Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Doa Yang Memadamkan ...

Munas NU di Yogya, memilih K.H. Ali Ma'shum sebagai rais aam yang baru. Tak ada pernyataan politik tentang gelar bapak pembangunan dan calon presiden. (nas)

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKIK Allahu Akbar bergema di Kaliurang, tengah malam yang dingin, 1 September lalu. Luapan kegembiraan terasa ketika Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) berakhir lebih cepat dari rencana. Munas di daerah peristirahatan di utara Yogyakarta itu, seperti dikatakan K.H. Yusuf Hasyim, salah seorang Ketua PB NU, semula diperkirakan akan "panas". Terutama di sekitar siapa calon Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU, suatu jabatan pokok karena dalam pelbagai keputusan penting punya semacam hak veto. Jabatan itu kosong sejak K.H. isri Syansuri meninggal dunia 24 April tahun lalu. Ada tiga pendapat yang muncul dalam komisi masaail khaashshah (masalah-masalah khusus). Jawa barat misalnya menghendaki agar otomatis saja wakil Rais Aam yang sekarang, K.H. Anwar Nusaddad, dikukuhkan jadi Rais Aam. Bekas rektor IAIN Sunan Gunung Jati itu sendiri sudah sanggup. Apalagi, seperti dia katakan, prosedur seperti itu sudah jadi tradisi dalam NU. Tapi pihak yang menghendaki jangan sampai Musaddad jadi Rais Aam ternyata lebih banyak. Musaddad, biarpun pernah mukim di Saudi Arabia selama 11 tahun, masih dianggap "kurang kiai". Alasan: ia tidak punya pondok. Padahal, pondok pesantren merupakan akar kokoh, dan sumber tenaa, dari NU. Semangat pondok menguasai kehidupan pemimpin dan massa dalam organisasi yang sangat khas Indonesia ini. Seperti dikatakan Ketua Umum PB NU KH. Idham Chalid, "NU itu ibarat sebuah pondok besar". Dan dalam pondok besar itu posis: Musaddad kurang beruntung. Ia semakin terpojok ketika K.H. Syaifuddi Juhri, juga salah satu Ketua PB NU membantah bahwa prosedur wakil otomatis--jadi ketua itu sudah jadi tradisi NU. Misalnya naiknya K.H. Abdul wahab Chabullah jadi Rais Aam sepeninggal Rais Akbar K.H. Hasyim Asy'al, di tahun 1947 bukan lantaran Kiai Wihab menduduki wakil Rais Aam sebelumnya. Jabatan itu ternyata di tangan K.H. A. Fakih sebuah nama yang tampaknya kurang dikenal. Musaddad kalah di sini. Dia dianggap kurang paham betul sejarah NU. Dan lagi isyarat bahwa ia sanggup duduk sebagai Rais Aam terasa disampaikan "terlalu pagi". Ini ternyata melahirkan penilaian bahwa Musaddad menghendaki jabatan itu--suatu hal yang dianggap semacam cela. Meskipun, mungkin soalnya Musaddad hanya lebih berterus terang. Tapi di luar itu, memang sudah ada yang menghendaki Rais Aam itu dijabat K.H. As'ad dari Pefsantren Nurul Jadid Situbondo (Ja-Tim). Ulama ini pun pengaruh besar. Sidang-sidang syurjah NU tidak jarang dilakukan di Nurul Jadid. Sikapnya yang dinilai "cepat panas" lebih mendapat dukungan dari kelompok "keras" yang ditokohi Yusuf Hasyim. Tapi Kiai As'ad tidak hadir dalam Munas. Ini adalah isyarat bahwa ia tidak mau dicalonkan. Konon ia keberatan kalau harus sering meninggalkan Situbondo itu akan berarti mengurangi perhatian pada pondok. Idham Chalid Ketua Umum PB NU sejak tahun 1954, tidak memihak salah satu. Dia, seperti dikatakan dalam berbagai kesempatan, menghendaki keadaan lowong itu dibiarkan saja sampai Mubes akan datang. Ada yang menilai dengan status quo macam itu Idham akan lebih leluasa membuat langkah yang dikehendakinya, tanpa kontrol dari tokoh yang lebih berwibawa di tingkat Syuriah. Dugaan ini akhirnya dibantah. Idham menghendaki status quo, karena ia "ngeri" kalau sampai terjadi perpecahan. "Saya sendiri justru menghendaki ada seorang Rais Aam yang bisa menegur saya," ujarnya. Bayangan perpecahan memang demikian hebat, hingga Munas ini hanya ditargetkan menghasilkan rekomendasi untuk dibicarakan dalam Mubes. Tapi rekomendasi macam apa, tidak segera ada kata sepakat. Anwar Musaddad kemudian menghendaki Rais Aam dipilih saja oleh formatir yang dibentuk Muktamar NU di Semarang tahun 1979 -- yang memilih Bisri Sansuri tempo hari. Karena formatir ini dikhawatirkan bisa menghasilkan terpilihnya Musaddad jdi Rais Aam, K.H. Masykur menawarkan sebuah komite beranggotakan Iima orang untuk memilih Rais Aam. K.H. Ahmad Si-idig, pimpinan Pondok Siddiqiyah Jember (Ja-Tim), terheran-heran. Ia minta waktu untuk pidato. Salah satu kiai utama yang menjabat penasihat PB NU ini heran mengapa fomatir ditolak tapi ada usul baru yang menghendaki komite. "Kenapa tidak kita pilih sendiri saja? Saya mengusulkan dipilih secara langsung. Dan saya mengusulkan K.H. Ali Ma'shum," katanya tegas. Pidato Kiai Ahmad mendapat sambungan hangat. K.H. Masykur, pimpinan komisi, kemudian menawarkan nama itu. Tak ayal lagi, sebagian besar anggota komisi mengangkat tangan pertanda setuju. Memang ada yang tak mengangkat tangan, tapi ketika ditanyakan siapa yang tidak setuju, tak sebuah tangan pun yang diacungkan. Walhasil, seorang Rais Aam baru terpilih secara aklamasi. Kiai Ali, begitu sebutan akrab untuk Rais Aam baru yang juga memimpin Pondok Krapyak, Yogyakarta ini, memang sudah disebut-sebut sebagai salah satu calon. Namanya semakin terdengar nyaring oleh ketidakhadiran Kiai As'ad. Dan yang penting: memang ada kelompok yang melicinkan jalan ke arah terpilihnya Kiai Ali. "Dia memang dikenal keras tapi tidak akan sampai rnengeluarkan pernyataan yang sembrono," ujar Abdurrahman Wahid kolumnis TEMPO ang juga Sekretaris Syuriah NU, dan pendukung kuat Kiai Ali. Sehari sebelum komisi membicarakan jabatan Rais Aam Abdurrahman sudah melakukan sidang khusus sembilan orang untuk mencalonkan Kiai Ali. "Dialah yang selama ini paling memikirkan pembentukan kader," tambah Abdurrahman . Soal kader ini oleh kelompok intelektual dalam NU seperti Abdurrahman memang mendesak untuk dapat prioritas. Tidak bisa dielakkan bahwa akar NU yang begitu kuat dalam masyarakat Islam antara lain berkat adanya rasa ta' assub (taat) kepada kiai. Tapi ini suatu saat toh diperkirakan akan berkurang karena perubahan nilai-nilai di masyarakat. Masalahnya bagaimana menjaganya? Menurut Abdurrahman, akar itu tidak akan hilang kalau NU jadi organisasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, memikirkan masalah-masalah dasar mereka mulai dari pendidikan sampai persamaan hak-hak ekonomi. "Dalam pembangunan ekonomi tetap akan ada kelompok yang bisa lari lebih cepat dan mereka yang tertinggal di belakang. Kita yang memikirkan yang di belakang itu," ujar Abdurrahman. Persoalan-persoalan dasar itu memang tertinggal selama ini. K.H. Abdullah Siddiq, Ketua NU Ja-Tim, kakak Kiai Ahmad, menilai semua itu sebagai kerugian besar akibat berubahnya NU jadi partai politik. "Sejak NU jadi parpol tahun 1952, terjadi erosi terhadap tujuan yang dirumuskan waktu NU didirikan tahun 1926," katanya. Erosi itu menurut Kiai Ahmad misalnya berwujud dalam bentuk perebutan kursi, yang kalau perlu dengan jalan "menjegal teman, khianat atau berbuat bohong untuk sekedar mengejar dunia NU memang memproklamasikan dirisebagai partai tahun 1952 setelah keluar dari partai Islam yang mencakup pelbagai golongan Islam, Masyumi. Soalnya punya massa yang besar, NU merasa kurang dapat kesempatan dalam Masyumi. 13ahkan hanya delapan kursi yang diberikan pada NU dalam DPR(S) sementara ada 44 kursi yang diduduki non-NU. Keadaan itu terbukti tak seimbang. Sebab setelah jadi partai tersendiri dalam Pemilu 1955, NU memperoleh 45 kursi di DPR, hampir menyamai Masyumi yang meraih 57 kursi. Betapa pun, menjadi partai politik, berlaga dalam usaha memperoleh kekuasaan, bukanlah motif dasar NU waktu ia bermula. Waktu itu tahun 1916. Sekelompok anak muda sering berkumpul di langgar di Jalan Pegirian Surabaya tahun 1916 -- ketika jalan itu belum jadi pusat perdagangan besi tua seperti sekarang. Di langgar itu, pemuda seperti Abdulwahab Chasbullah, Mas Mansur dan Ahmad Dahlan sering terlibat diskusi soal-soal keagamaan. Sekali-sekali muncul pemuda luar Surabaya seperti Wahid Hasyim dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Mereka ini kemudian mendirikan perkumpulan diskusi bernama "Taswirul Afkar"--berarti "potret pemikiran". Grup inilah yang kemudian membentuk Komite Hijaz, sebuah perutusan yang ditugasi menghadap Raja Ibnu Su'ud di Hijaz (kini Arab Saudi) yang lagi "dilanda" gerakan Wahabi. Komite itu khawatir akan dilarangnya pengajaran ahlussunnah dan ziarah ke makam Nabi--karena kaum Wahabi yang keras itu menganggap penghormatan semacam itu sebagai penyembahan kepada kubur, berarti bid'ah. Mereka juga khawatir terjadi perlakuan tidak adil pada pengikut empat madzhab (Syafi'i, Hambali, Maliki dan Hanbali) karena kaum Wahabi hanya mau berpegang pada Quran dan Hadits. Komite yang dipimpin Kiai Wahab sangat berhasil. Tak aneh, bila kemudian tanggal pembentukan komite itu, 31 Januari 1926, jadi hari kebangkitan para ulama, yang dalam bahasa Arab berbunyi Nahdlatul Ulama. Itulah yang kemudian dipakai nama organisasi untuk melanjutkan misi Komite Hijaz tadi. Organisasi ituipandang perlu karena gerakan Wahabi yang ada di Hijaz itu ternyata pengaruhnya juga berkembang pesat di Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah. Mas Mansur sendiri, anggota grup diskusi 1916 itu, termasuk tokoh yang akhirnya memilih Muhammadiyah. Riwayat NU kemudian berkembang dari sikap membedakan diri dari organisasi seperti Muhammadiyah menjadi bersekutu dengan kelompok itu dalam partai Masyumi. Tapi persekutuan ini tak lama, hanya 7 tahun. Para pengikutnya yang setia rnenghendaki wadah yang jelas, yang dipimpin para kiai mereka sendiri -- dan bukan oleh para pemimpin Masyumi yang kebanyakan kaum intelektual Islam yang berpendidikan Barat. Dan lahirlah NU sebagai partai politik. Tapi dengan sifat khasnya yang Indonesia, bahkan Jawa pedalaman: loyal pada para kiai yang memimpin, tanpa ambisi jadi partai pelopor atau partai penguasa di seluruh Indonesia seperti ambisi PKI, PNI, PSI dan Masyumi. Tanpa ambisi itu pun, ada juga hasil yang diraih selama jadi parpol. Misalnya, seperti dikatakan Syaifuddin Zuhri dalam sebuah panel diskusi di Surabaya tahun lalu, lahirnya PP No. 10. Peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan ekonomi golongan asing dan keturunan Cina ini dikeluarkan Menteri Perdagangan Rahmat Mulyomiseno dari NU. Pendirian Masjid Istiqlal, IAIN dan penyelenggaraan MTQ juga dinilai sebagai hasil NU selama jadi partai. Tapi tak kurang dari itu ialah penguasaan Departemen Agama oleh NU selama bertahun-tahun. Orde Baru lahir dan sejak tahun 1971 NU bukan parpol lagi. Toh keterlibatan dalam politik masih terus berlangsung. Sebagai unsur terbesar dalam PPP sekarang, soal-soal politik masih akan tetap memerlukan perhatian NU dalam porsi yang besar. Apalagi fusi paripuma belum akan terwujud dalarn PPP. "Wajah politik" itu juga masih terlihat dari hasil Munas Kaliurang. Dari situ tercetus keputusan tentang gelar "Bapak Pembangunan" untuk Presiden Soeharto dan "calon presiden" yang lagi jadi isu politik hangat belakangan ini. Munas nampaknya tak ingin serta memberi gelar. Kalimatnya: "Jabatan tertinggi pemerintahan negara adalah Kepala Negara, yang menurut UUD '45 disebut Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, sedangkan menurut MPR adalah Mandataris. Agar tidak mengurangi martabat jabatan tersebut maka tidak diperlukan tambahan sebutan-sebutan lainnya." Tentang pencalonan presiden untuk 1983 nanti? Munas berpendapat, "hendaknya diajukan secara konstitusional dalam SU MPR hasil Pemilu 1982 tepat pada waktunya." Tak ada nama disebut-sebut, juga nama Soeharto. SEORANG anggota PB NU mengakui kurang tepat pernyataan semacam itu dikeluarkan oleh Munas Alim Ulama di Kaliurang. Tapi, "itu terpaksa dan lebih bersifat sebagai pagar untuk kalangan NU sendiri," ujar sumber TEMPO itu. Pagar itu rupanya harus dibuat setelah ada selentingan bahwa Mubes Gerakan Pemuda Ansor di Semarang tiga hari setelah Munas Kaliurang akan mengeluarkan pernyataan politik "mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden" dan "mengusulkan gelar Bapak Pembangunan" bagi Pak Harto--suatu usul yang dimulai oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo dan menimbulkan pdbagai tanggapan beberapa waktu yang lalu. Mubes Ansor ternyata memang disodori konsep itu oleh pengurus besarnya. Tentu saja terjadi pro-kontra yang "panas". DPW Ikatan Pelajar NU Ja-Teng misalnya mengeluarkan sekbaran "siap mengamankan keputusan Munas Kaliurang". Artinya tanpa pemberian gelar, tanpa pencalonan siapa pun. Pagar Munas agaknya cukup dihormati. Meskipun keluar juga keputusan di sekitar itu, di dalamnya ada perubahan yang membuat pernyataan itu jadi agak samar. Bahkan keputusan itu tidak termasuk yang dibacakan dalam penutupan Mubes di GOR Semarang yang antara lain diisi dengan pidato Menpen Ali Moertopo. Dalam hal "Bapak Pembangunan" Mubes Ansor hanya menilai bahwa "gagasan itu wajar". Sedang soal calon presiden, Ansor lebih tegas: Mubesnya"mengharapkan kepada anggota-anggota MPR hasil Pemilu 1982 ntuk mempercayakan kepemimpinan pembangunan nasional dalam Repelita IV pada Jenderal (Purn) Soeharto". Pemerintah narnpaknya puas. Menpen Ali Moertopo dalarn pidato di malam penutupan itu antara lain menyebutkan bahwa "Ansor ternyata tidak ketinggalan zaman". Apakah itu berarti Ansor meninggalkan induknya, NU? Nampaknya tidak. Organisasi yang dipimpin para ulama ini mungkin lebih suka menghindarkan diri dari kontraversi politik. Yang jelas kehendak untuk "kembali ke tujuan semula" semakin dapat tempat. Kongres NU di Semarang tahun 1979 yang mengesahkan NU kembali ke bentuk Jam'iyah semakin dipertegas dalam Munas Kaliurang. Soal-soal perbaikan gizi (quzun), penyediaan sarana kesehatan yang memadai, pembinaan golongan ekonomi lemah, penyebaran penduduk dan pendidikan jadi program kerja utama pengembangan lima tahun NU. Di bidang pendidikan, kini sedang digiatkan penyusunan kurikulum dan silabus untuk sekolah-sekolah NU, setelah berhasil dirumuskan apa tujuan pendidikan yang akan dicapai. Salah satu tujuan pendidikan itu, menurut hasil Munas Kaliurang: menumbuhkan sikap terbuka untuk mandiri, kemampuan bekerjasama dengan pihak lain, ketrampilan menggunakan ilmu dan teknologi yang kesemuanya itu menjadi perwujudan pengabdian diri kepada Allah. Soal pendidikan itu, yang bagi NU, dengan basis pondok pesantren, dianggap soal sentral, selama ini dinilai telanur. "Kalau ada klairn sekian puluh ribu sekolah dan madrasah NU sebenarnya itu merupakan hasil perorangan," ujar Abdullah Siddiq. Maka tak heran bila ada warga NU yang sengaja menarik diri dari gelanggang politik untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan. Misalnya, Kiai Ahmad. "Saya tidak mau suatu saat umat ini merasa kehilangan pemimpin hanya karena yang disebut pemimpin itu sibuk melulu dengan jabatan," ujar Kiai Ahmad. Abdurrahman Wahid yang mendirikan Pondok Ciganjur di Jakarta Selatan, juga berpikir demikian. Di pondoknya itu nanti, di sebuah gang kecil di sela-sela kebun buah, akan dididik banyak kader di berbagai disiplin ilmu. Mereka ini akan diperbantukan pada para kiai untuk mendukung kegiatan sosial di lingkungan pondok yang akan meningkat. Kekurangan tenaga dalam pelbagai keahlian dalam NU itu sangat dirasakan misalnya ketika ada yang menilai tidak ada anggota DPR dari NU yang berbobot. Bukan berarti tidak ada orang pandai dalam NU. Tapi, seperti dikatakan Abdullah Siddiq, soal "bobot" memang bukan satu-satunya pertimbangan dalam proses pencalonan anggota DPR/DPRD. Masih ada pertimbangan lain, misalnya aspirasi, untuk menjaga agar sang anggota tetap menyuarakan kehendak warga NU. Kalau belakangan kelompok NU dalam DPR dinilai keras, maka itu sekedar membawakan aspirasi tadi, seperti dikatakan Yusuf Hasyim. Soal keras dan tidak ini, menurut Abdurrahman Wahid, tergantung dari sikap pemerintah. "Selama ini banyak kiai dari NU yang masih bimbang. Mereka sangsi pada kesungguhan pemerintah dalam memperhatikan kepentingan Islam," ujar Abdurrahman, cucu menantu Kiai Bisri. Pemerintah, katanya, memang sudah berbuat banyak. Tapi kesangsian itu tidak bisa terhapus karena masih saja ada perlakuan tidak adil yang dilaporkan pada pata kiai itu. Misalnya masih ada saja "hambatan dalam pelaksanaan da'wah" dan timbulnya berbagai kasus setiap menjelang Pemilu. Kesangsian semacam itu sebenarnya tetjadi juga di zaman Orla--hanya saja suasana waktu itu tidak memungkinkan orang bicara terbuka. "Sekarang ini terasa keras, karena disampaikan dalam bentuk yang lebih langsung," ujar Abdurrahman. Bagaimana pun tetap mengherankan bahwa sikap keras itu--seperti dalam RUU Pemilu--dilakukan NU yang selama ini dikenal suka mengambil jalan "paling aman", dan tidak gemar beroposisi. Idham Chalid sendiri, yang konon tidak lagi mengharapkan jabatan mentereng dalam pemerintahan belakangan tidak banyak mengerem gejolak yang hidup dari kaum muda. Sikap itu antara lain yang turut menjaga keutuhan NU. Dan kini, terpilihnya Kiai Ali sebagai Rais Aam lebih menunjukkan kebulatan organisasi yang berlambang bola dunia itu. Kelompok yang semula berbeda pendapat sudah menerima Kiai Ali secara bulat. "Saya pernah bergaul lama dengan beliau dan saya tetmasuk yang mengagumi beliau," ujar Kiai Musaddad. Idham Chalid sendiri terharu sekali ketika memimpin pembacaan doa. "Ini doa yang bisa memadamkan kebakatan," ujar Idham.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus