PEKIK Allahu Akbar bergema di Kaliurang, tengah malam yang
dingin, 1 September lalu. Luapan kegembiraan terasa ketika Munas
Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) berakhir lebih cepat dari
rencana.
Munas di daerah peristirahatan di utara Yogyakarta itu, seperti
dikatakan K.H. Yusuf Hasyim, salah seorang Ketua PB NU, semula
diperkirakan akan "panas". Terutama di sekitar siapa calon Rais
Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU, suatu jabatan pokok karena dalam
pelbagai keputusan penting punya semacam hak veto. Jabatan itu
kosong sejak K.H. isri Syansuri meninggal dunia 24 April tahun
lalu.
Ada tiga pendapat yang muncul dalam komisi masaail khaashshah
(masalah-masalah khusus). Jawa barat misalnya menghendaki agar
otomatis saja wakil Rais Aam yang sekarang, K.H. Anwar Nusaddad,
dikukuhkan jadi Rais Aam. Bekas rektor IAIN Sunan Gunung Jati
itu sendiri sudah sanggup. Apalagi, seperti dia katakan,
prosedur seperti itu sudah jadi tradisi dalam NU.
Tapi pihak yang menghendaki jangan sampai Musaddad jadi Rais Aam
ternyata lebih banyak. Musaddad, biarpun pernah mukim di Saudi
Arabia selama 11 tahun, masih dianggap "kurang kiai". Alasan: ia
tidak punya pondok. Padahal, pondok pesantren merupakan akar
kokoh, dan sumber tenaa, dari NU. Semangat pondok menguasai
kehidupan pemimpin dan massa dalam organisasi yang sangat khas
Indonesia ini. Seperti dikatakan Ketua Umum PB NU KH. Idham
Chalid, "NU itu ibarat sebuah pondok besar".
Dan dalam pondok besar itu posis: Musaddad kurang beruntung. Ia
semakin terpojok ketika K.H. Syaifuddi Juhri, juga salah satu
Ketua PB NU membantah bahwa prosedur wakil otomatis--jadi ketua
itu sudah jadi tradisi NU. Misalnya naiknya K.H. Abdul wahab
Chabullah jadi Rais Aam sepeninggal Rais Akbar K.H. Hasyim
Asy'al, di tahun 1947 bukan lantaran Kiai Wihab menduduki wakil
Rais Aam sebelumnya. Jabatan itu ternyata di tangan K.H. A.
Fakih sebuah nama yang tampaknya kurang dikenal.
Musaddad kalah di sini. Dia dianggap kurang paham betul sejarah
NU. Dan lagi isyarat bahwa ia sanggup duduk sebagai Rais Aam
terasa disampaikan "terlalu pagi". Ini ternyata melahirkan
penilaian bahwa Musaddad menghendaki jabatan itu--suatu hal yang
dianggap semacam cela. Meskipun, mungkin soalnya Musaddad hanya
lebih berterus terang.
Tapi di luar itu, memang sudah ada yang menghendaki Rais Aam itu
dijabat K.H. As'ad dari Pefsantren Nurul Jadid Situbondo
(Ja-Tim). Ulama ini pun pengaruh besar. Sidang-sidang syurjah
NU tidak jarang dilakukan di Nurul Jadid. Sikapnya yang dinilai
"cepat panas" lebih mendapat dukungan dari kelompok "keras" yang
ditokohi Yusuf Hasyim.
Tapi Kiai As'ad tidak hadir dalam Munas. Ini adalah isyarat
bahwa ia tidak mau dicalonkan. Konon ia keberatan kalau harus
sering meninggalkan Situbondo itu akan berarti mengurangi
perhatian pada pondok.
Idham Chalid Ketua Umum PB NU sejak tahun 1954, tidak memihak
salah satu. Dia, seperti dikatakan dalam berbagai kesempatan,
menghendaki keadaan lowong itu dibiarkan saja sampai Mubes akan
datang.
Ada yang menilai dengan status quo macam itu Idham akan lebih
leluasa membuat langkah yang dikehendakinya, tanpa kontrol dari
tokoh yang lebih berwibawa di tingkat Syuriah. Dugaan ini
akhirnya dibantah. Idham menghendaki status quo, karena ia
"ngeri" kalau sampai terjadi perpecahan. "Saya sendiri justru
menghendaki ada seorang Rais Aam yang bisa menegur saya,"
ujarnya.
Bayangan perpecahan memang demikian hebat, hingga Munas ini
hanya ditargetkan menghasilkan rekomendasi untuk dibicarakan
dalam Mubes.
Tapi rekomendasi macam apa, tidak segera ada kata sepakat. Anwar
Musaddad kemudian menghendaki Rais Aam dipilih saja oleh
formatir yang dibentuk Muktamar NU di Semarang tahun 1979 --
yang memilih Bisri Sansuri tempo hari.
Karena formatir ini dikhawatirkan bisa menghasilkan terpilihnya
Musaddad jdi Rais Aam, K.H. Masykur menawarkan sebuah komite
beranggotakan Iima orang untuk memilih Rais Aam.
K.H. Ahmad Si-idig, pimpinan Pondok Siddiqiyah Jember (Ja-Tim),
terheran-heran. Ia minta waktu untuk pidato. Salah satu kiai
utama yang menjabat penasihat PB NU ini heran mengapa fomatir
ditolak tapi ada usul baru yang menghendaki komite. "Kenapa
tidak kita pilih sendiri saja? Saya mengusulkan dipilih secara
langsung. Dan saya mengusulkan K.H. Ali Ma'shum," katanya tegas.
Pidato Kiai Ahmad mendapat sambungan hangat. K.H. Masykur,
pimpinan komisi, kemudian menawarkan nama itu. Tak ayal lagi,
sebagian besar anggota komisi mengangkat tangan pertanda setuju.
Memang ada yang tak mengangkat tangan, tapi ketika ditanyakan
siapa yang tidak setuju, tak sebuah tangan pun yang diacungkan.
Walhasil, seorang Rais Aam baru terpilih secara aklamasi.
Kiai Ali, begitu sebutan akrab untuk Rais Aam baru yang juga
memimpin Pondok Krapyak, Yogyakarta ini, memang sudah
disebut-sebut sebagai salah satu calon. Namanya semakin
terdengar nyaring oleh ketidakhadiran Kiai As'ad. Dan yang
penting: memang ada kelompok yang melicinkan jalan ke arah
terpilihnya Kiai Ali.
"Dia memang dikenal keras tapi tidak akan sampai rnengeluarkan
pernyataan yang sembrono," ujar Abdurrahman Wahid kolumnis TEMPO
ang juga Sekretaris Syuriah NU, dan pendukung kuat Kiai Ali.
Sehari sebelum komisi membicarakan jabatan Rais Aam Abdurrahman
sudah melakukan sidang khusus sembilan orang untuk mencalonkan
Kiai Ali. "Dialah yang selama ini paling memikirkan pembentukan
kader," tambah Abdurrahman .
Soal kader ini oleh kelompok intelektual dalam NU seperti
Abdurrahman memang mendesak untuk dapat prioritas. Tidak bisa
dielakkan bahwa akar NU yang begitu kuat dalam masyarakat Islam
antara lain berkat adanya rasa ta' assub (taat) kepada kiai.
Tapi ini suatu saat toh diperkirakan akan berkurang karena
perubahan nilai-nilai di masyarakat. Masalahnya bagaimana
menjaganya?
Menurut Abdurrahman, akar itu tidak akan hilang kalau NU jadi
organisasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak,
memikirkan masalah-masalah dasar mereka mulai dari pendidikan
sampai persamaan hak-hak ekonomi. "Dalam pembangunan ekonomi
tetap akan ada kelompok yang bisa lari lebih cepat dan mereka
yang tertinggal di belakang. Kita yang memikirkan yang di
belakang itu," ujar Abdurrahman.
Persoalan-persoalan dasar itu memang tertinggal selama ini. K.H.
Abdullah Siddiq, Ketua NU Ja-Tim, kakak Kiai Ahmad, menilai
semua itu sebagai kerugian besar akibat berubahnya NU jadi
partai politik. "Sejak NU jadi parpol tahun 1952, terjadi erosi
terhadap tujuan yang dirumuskan waktu NU didirikan tahun 1926,"
katanya.
Erosi itu menurut Kiai Ahmad misalnya berwujud dalam bentuk
perebutan kursi, yang kalau perlu dengan jalan "menjegal teman,
khianat atau berbuat bohong untuk sekedar mengejar dunia NU
memang memproklamasikan dirisebagai partai tahun 1952 setelah
keluar dari partai Islam yang mencakup pelbagai golongan Islam,
Masyumi. Soalnya punya massa yang besar, NU merasa kurang dapat
kesempatan dalam Masyumi. 13ahkan hanya delapan kursi yang
diberikan pada NU dalam DPR(S) sementara ada 44 kursi yang
diduduki non-NU. Keadaan itu terbukti tak seimbang. Sebab
setelah jadi partai tersendiri dalam Pemilu 1955, NU memperoleh
45 kursi di DPR, hampir menyamai Masyumi yang meraih 57 kursi.
Betapa pun, menjadi partai politik, berlaga dalam usaha
memperoleh kekuasaan, bukanlah motif dasar NU waktu ia bermula.
Waktu itu tahun 1916. Sekelompok anak muda sering berkumpul di
langgar di Jalan Pegirian Surabaya tahun 1916 -- ketika jalan
itu belum jadi pusat perdagangan besi tua seperti sekarang.
Di langgar itu, pemuda seperti Abdulwahab Chasbullah, Mas Mansur
dan Ahmad Dahlan sering terlibat diskusi soal-soal keagamaan.
Sekali-sekali muncul pemuda luar Surabaya seperti Wahid Hasyim
dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Mereka ini kemudian
mendirikan perkumpulan diskusi bernama "Taswirul Afkar"--berarti
"potret pemikiran".
Grup inilah yang kemudian membentuk Komite Hijaz, sebuah
perutusan yang ditugasi menghadap Raja Ibnu Su'ud di Hijaz (kini
Arab Saudi) yang lagi "dilanda" gerakan Wahabi. Komite itu
khawatir akan dilarangnya pengajaran ahlussunnah dan ziarah ke
makam Nabi--karena kaum Wahabi yang keras itu menganggap
penghormatan semacam itu sebagai penyembahan kepada kubur,
berarti bid'ah. Mereka juga khawatir terjadi perlakuan tidak
adil pada pengikut empat madzhab (Syafi'i, Hambali, Maliki dan
Hanbali) karena kaum Wahabi hanya mau berpegang pada Quran dan
Hadits.
Komite yang dipimpin Kiai Wahab sangat berhasil. Tak aneh, bila
kemudian tanggal pembentukan komite itu, 31 Januari 1926, jadi
hari kebangkitan para ulama, yang dalam bahasa Arab berbunyi
Nahdlatul Ulama. Itulah yang kemudian dipakai nama organisasi
untuk melanjutkan misi Komite Hijaz tadi.
Organisasi ituipandang perlu karena gerakan Wahabi yang ada di
Hijaz itu ternyata pengaruhnya juga berkembang pesat di
Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah. Mas Mansur sendiri, anggota
grup diskusi 1916 itu, termasuk tokoh yang akhirnya memilih
Muhammadiyah.
Riwayat NU kemudian berkembang dari sikap membedakan diri dari
organisasi seperti Muhammadiyah menjadi bersekutu dengan
kelompok itu dalam partai Masyumi. Tapi persekutuan ini tak
lama, hanya 7 tahun. Para pengikutnya yang setia rnenghendaki
wadah yang jelas, yang dipimpin para kiai mereka sendiri -- dan
bukan oleh para pemimpin Masyumi yang kebanyakan kaum
intelektual Islam yang berpendidikan Barat.
Dan lahirlah NU sebagai partai politik. Tapi dengan sifat
khasnya yang Indonesia, bahkan Jawa pedalaman: loyal pada para
kiai yang memimpin, tanpa ambisi jadi partai pelopor atau partai
penguasa di seluruh Indonesia seperti ambisi PKI, PNI, PSI dan
Masyumi.
Tanpa ambisi itu pun, ada juga hasil yang diraih selama jadi
parpol. Misalnya, seperti dikatakan Syaifuddin Zuhri dalam
sebuah panel diskusi di Surabaya tahun lalu, lahirnya PP No. 10.
Peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan ekonomi golongan
asing dan keturunan Cina ini dikeluarkan Menteri Perdagangan
Rahmat Mulyomiseno dari NU. Pendirian Masjid Istiqlal, IAIN dan
penyelenggaraan MTQ juga dinilai sebagai hasil NU selama jadi
partai. Tapi tak kurang dari itu ialah penguasaan Departemen
Agama oleh NU selama bertahun-tahun.
Orde Baru lahir dan sejak tahun 1971 NU bukan parpol lagi. Toh
keterlibatan dalam politik masih terus berlangsung. Sebagai
unsur terbesar dalam PPP sekarang, soal-soal politik masih akan
tetap memerlukan perhatian NU dalam porsi yang besar. Apalagi
fusi paripuma belum akan terwujud dalarn PPP.
"Wajah politik" itu juga masih terlihat dari hasil Munas
Kaliurang. Dari situ tercetus keputusan tentang gelar "Bapak
Pembangunan" untuk Presiden Soeharto dan "calon presiden" yang
lagi jadi isu politik hangat belakangan ini. Munas nampaknya tak
ingin serta memberi gelar. Kalimatnya: "Jabatan tertinggi
pemerintahan negara adalah Kepala Negara, yang menurut UUD '45
disebut Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata,
sedangkan menurut MPR adalah Mandataris. Agar tidak mengurangi
martabat jabatan tersebut maka tidak diperlukan tambahan
sebutan-sebutan lainnya."
Tentang pencalonan presiden untuk 1983 nanti? Munas berpendapat,
"hendaknya diajukan secara konstitusional dalam SU MPR hasil
Pemilu 1982 tepat pada waktunya." Tak ada nama disebut-sebut,
juga nama Soeharto.
SEORANG anggota PB NU mengakui kurang tepat pernyataan semacam
itu dikeluarkan oleh Munas Alim Ulama di Kaliurang. Tapi, "itu
terpaksa dan lebih bersifat sebagai pagar untuk kalangan NU
sendiri," ujar sumber TEMPO itu.
Pagar itu rupanya harus dibuat setelah ada selentingan bahwa
Mubes Gerakan Pemuda Ansor di Semarang tiga hari setelah Munas
Kaliurang akan mengeluarkan pernyataan politik "mencalonkan
kembali Soeharto sebagai presiden" dan "mengusulkan gelar Bapak
Pembangunan" bagi Pak Harto--suatu usul yang dimulai oleh
Menteri Penerangan Ali Moertopo dan menimbulkan pdbagai
tanggapan beberapa waktu yang lalu.
Mubes Ansor ternyata memang disodori konsep itu oleh pengurus
besarnya. Tentu saja terjadi pro-kontra yang "panas". DPW Ikatan
Pelajar NU Ja-Teng misalnya mengeluarkan sekbaran "siap
mengamankan keputusan Munas Kaliurang". Artinya tanpa pemberian
gelar, tanpa pencalonan siapa pun.
Pagar Munas agaknya cukup dihormati. Meskipun keluar juga
keputusan di sekitar itu, di dalamnya ada perubahan yang membuat
pernyataan itu jadi agak samar. Bahkan keputusan itu tidak
termasuk yang dibacakan dalam penutupan Mubes di GOR Semarang
yang antara lain diisi dengan pidato Menpen Ali Moertopo.
Dalam hal "Bapak Pembangunan" Mubes Ansor hanya menilai bahwa
"gagasan itu wajar". Sedang soal calon presiden, Ansor lebih
tegas: Mubesnya"mengharapkan kepada anggota-anggota MPR hasil
Pemilu 1982 ntuk mempercayakan kepemimpinan pembangunan
nasional dalam Repelita IV pada Jenderal (Purn) Soeharto".
Pemerintah narnpaknya puas. Menpen Ali Moertopo dalarn pidato di
malam penutupan itu antara lain menyebutkan bahwa "Ansor
ternyata tidak ketinggalan zaman".
Apakah itu berarti Ansor meninggalkan induknya, NU? Nampaknya
tidak. Organisasi yang dipimpin para ulama ini mungkin lebih
suka menghindarkan diri dari kontraversi politik. Yang jelas
kehendak untuk "kembali ke tujuan semula" semakin dapat tempat.
Kongres NU di Semarang tahun 1979 yang mengesahkan NU kembali ke
bentuk Jam'iyah semakin dipertegas dalam Munas Kaliurang.
Soal-soal perbaikan gizi (quzun), penyediaan sarana kesehatan
yang memadai, pembinaan golongan ekonomi lemah, penyebaran
penduduk dan pendidikan jadi program kerja utama pengembangan
lima tahun NU.
Di bidang pendidikan, kini sedang digiatkan penyusunan kurikulum
dan silabus untuk sekolah-sekolah NU, setelah berhasil
dirumuskan apa tujuan pendidikan yang akan dicapai. Salah satu
tujuan pendidikan itu, menurut hasil Munas Kaliurang:
menumbuhkan sikap terbuka untuk mandiri, kemampuan bekerjasama
dengan pihak lain, ketrampilan menggunakan ilmu dan teknologi
yang kesemuanya itu menjadi perwujudan pengabdian diri kepada
Allah.
Soal pendidikan itu, yang bagi NU, dengan basis pondok
pesantren, dianggap soal sentral, selama ini dinilai telanur.
"Kalau ada klairn sekian puluh ribu sekolah dan madrasah NU
sebenarnya itu merupakan hasil perorangan," ujar Abdullah
Siddiq.
Maka tak heran bila ada warga NU yang sengaja menarik diri dari
gelanggang politik untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan.
Misalnya, Kiai Ahmad. "Saya tidak mau suatu saat umat ini merasa
kehilangan pemimpin hanya karena yang disebut pemimpin itu sibuk
melulu dengan jabatan," ujar Kiai Ahmad.
Abdurrahman Wahid yang mendirikan Pondok Ciganjur di Jakarta
Selatan, juga berpikir demikian. Di pondoknya itu nanti, di
sebuah gang kecil di sela-sela kebun buah, akan dididik banyak
kader di berbagai disiplin ilmu. Mereka ini akan diperbantukan
pada para kiai untuk mendukung kegiatan sosial di lingkungan
pondok yang akan meningkat.
Kekurangan tenaga dalam pelbagai keahlian dalam NU itu sangat
dirasakan misalnya ketika ada yang menilai tidak ada anggota DPR
dari NU yang berbobot. Bukan berarti tidak ada orang pandai
dalam NU. Tapi, seperti dikatakan Abdullah Siddiq, soal "bobot"
memang bukan satu-satunya pertimbangan dalam proses pencalonan
anggota DPR/DPRD. Masih ada pertimbangan lain, misalnya
aspirasi, untuk menjaga agar sang anggota tetap menyuarakan
kehendak warga NU.
Kalau belakangan kelompok NU dalam DPR dinilai keras, maka itu
sekedar membawakan aspirasi tadi, seperti dikatakan Yusuf
Hasyim.
Soal keras dan tidak ini, menurut Abdurrahman Wahid, tergantung
dari sikap pemerintah. "Selama ini banyak kiai dari NU yang
masih bimbang. Mereka sangsi pada kesungguhan pemerintah dalam
memperhatikan kepentingan Islam," ujar Abdurrahman, cucu menantu
Kiai Bisri.
Pemerintah, katanya, memang sudah berbuat banyak. Tapi
kesangsian itu tidak bisa terhapus karena masih saja ada
perlakuan tidak adil yang dilaporkan pada pata kiai itu.
Misalnya masih ada saja "hambatan dalam pelaksanaan da'wah" dan
timbulnya berbagai kasus setiap menjelang Pemilu.
Kesangsian semacam itu sebenarnya tetjadi juga di zaman
Orla--hanya saja suasana waktu itu tidak memungkinkan orang
bicara terbuka. "Sekarang ini terasa keras, karena disampaikan
dalam bentuk yang lebih langsung," ujar Abdurrahman.
Bagaimana pun tetap mengherankan bahwa sikap keras itu--seperti
dalam RUU Pemilu--dilakukan NU yang selama ini dikenal suka
mengambil jalan "paling aman", dan tidak gemar beroposisi.
Idham Chalid sendiri, yang konon tidak lagi mengharapkan jabatan
mentereng dalam pemerintahan belakangan tidak banyak mengerem
gejolak yang hidup dari kaum muda. Sikap itu antara lain yang
turut menjaga keutuhan NU.
Dan kini, terpilihnya Kiai Ali sebagai Rais Aam lebih
menunjukkan kebulatan organisasi yang berlambang bola dunia itu.
Kelompok yang semula berbeda pendapat sudah menerima Kiai Ali
secara bulat. "Saya pernah bergaul lama dengan beliau dan saya
tetmasuk yang mengagumi beliau," ujar Kiai Musaddad.
Idham Chalid sendiri terharu sekali ketika memimpin pembacaan
doa. "Ini doa yang bisa memadamkan kebakatan," ujar Idham.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini