propinsi Bengkulu. Beberapa tahun lalu, memang pernah ada usaha untuk menambah penduduk pulau itu dengan mendatangkan gelandangan dari Jakarta. Waktu itu (1962) Jakarta menghadapi Asian Games. Supaya kota tampak bersih, Menteri Sosial waktu itu telah mengirim 1500 gelandangan (terdiri dari 200 kepala keluarga dan 100 bujangan) ke Enggano. Sebagian besar dari mereka ternyata tidak betah tinggal di pulau yang sepi tersebut dan berusaha menyeberang kembali ke pulau induk Sumatera, kemudian kembali ke Jawa. Sebagian lagi meninggal terserang penyakit dan kekurangan pangan. Menurut catatan terakhir, dari umlah 1500 gelandangan itu, sekarang tinggal 20 orang. Dari sederetan pulau di sebelah barat Sumatera, Pulau Enggano cukup menarik perhatian kaum ilmiawan. Pada tahun 1770, penduduknya masih mempergunakan kapak batu, sementara kawasan lainnya yaitu Jawa dan Sumatera telah prigel mempergunakan kapak besi. Biarpun begitu, pulau ini telah tercatat dalam peta Asia tahun 1593. Nama Enggano berasal dari kata Portugis yang berarti kekecewaan atau penipuan. Ketika kapal layar Portugis sampai di pulau itu, mereka menyangka bahwa Enggano adalah pulau Jawa atau tanah emas yang mereka cari. Ternyata pulau itu tandus dan tidak mempunyai harapan banyak untuk diolah. Pelaut Belanda pertama kali menemukan pulau ini 5 Juni 1596. Penduduk luar Enggano biasa menamakan pulau itu Pulo Telangiang. Artinya pulau yang berpenduduk tanpa busana. Penduduk asli sendiri menamakan pulau itu Khefu Annoeho (Cacuhia, Edwin M. Loeb, 1972) atau e loppeh yang berarti pulau besar atau tanah. Penulis Marsden bahkan mendapat keterangan dari penduduk Lampung bahwa pulau ini hanya dihuni oleh wanita saja. Anak-anak yang dilahirkan berasal dari angin atau karena para wanita itu memakan buah tertentu di pulau itu. Karena itu penulis lain yang menceritakan petualangannya ke pulau itu menamakan Enggano L'isola delle Donne, pulau wanita. Ko hajo & Koe Pada 1862, pelaut Portugis pernah melakukan sensus untuk pulau itu. Tercatat 3.000 orang penduduk. Belanda kemudian mencatat penduduk pulau itu (yang juga terdiri dari orang-orang Tionghoa, Banten dan Melayu Sumatera) pada 1885 tinggal 870 orang. Sensus 1914, tinggal 329 jiwa. Jumlah yang menyusut ini disebabkan berbagai penyakit. Terutama malaria, tbc, disentri dan beri-beri. Keadaan menjadi membaik setelah pemerintah Belanda mengirim seorang dokter ke pulau tersebut. Sekaligus dengan missi penyebaran agama Kristen Protestan. Pemeluk agama Kristen Protestan di sini kebanyakan berhaluan Huria Kristen Batak Protestan. Di pedalaman penduduk masih mempercayai roh baik dan buruk yang diberi nama kowek. Sesaji diberikan kalau ada orang sakit atau musim kemarau panjang. Ko hajo (dukun) biasanya berbicara kepada koe (setan) untuk tidak lagi mengganggu penduduk. Ketika aman Jepang tiba, pulau ini dijadikan gudang amunisi. "Kami dipaksa bikin lubang-lubang pengintai di gunung," ujar salah seoran, Kepala Suku, yang turut ke Jakarta untuk memeriahkan Malam Dana. Sesudah itu hubungan dengan dunia luar praktis terputus. Pada 1950, "barulah kami tahu bahwa sudah ada negara Indonesia," kata Jacobson Kaarubi, pimpinan rombongan kesenian Enggano. Sampai sekarangpun, Enggano tetap terpencil. Hubungan Enggano-Bengkulu, bisa dicapai sehari semalam dengan perahu. Dalam sebulan, hanya ada dua perahu Enggano-Jakarta bisa dicapai dua hari dua malam dengan kapal perintis. Kapal hanya ada satu kali sebulan mampir di sana. Karena itu rombongan kesenian Enggano yang beranggota 45 orang (12 di antaranya wanita) harus menunggu sebulan lamanya di Jakarta, biarpun mereka bermain hanya satu malam saja. Satu Sarjana Pada 1976 ada ditempatkan seorang dokter Puskesmas di pulau itu. Untuk seluruh pulau, hanya ada sebuah pesawat teve. Ada 3 buah SD, dua di antaranya SD Inpres. Kekurangan guru selalu melanda Enggano. Kaarubi yang tamatan SGB pernah menjadi Kepala Sekolah selama 12 tahun lamanya. Selama jangka waktu itu dia tidak pernah mendapat surat pengangkatan. Putus asa, Kaarubi kemudian memilih jadi rctani saja. Apa lacur, sekolah yang pernah diasuhnya itu nyaris tutup karena tidak ada pamong. Akhirnya, Kaarubi kembali lagi mengajar. Malam Kesenian yang menyuguhkan beberapa tarian bermaksud mencari dana untuk bea siswa. Yayasan Karya Enggano sekarang telah memberikan 6 beasiswa kepada 6 orang anak untuk melanjutkan belajar di SMP Bengkulu (5 orang anak) dan SMP Lubuk Linggau. Selama ini baru ada seorang warga Enggano yang mendapat gelar sarjana. Pada malam dana, biarpun pengunjung tidak banyak di Balai Sidang Senayan itu, "menurut perhitungan kasar, biaya itu sudah tertutup," kata Penny lambunan Manalu. Artinya ongkos sewa dan ongkos lainnya pas saja dengan hasil penjualan karcis. Tapi ada yang lebih menggembirakan Penny. Yaitu munculnya seorang donor (tidak mau disebut namanya) yang seumur hidupnya berniat untuk menyumbang pendidikan anak-anak Enggano.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus