Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serba 'baru' dari utara serba "baru" dari utara

Menlu vietnam nguyen dyutrinh berkunjung ke indonesia untuk meningkatkan hubungan kedua negara. akan saling menukar ahli pertanian, vietnam akan mengirim ahli perminyakannya untuk belajar di indonesia.(nas)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA tentunya telah berubah banyak," kata Menlu Republik Sosialis Vietnam (RSV) Nguyen Dyu Trinh pekan lalu setiba di Jakarta. Dia pernah berkunjung ke sini di tahun 1965. Tapi tampaknya yang lebih cepat berubah adalah Vietnam. Sampai beberapa bulan lalu, radio Hanoi maupun suratkabar resmi Partai Komunis Vietnarn Nhan Dan masih terus saja mengecam Asean. Dan pekan lalu, dalam pernyataan bersarna yang dikeluarkan seusai kunjungan, disebutkan keadaan Asia Tenggara saat ini menguntungkan bagi semua negara di kawasan ini untuk "membuka lembaran baru". Dengan kata lain, Hanoi dan Jakarta ingin merintis hubungan yang berlandaskan pada "perdamaian, netralitas, kemerdekaan dan kerjasama." "Asean mungkin bukan suatu olganisasi seperti yang diharapkan Vietnam," kata Wakil Menlu RSV Vo Dong Giallg dalam konperensi persnya. Tapi ditegaskannya berkali-kali bahwa kerjasama regional hendaknya didasarkan pada landasan baru dengan bentuk baru yang sesuai dengan keadaan yang baru. Sikap serba "baru" yang ditunjukkan Vietnam itu jelas membuat banyak orang di Jakarta mengangkat alis. Gerangan apa yang mendorong Vietnam untuk mengganti nada dan merubah sikapnya terhadap para tetangganya di selatan, terutama yang tergabung dalam Asean? Keadaan baru seperti dijelaskan oleh Vo Dong Giang adalah berakhirnya perang Vietnam dan pengunduran diri Amerika Serikat dari daratan Asia. Landasan baru adalah kebijaksanaan empat pasal: saling menghormati kedaulatan masing-masing negara, tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing, non-agresi dan koeksistensi damai. Karenanya, Vietnam ingin kerjasama secara bilateral dan pada waktunya diharapkan juga secara regional. "Kita harus membuat Asia Tenggara untuk si Asia Tenggara dan tiap negara bebas dari campur tangan kekuatan asing," kata Giang. Kurang Pangan Luapan kegembiraan setelah berhasil memukul mundur Amerika Serikat serta kemudian mempersatukan Vietnam sekarang sudah mereda. Pemerintah RSV dihadapkan dengan banyak kesulitan untuk membangun kembali negeri itu, terutama untuk mencukupi kebutuhan pokok 48 juta penduduknya, sekitar setengah daripadanya di selatan pernah mengenyam iklim "kapitalisme". Musim kering dan bencana taufan tahun lalu menyebabkan Vietnam menderita kekurangan pangan sekitar 1 juta ton. Di tahun 1976 Cina menyumbang sekitar 600.000 ton pangan tapi enggan untuk menyumbang jumlah yang sama tahun lalu. Rusia bersedia menyumbang 200. 000 ton hingga Vietnam, seperti juga Indonesia, harus menoleh ke negara lain. Kekurangan pangan itu mendorong keinginan RSV untuk menghidupkan lagi 9 proyek Mekong yang terhenti di tahun 1975. Vietnam juga sudah mulai memindahkan sekitar 1 juta penduduk Ho Chi Ming City (d/h Saigon) ke daerah "ekonomi baru" untuk membuka kembali lapangan pertanian yang terbengkalai akibat perang. Yang menjadi masalah Utama adalah mencari dana untuk pembangunan. Sekutu lama Vietnam, Cina dan Rusia telah menunjukkan keengganan untuk membantu RSV. Bantuan $6 milyar yang diharapkan dari Amerika Serikat dan yang dikaitkan RSV dengan syarat pembukaan hubungan diplom ternyata agak macet karena keberatan Congress AS. Jepang sampai sekarang hanya memberi bantuan 6 milyar yen. Tumpuan harapan Vietnam sekarang adalah negara Pasaran bersama Eropa serta OPEC. Tahun lalu Bank Pembangunan Asia (ADB) memberi bantuan Vietnam $7 juta yang sesungguhnya berasal dari dana OPEC. Pasang Surut Mengutip keterangan seorang pejabat kepada TEMPO pekan lalu, "Vietnam mau tidak mau harus bekerja sama dengan negara tetangganya di Asia Tenggara. Atau paling tidak perlu untuk menunjukkan sikap bersahabat." Agaknya sikap persahabatan Vietnam kepada tetangganya turut menentukan apakah negara kaya akan bersedia membantu Vietnam atau tidak. Alasan ini pula agaknya yang membuat kunjungan Menlu Nguyen Duy Trinh dipercepat dari rencana semula setelah "penjajagan terakhir" dilakukan Nopember lalu oleh misi dagang Vietnam. Lembaran baru dalam hubungan Indonesia-Vietnam tampaknya akan diawali dalam bidang pertanian dan minyak. Kedua negara akan saling menukar ahli pertanian. Rombongan Menlu Vietnam yang disertai Wakil Menteri Pertaniannya tampaknya sangat tertarik pada proyek persawahan pasang-surut Indonesia yang dianggap cocok untuk daerah delta Mekong. Vietnam juga akan mengirim ahli perminyakan untuk cari pengalaman di Indonesia. Vietnam memang ingin segera mengembangkan sumber minyak lepas pantai mereka yang kebetulan terletak di landas benua yang sama dengan Indonesia. Masalah batas landas benua inilah yang agaknya merupakan soal rumit dalam perundingan pekan lalu. Daerah perbatasan itu sudah menjadi daerah konsesi perusahaan AGIP (Italia) dengan ijin dari Pertamina. Vietnam bersedia menarik keberatan mereka atas eksplorasi prusahaan ini, tapi dalam pernyataan bersama tidak ada tanggal pasti kapan perundingan batas landas benua ini aka dimulai. Menurut Menlu a.i. Mochtar Kussumaatmadja. Kesediaan RSV Untuk menyelesaikan masalah ini dianggap sebagai hasil konkrit terpenting dari kunjungan Menlu Vietnam. Di bidang militer saat ini vietnam adalah negara terkuat di Asia Tenggara. Pembangunan ekonomi mugkin sekali akan merupakan perhatian utamanya dalam tahun-tahun mendatang. Sadar akan kecurigaan negara-negara Asean padanya. Vo Dong Giang pekan lalu menegaskan bahwa Vietnam "tidak akan campur tangan dalam masalah dalam negeri negara lain dan tidak akan mengekspor revolusi" ke negara lain. Tidak semua orang cepat percaya akan angin baru perdamaian Vietnam. "Kita harus tetap waspada jika berhubungan dengan Komunis karena mereka itu unpredietable (tidak bisa diduga). Kata seorang pejabat Hankam kepada TEMPO pekan lalu. Buktinya? Akhir pekan lalu Kamboja, yang selama ini diakui sebagai "saudara" oleh Vietnam memutuskan hubungan diplomatik dengan "saudara tuanya" ini karena agresi Vietnam ke daerah Kamboja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus