DESEMBER 1974, pada peringatan 25 tahun Universitas Gajah Mada,
untuk pertama kalinya Presiden Soeharto menyarankan penjabaran
Pancasila: "dirumuskan secara sederhana dan jelas, sehingga
dapat menjadi bimbingan bersama dalam segala segi kehidupan yang
nyata."
Hal itu diulangi pada peringatan 25 tahun Universitas Indonesia,
Pebruari 1975. Bersamaan dengan itu, Presiden mengharap agar
para pendiri republik yang masih hidup menyumbangkan pikirannya
pula. Maka Dewan Harian Angkatan 45 membentuk Panitia Lima,
terdiri dari Bung Hatta, Prof. Soenarjo SH, Mr. Achmad
Soebardjo, A.A. Maramis (alm) dan Prof. AG Pringgodigdo.
Hasilnya diserahkan oleh Jenderal Surono, ketua Dewan Harian
Angkatan 45, kepada Presiden.
Rumusan itu oleh Panitia Lima pernah disebut "penafsiran
tunggal" dari Pancasila. "Hal itu memang atas permintaan
Presiden, agar the founder vf tb republic (para pendiri
republik) menjabarkan Pancasila," ujar Soerowo Abdulmanap,
sekretaris II Panitia Lima Kepada Usep Ranawidjaja dari fraksi
Demokrasi, Bung Hatta (ketua Panitia Lima) menyatakan, Presiden
akan menyampaikan hasil Panitia Lima itu kepada MPR.
Tapi karena Presiden juga mengharapkan sumbangan pikiran
masyarakat luas - terutama lembaga penelitian dunia perguruan
tinggi dan tokoh-tokoh masyarakat - maka rumusan lain pun
mengalir, antara lain dari "laboratorium Pancasila" IKIP Malang.
Bahan-bahan yang menurut sebuah sumber "setinggi rumah" itu
dikumpulkan oleh Sekjen Dewan Pertahanan Nasional, Letjen M.M.
Rachmad Kartakusuma.
Setelah beberapa kali bersidang, antara lain di Bali, Panitia
Kartakusuma kabarnya menghasilkan 4 dokumen. Dua di antaranya
disebut "sistem nasional" dan "doktrin nasional." Kemudian ada
Panitia Sebelas, diketuai oleh Mensekneg Sudharmono. Dengan
tugas sama, panitia ini antara lain mengedit hasil garapan
Panitia Kartakusuma.
CSIS
Dalam pidato kenegaraan 1975 sekali lagi Presiden mengajak
"memikirkan penghayatan dan pengamalan Pancasila." Terdorong
ajakan itu, mendahului adanya tafsir resmi, bulan Maret 1976
terbit buku Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila.
Diterbitkan oleh CSIS (Centre for Strategic and International
Studies), sebuah lembaga studi yang dekat dengan Golkar, buku
itu bersumber dari sejumlah pidato Presiden pada berbagai
kesempatan.
Sebulan kemudian, pada pembukaan musyawarah kerja kwartir
nasional gerakan Pramuka di Jakarta, untuk pertama kalinya
Presiden memperkenalkan Eka Prasetya Panca Karsa (tekad tunggal
penghayatan dan pengamalan Pancasila) alias Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4).
Depan barisan pramuka itu Presiden menyatakan "tidak memaksakan
pandangan saya mengenai Pancasila ini," tapi memandang perlu
mengukuhkannya lewat MPR. Maka 2 tahun kemudian, 1 Oktober 1977,
Presiden menyerahkan naskah rancangan P4 hasil garapan Panitia
Sebelas itu kepada MPR, "sebagai pertimbangan."
Menurut Sudardji dari Fraksi Persatuan, selama ini MPR belum
pernah menerima bahan dari mana pun, juga dari Panitia Lima,
"kecuali dari Panitia Sebelas yang disampaikan oleh Presiden
itu." Dan menurut Sudharmono, bahan pemikiran dari berbagai
kalangan itu "ternyata tak jauh berbeda dengan hasil renungan
Presiden." Tapi kepada MPR, Presiden sendiri menegaskan, tak
bermaksud "menggurui atau mengurangi wewenang" lemaga tertinggi
itu.
Bimbingan budipekerti yang sederhana tentu perlu bagi anak
sekolah. Seperti halnya pendidikan moral Pancasila yang sejak
tahun lalu--dengan keputusan Menteri P dan K No. 008-c/ U/1975
-- dijadikan program pendidikan umum.
Sekarang, dengan atau tanpa TAP-MPR, sudah ada buku Pendidikan
Moral Pancasila (untuk SMP, terbitan Kanwil P dan K, Jakarta)
yang memuat pokok-pokok Eka Prasetya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini