TUBUH yang akan bersemayam di makam agung raja-raja Mataram itu adalah tubuh seorang republiken. Empat dasawarsa yang lalu, kata "republiken' menunjukkan bahwa seseorang telah memilih untuk mendukung Republik Indonesia yang baru dan menampik titah penjajahan Kerajaan Belanda. Kini kata itu juga masih bergetar dan berdengung bila diucapkan untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Aneh memang. Ia berasal dari dunia keraton dengan tradisi yang sudah melembaga selama ratusan tahun, yang diwarnai dengan mistik yang sulit dipahami orang kebanyakan. Ia seorang raja. Tapi pilihan politiknya dan sikap pribadinya, menunjukkan ia lebih mirip seorang pemimpin yang dipilih rakyat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh yang mungkin tak akan terdapat lagi. Derajatnya tak berasal dari posisinya di kesultanan Yogya, yang sebenarnya cuma suatu wilayah yang tak besar dibanding wilayah-wilayah lain di Jawa Tengah. Nasibnya lebih besar dari sebuah takhta. Ia lahir pada 12 April 1912. Hamengku Buwono VIII, ayahandanya, memberi nama calon putra mahkota itu: Gusti Raden Mas Dorodjatun -- berasal dari kata Arab darojat -- dengan harapan, kelak sang bayi tampil sebagai tokoh berbudi luhur, mampu mengemban pangkat derajat tinggi. Sang ayah rupanya mampu melihat "tanda-tanda zaman". Di awal abad ke-20 itu, beberapa paham demokrasi mulai tumbuh di Eropa. Maka, Hamengku Buwono VIII pun, sesuai dengan semangat zaman ingin mendidik putranda mengikuti kemajuan zaman. Ia tidak membiarkan Dorodjatun bergelimang kemanjaan istana. Ketika masih berusia empat tahun, seperti putra-putra Keraton Kasultanan Yogyakarta yang lain, Dorodjatun diharuskan mondok jauh di luar mahligai. Ia dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang Belanda, kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongense School. Ia harus belajar disiplin dan hidup sederhana. Tak seperti putra-putri keraton, Dorodjatun tak "dikawal" atau "diladeni" oleh hamba sahaya alias abdi dalem. Tapi ia ternyata mampu menyesuaikan diri. Mulder memberinya nama panggilan kesayangan Henkie alias si Henk kecil. Kita tak tahu sejauh mana ia merasa disayang di rumah orang ini. Henkie masih suka menangis setiap kali kembali ke rumah Mulder setelah beberapa saat menengok orangtuanya di keraton. Ketika tiba saatnya masuk sekolah dasar ia pindah menumpang di keluarga De Cock. Ketika itulah, pada saat duduk di kelas III, ia jadi anggota kepanduan. Dari beberapa kali acara berkemah, ia bisa memasak sendiri -- yang kemudian jadi hobi sampai usia lanjut. Meski rumah Cock tak jauh dari keraton, Hamengku Buwono VIII tidak memberi fasilitas istimewa kepada putranya. Dorodjatun berangkat dan pulang sekolah naik sepeda. Ia juga tak pernah membawa uang saku untuk jajan, hanya membawa beberapa potong roti. Dari para gurunya, ia tidak mendapat perlakuan istimewa sebagai putra seorang raja. Bahkan ia sering dihukum "karena saya suka antem-anteman," tutur Sri Sultan dalam biografinya, Tahta untuk Rakyat. Dan seperti anak-anak rakyat lainnya, ia juga gemar main sepak bola. Karena lingkungan masa kecil di luar tembok keraton itulah, pribadi Dorodjatun terbentuk: disiplin, sederhana, demokratis. Ketika masuk sekolah menengah di Semarang pada 1925 ia harus mondok lagi, kali ini di keluarga Voskuil, kepala penjara di Mlaten. Dan ketika pindah sekolah di Bandung ia menetap di rumah keluarga Letkol. De Boer. Pikirannya terutama sangat ditunjang setelah ia belajar ke Negeri Belanda pada 1930. Mula-mula masuk ke Gymnasium di Haarlem, kemudian melanjutkan kuliah di Rijkuniversiteit, sebuah universitas tertua di Leiden. Seperti mahasiswa lain yang kelak terjun di bidang pemerintahan, umumnya anak bangsawan pribumi, Dorodjatun mengambil jurusan indologi. Ia menyukai mata kuliah hukum tata negara. Tak diketahui adakah ia seorang mahasiswa yang cerdas. Tapi jelas: dengan pendidikan Barat itulah kelak akan lahir seorang yang kenal nilai-nilai demokrasi. Juga seorang yang sadar akan kebanggaannya sebelum ia sadar akan kebansawanannya. Bahkan ketika ia masih berada diNegeri Belanda, ia sudah memasang bendera merah putih yang sudah jadi lambang para pejuang kemerdekaan di masa itu. Sikap seperti itu tampak ketika remaja 19 tahun itu dilantik sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1940. Raja muda itu dengan berani tak menyatakan kesetiaannya kepada Kerajaan Nederland, tapi kepada nusa dan bangsa. Dalam bahasa Belanda yang fasih, antara lain ia berkata "....Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya." Pendiriannya tampak kembali kemudian. Menjelang keruntuhan Hindia Belanda ketika bala tentara Dai Nippon menyerang pada 1942 -- 4 orang raja di Jawa Tengah termasuk Sri Sultan diminta mengikuti para kepala pemerintahan Hindia Belanda mengungsi ke Australia. Tapi Sri Sultan menolak. Di zaman pendudukan Jepang, hubungan Sri Sultan dengan Saiko Sikikan -- pemerintahan militer Jepang di Jakarta -- selalu tegang. Terutama lantaran perlakuan tentara Jepang yang kejam terhadap rakyat. Akibatnya, ia sering "diperingatkan". Ia juga sengaja memalsu angka statistik dalam laporannya kepada Jepang, hingga terkesan bahwa daerah kekuasaannya sempit dan minus. Tapi, dengan demikian, ia bahkan berhasil mendapat dana untuk membangun saluran air, antara lain dari Kali Progo ke daerah kering di Sleman. Cukup banyak tenaga pemuda dan petani yang dikerahkan untuk pembangunan ini bendungan dan irigasi itu, hingga Sri Sultan punya alasan menolak instruksi Jepang merekrut para pemuda menjadi romusha untuk kerja paksa di Burma. Yakin bahwa pendudukan Jepang hanya "seumur jagung" alias tiga setengah tahun alias sebentar, sebagaimana konon "ramalan Joyoboyo", Sri Sultan menganggap proklamasi kemerdekaan sebagai "saat yang kutunggu-tunggu". Hanya sehari setelah proklamasi, ia mengirim kawat ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta serta Ketua Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan, Radjiman Wediodiningrat. Dua hari kemudian, ia mengirim telegram kepada Presiden dan Wakil Presiden: "sanggup berdiri di belakang pimpinan" mereka. Pernyataan itu diikuti oleh Sri Paku Alam VIII. Beberapa minggu kemudian, dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (cikalbakal DPRD) di Yogya. Atas persetujuan lembaga itu, pada 5 September 1945 dikeluarkanlah amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII. Isinya yang terpenting: Yogyakarta adalah daerah istimewa RI, sementara hubungan pemerintahan dan tanggung jawabnya langsung kepada Presiden RI. Langkah lain yang ia ambil di awal revolusi ialah kontak dengan pihak militer yang baru saja akan membentuk diri. Ketika itu Urip Sumohardjo dkk. hendak membangun tentara di Yogyakarta, karena Jakarta dinilai kurang aman untuk urusan itu. Ia berkantor di Hotel Garuda, tapi belakangan Sri Sultan menawarinya pindah ke Bangsal Kepatihan. Dalam konperensi pertama Tentara Keamanan Sultan hadir dengan pangkat jenderal tituler. Dalam pertemuan itulah Kolonel Sudirman dari Banyumas terpilih sebagai Panglima Besar, sementara Sri Sultan -- atas pilihan kalangan militer -- terpilih sebagai Menteri Pertahanan. Karena Yogyakarta sudah jelas menyatakan diri sebagai pendukung republik apalagi ketika itu juga menjadi basis militer -- sementara tentara Belanda dengan ganas melancarkan teror di Jakarta, maka pada 3 Januari 1946 Kabinet Hatta memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Ketika Kabinet Sjahrir III terbentuk, Sri Sultan diangkat sebagai Menteri Negara. Itulah karier pertamanya dalam jabatan pemerintahan republik, yang akan berlanjut hingga jadi Wakil Presiden, mendampingi Presiden Soeharto, dari tahun 1971 sampai ia menolak untuk diangkat lagi pada 1978. Dengan Yogya sebagai ibu kota revolusi, Sultan membentuk beberapa kelompok laskar rakyat melawan Belanda, dibantu staf terdekatnya, Selo Soemardjan, bekas camat Sleman yang kemudian paling lama mendampinginya sebagai sekretaris pribadi. Laskar rakyat, yang secara teratur menyelenggarakan latihan perang-perangan, itU suatu hari menyelenggarakan latihan pada 19 Desember 1948. Sejak pagi-pagi semua unit kelaskaran sudah siap. Mendadak terdengar rentetan letusan senjata: pesawat terbang Belanda menyerang lapangan udara Maguwo. Yogya jatuh. Dan sementara Sri Sultan dikenai "tahanan keraton", beberapa hari kemudian beberapa pemimpin RI ditawan dan diasingkan oleh Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta misalnya diangkut ke Bangka. Sedang Panglima Besar Sudirman -- yang keluarganya "disembunyikan" oleh Sri Sultan di rumah Pangeran Mangkubumi -- memilih menyingkir ke luar kota untuk bergerilya. Ketika itulah Sri Sultan, bersama Sri Paku Alam, melancarkan taktik jitu. Mereka menyebarkan isu dari mulut ke mulut seolah meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan demikian, keamanan kawasan itu menjadi tanggung jawab tentara pendudukan Belanda. Tapi mereka juga menginstruksikan agar segenap rakyat tetap patuh kepada Ngarso Dalem sebutan kehormatan untuk Sri Sultan. Sejak itu pihak Belanda berkali-kali mengutus "delegasi" untuk membujuk Sri Sultan agar bersedia bekerja sama. Tapi sang raja, jangankan bersedia, menemui pun tidak. Itu tak berarti Sri Sultan berpangku tangan. Ia selalu mengontak Panglima Besar Sudirman. Bila gelap tiba tak jarang stafnya yang setia, Selo Soemardjan, memanjat tembok keraton membawa pesan Sri Sultan untuk disampaikan kepada kaum gerilyawan. Para kurir kaum gerilya sering pula masuk keraton dengan menyamar. Tentara Belanda bukannya tak tahu akan hal ini. Tapi Sri Sultan dengan tenang menghadapinya, seperti yang terjadi pada 3 Maret 1949. Ketika itu sejumlah pesawat udara menderu, sementara beberapa jip militer Belanda meraung-raung. Mereka mengawal kedatangan Jenderal Meyer dan sekitar 7 stafnya, bersenjata lengkap. Sri Sultan menemui mereka, dengan pakaian adat Jawa, tanpa keris. Belanda menuduh keraton sebagai sarang "gerombolan pengacau". Sebaliknya, Sri Sultan menyatakan kemarahannya. Sehari sebelumnya tentara Belanda mengobrak-abrik Bangsal Kepatihan. "Dan sekarang pun, hal yang sama dapat pula Tuan lakukan di keraton saya -- karena Tuan bersenjata lengkap sedangkan saya tidak. Tapi sebelum Tuan melakukan hal itu, Tuan mesti membunuh saya terlebih dulu," kata Sri Sultan. Dan Belanda pun undur .... Adegan menegangkan itu gara-gara Serangan Umum I Maret 1949. Ketika itu Tentara Keamanan Rakyat, di bawah pimpinan operasional Letkol. Soeharto, berhasil menguasai kembali Yogya. Serangan itu memang disengaja untuk "memberi tahu" dunia -- sementara pertikaian Indonesia-Belanda tengah dibicarakan di forum PBB -- bahwa RI masih punya kekuatan. Pertengahan Februari, Sri Sultan mengirim kurir untuk menemui Panglima Besar Sudirman, minta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya -- yaitu melancarkan serangan umum -- dan minta izin menghubungi komandan gerilya, Letkol. Soeharto. Pada 13 Februari 1949, dengan menyamai dan mengenakan pakaian sebagai abdi dalem keraton, Soeharto datang ke keraton. Di situ dengan Sri Sultan, Letkol. Soeharu merencanakan serangan umum dalam waktu dua minggu. Serbuan berhasil. Yogya kembali di tangan RI selama 6 jam. Cukup buat mengagetkan dunia. Sementara itu, penderitaan rakyat di masa revolusi itu rupanya juga membuat Sri Sultan prihatin. Ia segera merogoh simpanan uang gulden, berupa kepingan emas dan perak, untuk dibagikan melalui sekretaris pribadinya, Selo Soemardjan, dan Menteri Perburuhan dan Sosial RI. Koesnan kepada semua pegawai RI, baik yang berpangkat rendah maupun yang tinggi. Bukan hanya untuk membantu rumah tangga mereka tapi juga menjaga agar mereka tidak menyeberang ke pihak lawan. Bantuan serupa juga disampaikan untuk para gerilyawan dan Palang Merah Indonesia. Menurut perhitungan Bung Hatta, jumlah bantuan itu semuanya tak kurang dari lima juta gulden. Tapi Sri Sultan sendiri tidak ingat jumlah bantuan yang disampaikannya selama 3-4 bulan itu. "Ah nggak mungkin ingat. Ngambilnya saja begini," katanya sambil kedua telapak tangannya digerakkan seperti menyendok pasir. Bahkan keluarga Ibu Fatmawati dan Ibu Rahmi Hatta pun -- ketika kedua suami mereka ditahan Belanda di Bangka -- juga menerima bantuan itu. "Sampai sekarang saya masih menyimpan beberapa gulden dari uang pemberian itu sebagai kenang-kenangan," tulis Ibu Rahmi Hatta dalam Tahta untuk Rakyat, buku yang terbit pada 1982 itu. Sang raja yang pro-Republik itu bahkan menimbulkan dukungan kepada RI dengan tampil tanpa sosok yang angker di tengah masyarakat. Ada pengalamannya yang termasyhur. Pada 1946, ia mengendarai jip seorang diri dari Sleman ke Yogya. Di tengah jalan, seorang wanita pedagang beras ikut menumpang. Sampai di pasar Kranggan, Sri Sultan menurunkan beras dan tidak bersedia dibayar. Ketika si embok kemudian diberi tahu temannya bahwa pak sopir ternyata Ngarsa Dalem, ia pingsan. Sifat Dorodjatun yang populis tak hanya sampal di situ. Menurut sosiolog UGM Loekman Soetrisno, Sri Sultan juga menciptakan suasana demokratis sampai ke tingkat desa, dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antara para pejabat untuk menggantikan bahasa Jawa halus alias kromo inggil. Ia juga menetapkan bahwa kepala desa harus bertanggung jawab kepada badan legislatif tingkat desa. Di bidang pertanahan, ia melakukan tindakan revolusioner. Sejak 1973 ia ingin melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria, meskipun pemerintah pusat tidak hendak mengutik-utik hak otonomi sang raja. Namun, rupanya ia konsekuen sebagai republiken dan demokrat: bahwa sebagai bagian dari republik, Daerah Istimewa Yogyakarta tak perlu mempunyai peraturan yang berbeda dari daerah lain. undang-undang yang mengatur landreform ini kemudian diberlakukan di sana tahun 1984. Menurut guru besar ilmu politik Universitas Cornell, AS, George McT. Kahin, Sri Sultan adalah perintis pembaru. Ia memungut pajak 10% atas pendapatan desa yang makmur untuk membantu desa miskin. Sementara itu, 20% dana yang terkumpul digunakan untuk biaya administrasi desa miskin, sedang yang 80% dipinjamkan dengan bunga 2% setahun. Bunganya dikembalikan kepada desa-desa makmur untuk membangun industri. "Sri Sultan menginginkan desa-desa kecil itu jadi kuat. Dulu ia sering meninjau desa-desa, naik mobil, atau andong, sering pula jalan kaki," ujar Selo Soemardjan, 73 tahun. Maka, tak mengherankan bila pemimpin yang pendiam ini tak punya musuh banyak. Ia tak hanya jadi seorang tokoh yang terbatas dalam sebuah kerajaan Jawa yang memudar. Ia jadi satu tokoh nasional tersendiri, yang tanpa cela. Mungkin karena ia tak sedikit pun menunjukkan ambisi kedudukan yang lain, juga tak menampakkan sikap mumpung dalam satu kesempatan yang memungkinkan. Tampaknya ia sadar bahwa kebangsawanan mengandung suatu sikap memberi, bukan mengambil. Noblesse oblige. Memberi adalah suatu kehormatan, dan mengambil adalah nista. Dengan itulah ia berhasil menjadi tokoh sejarah Indonesia baru justru karena ia dengan kukuh berada dalam sejarah yang lama. Meskipun ia tak terikat di sana. Budiman S. Hartoyo, Rustam F. Mandayun, Priyono B. Sumbogo, Sri Indrayati (Jakarta), Syahril Chili, Aries Margono, Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini