SRI Sultan pergi meninggalkan tiga istri, 23 anak, dan 26 cucu, dan sebuah kerajaan. Karena faktor historis dan diatur oleh sebuah undang-undang, Yogyakarta adalah daerah istimewa dengan Sri Sultan sebagai gubernur seumur hidup. Belum jelas apakah pimpinan keraton Yogyakarta itu meninggalkan testamen. Yang jelas, ia tak meninggalkan wasiat. Almarhum Hamengku Buwono IX juga belum sempat menurunkan keris Kyai Joko Piturun, yang dulu diterimanya dari ayahnya Hamengku Buwono VIII sebelum mangkat, sebagai tanda bahwa ia mengangkat putranya itu sebagal penggantinya. Bagaimana keraton Yogyakarta setelah Sultan tiada? Senin malam pekan ini, di tengah suasana duka di kantor Sri Sultan di Jalan Prapatan Jakarta Pusat, wartawan TEMPO Agus Basri dan Gunung Sardjono mewawancarai Ranjeng Gusti Pangeran Haryo (K.G.P.H.) Mangkubumi. Ia dikenal sebagai pengusaha, Ketua DPD Golkar Yogyakarta, anggota DPR, dan putra sulung Sultan Hamengku Buwono IX. Di mana Almarhum akan dimakamkan? Kalau soal pemakaman, jelas di Imogin, Yogyakarta. Kenangan Anda yang berkesan? Kalau berdiskusi, beliau selalu terbuka, mau mendengar pendapat orang lain. Tentang kerajaan. Sekarang terjadi kevakuman. Ini bagaimana? Apakah akan meminta bantuan Pemerintah? Saya kira kalau masalah intern keluarga, cukup diselesaikan antara keluarga saja. Apakah dinasti keraton Yogyakarta perlu diteruskan. Saya kira itu tergantung keputusan musyawarah keluarga. Kalau ditanya secara pribadi, saya 'kan punya hak untuk tidak menjawab? Apakah seperti yang terjadi di Mangkunegaran sekarang, Mangkoenagoro tanpa nomor? Saya tidak mau berkomentar. Di lingkungan Kasultanan, kira-kira siapa yang layak menggantikan beliau? Ah, masa saya disuruh menjawab itu. 'Kan subyektif namanya? Saya ndak tahu. Saya kira ia adalah orang yang paling bisa diterima oleh keluarga. Entah yang tua atau dituakan keluarga. Apakah berarti yang dituakan itu Anda? Lho belum tentu. Saya dituakan itu karena kebetulan saya ini mbarep lanang (putra laki-laki yang sulung). Tapi belum tentu saya bisa dituakan. Yang dituakan itu bisa orang tua, bisa juga anak muda. Tapi selama ini kelihatannya Anda ini orang yang dituakan? Lha saya 'kan pangeran lurah. Jadi, begini ya tradisinya, bila seorang raja naik takhta, anak lelaki dan anak wanitanya yang tertua menjadi komandan. Baik itu komandan dari saudara-saudaranya sendiri maupun dari saudara-saudara raja yang sudah tidak ada. Jadi, di antara semuanya itu komandannya adalah saya. Komandan dalam hal apa? Dalam hal protokoler atau upacara-upacara di Istana. Jadi, belum tentu saya mewakili kerajaan kalau ada undangan dari luar. Sebagai contoh, saat penobatan Mangkoenagoro. Secara logika, kalau saya dianggap paling tua, saya mewakili keraton, 'kan harusnya Bapak menyuruh saya ke sana. Tapi ternyata tidak. Yang ditunjuk adalah omnya Bapak yang paling tua. Contoh lain: kemarin Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl datang kemari. Kalau saya yang paling tua, saya 'kan mestinya yang punya kuasa, dan mewakili Bapak menyambut tamu itu. Ternyata, yang ditunjuk Bapak, saudara Bapak yang tertua beserta dua adik saya. Jadi, pangeran lurah itu tidak bisa dijadikan patokan. Bagaimana tentang keris pusaka keraton? Menurut tradisi yang saya tahu, keris Kyai Joko Piturun itu untuk putra mahkota. Sedangkan untuk raja ada dua keris, Kyai Kopek dan Kyai Sengkelan. Tapi katanya kalau pakai keris itu Bapak mudah terpengaruh. Artinya, sering marah. Sehingga, akhirnya keris yang Bapak pakai Kyai Joko Piturun. Sampai Suro kemarin pun bapak masih memakainya. Sekarang bagaimana setelah Bapak tak ada? Untuk mencucikannya bisa saya, bisa juga omnya Bapak yang paling tua. Pemilik keris itu? Nggak ada yang memilikinya. Pemiliknya lembaga, dong. Sebelum Sri Sultan mangkat, apakah ada meninggalkan wasiat atau firasat? Nggak ada. Sekarang soal jabatan gubernur, apakah itu melekat pada pribadi atau jabatan Sri Sultan? Saya kira pribadi. Sebagai daerah istimewa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, Yogyakarta memiliki keistimewaan pada soal otonominya. Jadi, Pemerintah Pusat ada menyerahkan kewenangannya ke daerah yang berbentuk otonomi. Bedanya dengan provinsi lain, dasar otonominya tidak dengan undang-undang tapi dengan keppres. Keistimewaan lainnya, di Yogyakarta ini tidak ada-tanah negara, tapi tanah Kasultanan, dan sebagainya. Selain itu, yang menjadi gubernur adalah Hamengku Buwono IX dan wakil gubernur Paku Alam VIII. Karena ada nilai historisnya, mereka menduduki jabatan itu terus-menerus selama mereka masih sehat walafiat. Kalau sekarang Sri Sultan sudah meninggal, apakah jabatan itu menjadi lima puluh tahun sekali, atau lima tahun sekali seperti.provinsi lain, saya ya tidak tahu. Itu semua tergantung Pemerintah. Tidak otomatis keturunan Sri Sultan yang menjadi gubernur definitif? Tidak. Itu 'kan mesti disetujui DPRD dan Pemerintah Pusat. Kalau menurut UU Nomor 3 itu, Sri Paku Alam akan otomatis menjadi penjabat gubernur selama ia masih sehat. Ada kemungkinan lain? Ada juga. Misalnya kalau UU Nomor 3 tahun 1950 itu dicabut. Kalau menurut Anda sendiri bagaimana? Saya tidak bisa menjawab. Tanyakan saja pada masyarakat Yogya dan DPRD. Sebab, semuanya terserah rakyat. DPRD maunya gimana. Iya, 'kan ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini