Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERIMIS baru usai mengguyur pedalaman Siberut. Senandung lagu Tik-Tik Bunyi Hujan menghangatkan pagi yang menusuk tulang di Sakaliau, dusun kecil di bagian selatan Siberut, Sumatera Barat. Sejak dua tahun lalu, lagu anak-anak sejenis dan lagu wajib Indonesia Raya menjadi nyanyian para bocah Mentawai di pulau terpencil di Samudra Hindia itu.
Dari selama ini hanya berburu atau mengail ikan, kini anak-anak di sana telah belajar baca-tulis, berhitung, dan bahasa Indonesia. Itu dimungkinkan setelah lembaga pendidikan PBB, UNESCO, memelopori kegiatan belajar bernama Pinatoro Uma?"sekolah rimba" (SR). Menurut Richard Paulsen, staf UNESCO yang menjadi koordinatornya, SR didirikan untuk membantu anak-anak tak mampu belajar mata pelajaran paling pokok. Diadakan di sebuah rumah panggung sederhana berukuran 6 x 8 meter, anak-anak di Sakaliau belajar tiga jam sehari, dari Senin hingga Jumat.
Pada 1999, sebelum ada SR, menurut Richard ada sekitar 1.000 anak di Siberut yang tak bersekolah. Dan dari 130 anak SR, sekitar 98 persen di antaranya buta huruf. Kehidupan orang tua mereka yang berpindah-pindah adalah salah satu penyebab utamanya. Ambil contoh Ronan, 9 tahun, murid SD dari Sakaliau. Untuk mencapai satu-satunya SD di Madobak, ia harus naik sampan dua jam. Jika berjalan kaki, perlu empat jam, dan sering ia mesti "mengarungi" daerah berlumpur setinggi lutut. "Jika banjir, saya tak bisa ke sekolah," kata gadis kecil ini.
Upaya penyekolahan anak Mentawai dimulai sekitar lima tahun silam ketika Koen Meyer, rekan Richard, mengajak para tetua suku Mentawai ikut memikirkannya. Lalu lahirlah SR, dimulai di Sakaliau, diteruskan di Ugai dan Atabai, yang seluruhnya menampung 64 siswa.
Richard berusaha melibatkan warga asli sebagai pengajarnya. Aloysius di antaranya. Bahasa Mentawai dijadikan bahasa pengantar. Mengapa terbatas pada empat mata pelajaran itu? "Agar proses belajarnya lancar," kata Richard. Para murid juga tak perlu memakai seragam.
Upaya itu ternyata didukung penuh masyarakat setempat. Tarason, kepala suku Sakaliau, membenarkan. "Saya ingin anak-cucu saya pandai, sehingga tidak bisa ditipu para pengusaha kayu yang mengincar hutan kami," ujarnya. Pada awal kehadiran SR, Tarason rela menjadikan rumahnya sebagai "gedung sekolah".
Pak Guru Aloysius kadang memakai nyanyian untuk menjelaskan sesuatu, atau mengambil contoh-contoh dari alam sekitar. Cara itu terbukti menggairahkan anak murid. "Saya suka ke sekolah karena banyak menyanyi," kata Ronan, yang ingin melanjutkan ke sekolah formal. Kini 80 persen murid SR sudah melek huruf.
UNESCO menganggarkan US$ 10 ribu-12 ribu untuk pembiayaan SR setiap tahunnya. Masyarakat juga membantu membangun ruang sekolah dan asramanya. Orang tua 12 lulusan SR yang kini tinggal di asrama Ugai sepakat menanggung makan mereka. "Tiap minggu mereka datang mengantar keladi, pisang, sagu untuk makanan anaknya," kata Richard. SR juga melatih orang tua murid berladang, menjahit, dan memasak.
Ke depan, pendanaan rasanya akan jadi soal. "Kami cuma hidup dari ladang, hidup pas-pasan," ujar Tarason. Menurut Minhajul Abidin, direktur sebuah yayasan pemilik lima sekolah di Siberut, warga hanya mampu membayar uang sekolah Rp 200 sebulan.
Pemerintah? Saat mengunjungi Siberut akhir 2002, Ekodjatmiko Sukarso, Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, mengakui pemerintah tak mampu mengatasi buta huruf. Soalnya, hanya tersedia dana untuk 200 ribu orang buta huruf selama 2003 ini?berbanding 5,9 juta orang yang harus dimelekhurufkan. Eko pun seperti ingin berlepas tangan.
Iwan Setiawan, Febrianti (Siberut)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo