INDONESIA tentunya telah berubah banyak," kata Menlu Republik
Sosialis Vietnam (RSV) Nguyen Dyu Trinh pekan lalu setiba di
Jakarta. Dia pernah berkunjung ke sini di tahun 1965.
Tapi tampaknya yang lebih cepat berubah adalah Vietnam. Sampai
beberapa bulan lalu, radio Hanoi maupun suratkabar resmi Partai
Komunis Vietnarn Nhan Dan masih terus saja mengecam Asean. Dan
pekan lalu, dalam pernyataan bersarna yang dikeluarkan seusai
kunjungan, disebutkan keadaan Asia Tenggara saat ini
menguntungkan bagi semua negara di kawasan ini untuk "membuka
lembaran baru". Dengan kata lain, Hanoi dan Jakarta ingin
merintis hubungan yang berlandaskan pada "perdamaian,
netralitas, kemerdekaan dan kerjasama."
"Asean mungkin bukan suatu olganisasi seperti yang diharapkan
Vietnam," kata Wakil Menlu RSV Vo Dong Giallg dalam konperensi
persnya. Tapi ditegaskannya berkali-kali bahwa kerjasama
regional hendaknya didasarkan pada landasan baru dengan bentuk
baru yang sesuai dengan keadaan yang baru.
Sikap serba "baru" yang ditunjukkan Vietnam itu jelas membuat
banyak orang di Jakarta mengangkat alis. Gerangan apa yang
mendorong Vietnam untuk mengganti nada dan merubah sikapnya
terhadap para tetangganya di selatan, terutama yang tergabung
dalam Asean?
Keadaan baru seperti dijelaskan oleh Vo Dong Giang adalah
berakhirnya perang Vietnam dan pengunduran diri Amerika Serikat
dari daratan Asia. Landasan baru adalah kebijaksanaan empat
pasal: saling menghormati kedaulatan masing-masing negara, tidak
campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing,
non-agresi dan koeksistensi damai. Karenanya, Vietnam ingin
kerjasama secara bilateral dan pada waktunya diharapkan juga
secara regional. "Kita harus membuat Asia Tenggara untuk si Asia
Tenggara dan tiap negara bebas dari campur tangan kekuatan
asing," kata Giang.
Kurang Pangan
Luapan kegembiraan setelah berhasil memukul mundur Amerika
Serikat serta kemudian mempersatukan Vietnam sekarang sudah
mereda. Pemerintah RSV dihadapkan dengan banyak kesulitan untuk
membangun kembali negeri itu, terutama untuk mencukupi kebutuhan
pokok 48 juta penduduknya, sekitar setengah daripadanya di
selatan pernah mengenyam iklim "kapitalisme". Musim kering dan
bencana taufan tahun lalu menyebabkan Vietnam menderita
kekurangan pangan sekitar 1 juta ton. Di tahun 1976 Cina
menyumbang sekitar 600.000 ton pangan tapi enggan untuk
menyumbang jumlah yang sama tahun lalu. Rusia bersedia
menyumbang 200. 000 ton hingga Vietnam, seperti juga Indonesia,
harus menoleh ke negara lain.
Kekurangan pangan itu mendorong keinginan RSV untuk
menghidupkan lagi 9 proyek Mekong yang terhenti di tahun 1975.
Vietnam juga sudah mulai memindahkan sekitar 1 juta penduduk Ho
Chi Ming City (d/h Saigon) ke daerah "ekonomi baru" untuk
membuka kembali lapangan pertanian yang terbengkalai akibat
perang. Yang menjadi masalah Utama adalah mencari dana untuk
pembangunan. Sekutu lama Vietnam, Cina dan Rusia telah
menunjukkan keengganan untuk membantu RSV. Bantuan $6 milyar
yang diharapkan dari Amerika Serikat dan yang dikaitkan RSV
dengan syarat pembukaan hubungan diplom ternyata agak macet
karena keberatan Congress AS. Jepang sampai sekarang hanya
memberi bantuan 6 milyar yen. Tumpuan harapan Vietnam sekarang
adalah negara Pasaran bersama Eropa serta OPEC. Tahun lalu Bank
Pembangunan Asia (ADB) memberi bantuan Vietnam $7 juta yang
sesungguhnya berasal dari dana OPEC.
Pasang Surut
Mengutip keterangan seorang pejabat kepada TEMPO pekan lalu,
"Vietnam mau tidak mau harus bekerja sama dengan negara
tetangganya di Asia Tenggara. Atau paling tidak perlu untuk
menunjukkan sikap bersahabat." Agaknya sikap persahabatan
Vietnam kepada tetangganya turut menentukan apakah negara kaya
akan bersedia membantu Vietnam atau tidak. Alasan ini pula
agaknya yang membuat kunjungan Menlu Nguyen Duy Trinh dipercepat
dari rencana semula setelah "penjajagan terakhir" dilakukan
Nopember lalu oleh misi dagang Vietnam.
Lembaran baru dalam hubungan Indonesia-Vietnam tampaknya akan
diawali dalam bidang pertanian dan minyak. Kedua negara akan
saling menukar ahli pertanian. Rombongan Menlu Vietnam yang
disertai Wakil Menteri Pertaniannya tampaknya sangat tertarik
pada proyek persawahan pasang-surut Indonesia yang dianggap
cocok untuk daerah delta Mekong.
Vietnam juga akan mengirim ahli perminyakan untuk cari
pengalaman di Indonesia.
Vietnam memang ingin segera mengembangkan sumber minyak lepas
pantai mereka yang kebetulan terletak di landas benua yang sama
dengan Indonesia. Masalah batas landas benua inilah yang agaknya
merupakan soal rumit dalam perundingan pekan lalu. Daerah
perbatasan itu sudah menjadi daerah konsesi perusahaan AGIP
(Italia) dengan ijin dari Pertamina. Vietnam bersedia menarik
keberatan mereka atas eksplorasi prusahaan ini, tapi dalam
pernyataan bersama tidak ada tanggal pasti kapan perundingan
batas landas benua ini aka dimulai. Menurut Menlu a.i. Mochtar
Kussumaatmadja. Kesediaan RSV Untuk menyelesaikan masalah ini
dianggap sebagai hasil konkrit terpenting dari kunjungan Menlu
Vietnam.
Di bidang militer saat ini vietnam adalah negara terkuat di
Asia Tenggara. Pembangunan ekonomi mugkin sekali akan merupakan
perhatian utamanya dalam tahun-tahun mendatang. Sadar akan
kecurigaan negara-negara Asean padanya. Vo Dong Giang pekan lalu
menegaskan bahwa Vietnam "tidak akan campur tangan dalam masalah
dalam negeri negara lain dan tidak akan mengekspor revolusi" ke
negara lain.
Tidak semua orang cepat percaya akan angin baru perdamaian
Vietnam. "Kita harus tetap waspada jika berhubungan dengan
Komunis karena mereka itu unpredietable (tidak bisa diduga).
Kata seorang pejabat Hankam kepada TEMPO pekan lalu. Buktinya?
Akhir pekan lalu Kamboja, yang selama ini diakui sebagai
"saudara" oleh Vietnam memutuskan hubungan diplomatik dengan
"saudara tuanya" ini karena agresi Vietnam ke daerah Kamboja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini