Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ditata Kembali

Sulit menentukan tgl lahir Pancasila dengan tepat. Pidato Soekarno, 1 Jun'45, menyatakan dasar negara merupakan hasil pemikiran bertahun-tahun. Ketika perumusannya ditata kembali, Bung Karno tak keberatan.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

METAFORA yang dipakai untuk Pancasila adalah metafora pertanian. Dia "digali", bukannya "diciptakan". Seperti ubi, bekal untuk hidup. Atau seperti peninggalan lama yang sering ditemukan para peladang ketika mereka mencangkuli sawah, pada suatu pagi sehabis mimpi. Tanah, bumi, petak yang sedang diolah, dengan bagusnya tergambar di kepala kita. Pancasila tersimpan di bawah sana. Mungkin tumbuh. Dia kemudian digali: sesuatu yang potensial pun diaktualisasikan--dengan kerja, otot, keringat. Juga akal sehat. Ide, dalam bayangan kita yang seperti itu, tidak turun dari langit. Ide bukanlah wahyu. Proses penggaliannya, proses aktualisasi itu, tidak seketika. Apalagi proses mula-bukanya. Sesuatu yang tersimpan, apalagi tumbuh dalam bumi, memerlukan sejarah. Karena itulah seorang sejarawan dengan tepatnya pernah mengatakan bahwa suiit menetapkan tanggal lahirnya sebuah ide. Kapan Pancasila lahir? Buku pidato Bung Karno tangga1, 1 Juni 1945 disebut dengan judul Lahirnya Pancasila Tapi untuk mengatakan bahwa Pancasila di hari itu langsung ada dari ketiadaan hampir sama artinya dengan mengatakan bahwa Pancasila terbit dari Sabda Tuhan. Itu berarti dia bukan lagi sesuatu yang digali. Dan kata"penggalian " bagaimana pun hanya suatu kiasan. Ia akan bisa menyesatkan bila kita menafsirkannya secara harfiah. "Cangkulan" pertama Bung Karno karena itu tak diayunkan pada 1 Juni 1945, melainkan jauh sebelum itu. Pidatonya yang cemerlang pada 1 Juni 1945, yang ia ucapkan selama sekitar satu jam untuk menjawab pertanyaan apa dasar negara Indonesia, jelas merupakan hasil pemikiran bertahun-tahun. Juga buah suatu pengalaman. Dalam pemikiran dan pengalaman itu bagaimana Bung Karno bisa bersendiri? Dia bergumul dan bertukar gagasan. Dia belajar sambil merenung dari orang lain. Dia meletakkan kuping dan hatinya kepada realitas-realitas di masyarakat. Lalu dia merumuskan pikiran-pikirannya, dalam pelbagai tulisan--sejak tahun 1920-an. Dari tinjauan seperti itu proporsi Pancasila mungkin bisa nampak lebih tepat. Perumusan lima asas itu, yang mencerrninkan semangat terbaik dari pelbagai sudut kehidupan, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Bung Karno telah mencernakan kitab-kiub suci dan ideologiideologi dia menelaah serta memungut banyak dari apa yang ia sebut "Islamisme". Ia juga memetik banyak--banyak sekali bahkan--dari Marxisme. Dan seperti terlihat dari pidatonya pada 1 Juni 1945, dia tanggap pula akan pelbagai kecenderungan atau aliran yang hidup di masyarakat Indonesia. Dia tahu kepentingan pelbagai kekuatan politik dan golongan di sekitarnya. Dia menawarkan suatu kebersamaan. Karena itulah ketika perumusan Pancasila ditata kembali secara beramai-ramai oleh para peletak dasar Republik Bung Karno tidak berkeberatan. Yang penting bukan saja dia tak menyatakan diri sebagai pemegang hak cipta perumusan itu, tapi juga dia sendiri tak menganggap sumbangan pikirannya sebagai suatu dogma yang suci. Sayang kita tidak hidup di dalam suasana pertengahan 1945 itu. Kini pembicaraan mengenai Pancasila dan Bung Karno telah demikian rupa, hingga kejujuran dan keterus-terangan terasa amat sukar. Hampir setiap diskusi tentang ini, setiap interpretasi baru dan pendekatan yang berbeda, condorg dicurigai sebagai penyelewengan. Siapa tahu sebentar lagi juga dianggap sebagai kemurtadan . . . Dan "satu kuil pemujaan yang sama sekali baru terjadilah, meskipun tokohtokohnya tak disebut sebagai dewa." Itu adalah satu kalimat dalam risalah kecil Karl Jaspers tentang Sokrates, Budha Konfusius dan Jesus: tentang terjadinya pendewaan baru, dalam Budhisme. Padahal, seperti kata Jaspers, Budha sendiri, "tidak berhasrat untuk melekatkan pandangannya yang bijaksana pada pribadinya." O, Ananda, jadilah larnpu bagi dirimu sendiri--itulah memang kata penghabisan Sang Budha, kepada muridnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus