METAFORA yang dipakai untuk Pancasila adalah metafora pertanian.
Dia "digali", bukannya "diciptakan". Seperti ubi, bekal untuk
hidup. Atau seperti peninggalan lama yang sering ditemukan para
peladang ketika mereka mencangkuli sawah, pada suatu pagi
sehabis mimpi.
Tanah, bumi, petak yang sedang diolah, dengan bagusnya tergambar
di kepala kita. Pancasila tersimpan di bawah sana. Mungkin
tumbuh. Dia kemudian digali: sesuatu yang potensial pun
diaktualisasikan--dengan kerja, otot, keringat. Juga akal sehat.
Ide, dalam bayangan kita yang seperti itu, tidak turun dari
langit. Ide bukanlah wahyu. Proses penggaliannya, proses
aktualisasi itu, tidak seketika. Apalagi proses mula-bukanya.
Sesuatu yang tersimpan, apalagi tumbuh dalam bumi, memerlukan
sejarah.
Karena itulah seorang sejarawan dengan tepatnya pernah
mengatakan bahwa suiit menetapkan tanggal lahirnya sebuah ide.
Kapan Pancasila lahir? Buku pidato Bung Karno tangga1, 1 Juni
1945 disebut dengan judul Lahirnya Pancasila Tapi untuk
mengatakan bahwa Pancasila di hari itu langsung ada dari
ketiadaan hampir sama artinya dengan mengatakan bahwa Pancasila
terbit dari Sabda Tuhan. Itu berarti dia bukan lagi sesuatu yang
digali.
Dan kata"penggalian " bagaimana pun hanya suatu kiasan. Ia akan
bisa menyesatkan bila kita menafsirkannya secara harfiah.
"Cangkulan" pertama Bung Karno karena itu tak diayunkan pada 1
Juni 1945, melainkan jauh sebelum itu. Pidatonya yang cemerlang
pada 1 Juni 1945, yang ia ucapkan selama sekitar satu jam untuk
menjawab pertanyaan apa dasar negara Indonesia, jelas merupakan
hasil pemikiran bertahun-tahun. Juga buah suatu pengalaman.
Dalam pemikiran dan pengalaman itu bagaimana Bung Karno bisa
bersendiri? Dia bergumul dan bertukar gagasan. Dia belajar
sambil merenung dari orang lain. Dia meletakkan kuping dan
hatinya kepada realitas-realitas di masyarakat. Lalu dia
merumuskan pikiran-pikirannya, dalam pelbagai tulisan--sejak
tahun 1920-an.
Dari tinjauan seperti itu proporsi Pancasila mungkin bisa nampak
lebih tepat. Perumusan lima asas itu, yang mencerrninkan
semangat terbaik dari pelbagai sudut kehidupan, bukanlah sesuatu
yang sama sekali baru.
Bung Karno telah mencernakan kitab-kiub suci dan
ideologiideologi dia menelaah serta memungut banyak dari apa
yang ia sebut "Islamisme". Ia juga memetik banyak--banyak sekali
bahkan--dari Marxisme.
Dan seperti terlihat dari pidatonya pada 1 Juni 1945, dia
tanggap pula akan pelbagai kecenderungan atau aliran yang hidup
di masyarakat Indonesia. Dia tahu kepentingan pelbagai kekuatan
politik dan golongan di sekitarnya. Dia menawarkan suatu
kebersamaan.
Karena itulah ketika perumusan Pancasila ditata kembali secara
beramai-ramai oleh para peletak dasar Republik Bung Karno tidak
berkeberatan. Yang penting bukan saja dia tak menyatakan diri
sebagai pemegang hak cipta perumusan itu, tapi juga dia sendiri
tak menganggap sumbangan pikirannya sebagai suatu dogma yang
suci.
Sayang kita tidak hidup di dalam suasana pertengahan 1945 itu.
Kini pembicaraan mengenai Pancasila dan Bung Karno telah
demikian rupa, hingga kejujuran dan keterus-terangan terasa amat
sukar. Hampir setiap diskusi tentang ini, setiap interpretasi
baru dan pendekatan yang berbeda, condorg dicurigai sebagai
penyelewengan. Siapa tahu sebentar lagi juga dianggap sebagai
kemurtadan . . .
Dan "satu kuil pemujaan yang sama sekali baru terjadilah,
meskipun tokohtokohnya tak disebut sebagai dewa."
Itu adalah satu kalimat dalam risalah kecil Karl Jaspers tentang
Sokrates, Budha Konfusius dan Jesus: tentang terjadinya
pendewaan baru, dalam Budhisme. Padahal, seperti kata Jaspers,
Budha sendiri, "tidak berhasrat untuk melekatkan pandangannya
yang bijaksana pada pribadinya."
O, Ananda, jadilah larnpu bagi dirimu sendiri--itulah memang
kata penghabisan Sang Budha, kepada muridnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini