Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapa Penembak Jenderal Mallaby di Surabaya, Benarkah Ajis Endhog dari Ampel?

Hari ini tepat 78 tahun lalu Jenderal Mallaby tewas di Surabaya. Tempo bertemu anak Ajis Endhog dan putra Doel Arnowo.

30 Oktober 2023 | 06.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Surabaya - Hari ini tepat 78 tahun lalu Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby tewas. Kematian Mallaby menyulut meletusnya perang Surabaya sepanjang Nopember 1945. Sebanyak 20 ribu pejuang dan rakyat diperkirakan gugur dalam perang kota yang diakui sebagai salah satu yang terbesar di dunia itu.

Namun peristiwa itu masih menyisakan tanda tanya, siapa sebenarnya pembunuh Jenderal Mallaby?  Pemerintah pun tidak pernah menyebutkan secara gamblang di diktat-diktat sejarah mengenai sosok pelaku penembakan tersebut.

Osa Kurniawan Ilham dalam bukunya berjudul Laksamana III Atmadji (2023) menuturkan bahwa terbunuhnya Mallaby merupakan buntut dari pendaratan 6.000 pasukan  Brigade ke-49 di Tanjung Perak, Surabaya pada 25 Oktober 1945.

Arogansi sebagai pemenang Perang Dunia II membuat Brigade ke-49 merasa leluasa menguasai bangunan-bangunan strategis di Surabaya. Sikap sombong pasukan Sekutu itu memberikan kesan kurang baik di mata rakyat Surabaya.

Sesuai misinya, pasukan Sekutu bertugas mengumpulkan orang-orang Belanda, Indo dan Eropa lainnya yang baru dibebaskan dari interniran. Namun rakyat Surabaya mulai curiga bahwa kedatangan pasukan Sekutu juga disusupi oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), sehingga aksi kemanusiaan itu dianggap sebagai kedok belaka.

Suasana Surabaya kian memanas ketika rakyat menganggap komandan pasukan Sekutu mengkhianati perjanjian sebelumnya setelah secara sepihak menyebarkan pamflet-pamflet lewat pesawat terbang dari Jakarta. Isi pamflet berupa perintah agar rakyat Surabaya segera menyerahkan senjatanya pada Sekutu.

Imbauan itu justru memicu kemarahan. Rakyat tak sudi menuruti permintaan Sekutu. Pertempuran babak pertama pun pecah. Namun pasukan Sekutu di bawah komando Mallaby lengkap dengan senjata berat ditambah tank kavaleri, nyaris mengalami kehancuran dalam pertempuran sengit 28-30 Oktober 1945 itu.

Pos-pos mereka yang tersebar  dalam kota sudah dikepung rakyat, sebagian di antaranya dibakar dan dihancurkan. Salah satu pos yang dihancurkan ialah di Gedung Radio Simpang. Lapangan terbang Morokrembangan yang semula dikuasai Inggris pun berhasil direbut. Inggris terdesak mundur dan berlindung di dok-dok Pelabuhan.

Inggris khawatir pasukan Sekutu yang baru saja pulang membawa kemenangan dari palagan tempur Perang Dunia II itu akan habis di Surabaya. Mereka mulai mencari pemimpin-pemimpin lokal yang dapat menenangkan emosi rakyat Surabaya. Namun tak ada gambaran.

Harapan terakhir tinggal kepada Presiden Sukarno. Esok harinya, 29 Oktober 1945, Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin diterbangkan ke Surabaya menggunakan pesawat RAF.

Pendaratan pesawat tersebut di Lapangan Terbang Morokrembangan bersamaan dengan hujan peluru pertempuran antara pasukan Inggris melawan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sukarno turun sambil mengacung-acungkan bendera merah putih, sehingga ia dan rombongan selamat dari terjangan peluru.

Mereka dijemput pejuang Indonesia menggunakan mobil tertutup, dibawa melewati jalan berliku-liku dengan nyalak senjata masih terdengar jelas di sana-sini, hingga akhirnya rombongan tiba dengan selamat di kediaman Residen Soedirman di van Sandicstraat (sekarang Jalan Residen Sudirman).

Perundingan dengan pihak Inggris pun digelar. Inggris meminta diadakan gencatan senjata, adapun kelompok pejuang Surabaya menagih janji Mallaby pada 26 Oktober 1945 untuk tidak melucuti senjata mereka. Namun Mallaby enggan menuruti permintaan pejuang itu. Alasannya, sebagai perwira militer, ia wajib patuh pada perintah atasannya.

Perbedaan pendapat itu menyebabkan suasana rapat tegang. Sukarno pun segera mengambil sikap agar dua belah pihak menghentikan tembak menembak. Pernyataan Sukarno itu segera disebarkan ke seantero kota yang sedang mendidih.

Adalah Soemarsono dari laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang tak puas dengan sikap Presiden. Ia, yang kelak terlibat Madiun Affair bersama Amir Sjarifoeddin pada 1948, memberikan kesaksian beberapa tahun kemudian bahwa kemenangan atas Sekutu sejatinya sudah di depan mata. Dalam keyakinan Soemarsono, sebentar lagi Inggris dan sekutunya pasti bertekuk lutut.

Dari medan pertempuran di pinggiran kota, tepatnya di Wonokromo, Soemarsono pun segera melesat ke tengah kota untuk mencari Sukarno. Ia berniat memprotes kebijakan penghentian tembak-menembak tersebut. Kebetulan ia berpapasan dengan iring-iringan konvoi Presiden di Jalan Ngagel. Soemarsono pun langsung menghadangnya.

“Ini kita dalam keadaan unggul kok diberhentikan? Kalau kita kepepet diberhentikan, ya, bagus, tapi kita unggul kok diberhentikan? Bagaimana kok Bung tidak berbicara dengan kami yang memimpin pertempuran ini? Kami yang bertanggung jawab. Korban pun sudah banyak dan sebentar lagi itu kita menang. Kok Bung berhentikan?”

Menurut Soemarsono, ia tak kenal Sukarno dan Hatta yang diam saja di mobil saat diprotes keras. Namun Soemarsono terkejut melihat Amir Sjarifoeddin keluar. Bagi Soemarsono, Amir adalah pimpinannya sewaktu di Gerindo. Amir langsung merangkul Soemarsono sambil berbisik bahwa semua telah didiskusikan dan keputusannya seperti itu.

“Oleh karena Amir Sjarifoeddin bilang bahwa ini sudah keputusan, ya, saya tunduk saja. Jadi, saya kayak Gatotkaca ilang gapite. Kemudian saya malah diajak masuk ke mobil Amir itu. Saya dibawa ke Jalan Mawar di tempat corong radio yang dipakai gembar-gembor oleh Soetomo (Bung Tomo) itu. Akhirnya saya ikut menyerukan berhenti tembak menembak.

Karena peristiwa itu, Bung Karno kemudian jadi dekat dengan saya, lalu dalam rapat-rapat umum dia bilang ‘Ini adikku Kakrasana.’ Tapi dalam hati saya bilang, Kakrasana yang ilang gapite itu.”

Perundingan tingkat tinggi akhirnya digelar di lantai dua Kantor Gubernur keesokan harinya, 30 Oktober 1945 pagi hari menjelang siang. Perundingan berjalan dalam suasana tegang. Pembicaraan kacau, terkadang perwakilan Surabaya menggunakan kata-kata kasar.

Beberapa tank milik TKR diperintahkan jalan memutari gedung, niatnya untuk mengintimidasi Inggris. Namun suara bising tank peninggalan Jepang itu justru menganggu konsentrasi Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin, sehingga diperintahkan untuk berhenti berputar-putar.

Perundingan antara lain memutuskan bahwa tentara Sekutu harus ditarik dari gedung-gedung di tengah kota dan dikonsentrasikan di Pelabuhan Tanjung Perak. Dua belah pihak juga sepakat membentuk badan penghubung (kontak biro) yang beranggotakan Mallaby, Kolonel L.P.H. Pugh, Mayor M. Hodson, Kapten H. Shaw dan Wing Commander Groom dari pihak Inggris,

Sedangkan dari Indonesia terdiri dari Residen Soedirman, Abdoel Azim Arnowo (Doel Arnowo), Atmadji, Mohamad Mangundiprojo, Soengkono, Soejono, Koesnandar, Roeslan Abdulgani dan T.D, Kundan. Setelah dicapai kesepakatan, siang itu juga Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Detik-detik Penembakan Mallaby

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun persoalan belum usai. Pasukan Gurkha yang masih menempati Gedung Internatio, Jembatan Merah, berulah. Mereka terkadang menembaki pengguna jalan yang lewat di sekitar gedung, sehingga kembali memicu kemarahan rakyat Surabaya. Sekitar pukul 15.00 gedung tersebut mulai dikepung oleh ratusan pejuang dan rakyat. Baku tembak tak terhindarkan dan berlangsung hingga dua jam.

Kejadian itu memaksa anggota Kontak Biro yang baru beberapa jam terbentuk mendatangi lokasi untuk menghentikan tembak-menembak. Mereka menaiki beberapa mobil dan berjalan beriringan menuju Internatio.

Dalam artikelnya di Surabaya Post edisi Rabu, 6 Nopember 1985, berjudul Siapa Pembunuh Mallaby, Mengapa Dul Arnowo Tidak Bercerita? Suparto Brata menyatakan bahwa Mallaby sempat masuk dan berbicara dengan pasukan Gurkha di dalam gedung agar menghentikan tembakan.

Dengan berhentinya tembakan, pejuang Indonesia yang mengepung Gedung Internatio mulai keluar dari persembunyian dan ramai-ramai mengerumuni mobil-mobil yang berhenti di depan gedung. Mereka menuntut agar pasukan Gurkha di Internatio segera angkat kaki ke pelabuhan.

Soedirman dan Doel Arnowo memberi keterangan bahwa pasukan Gurkha akan dipindah ke Pelabuhan pada esok hari oleh TKR. Para pejuang Surabaya terlihat bisa menerima penjelasan itu. Brigadir Mallaby kembali masuk mobilnya, ia  hendak meneruskan perjalanan ke tempat lain yang masih terdengar suara tembak-menembak.

Mobilnya maju, lalu menikung ke kanan, lewat Willemplein Noord menuju Jembatan Merah. Anggota Kontak Biro lainnya juga menyusul masuk mobilnya sendiri-sendiri, mereka mulai bergerak akan meninggalkan Internatio.

Melihat iring-iringan mobil meninggalkan gedung, sedangkan pasukan Gurkha masih ada di dalam, pejuang dan rakyat Surabaya tak puas. Terutama mereka yang tidak mendengar penjelasan yang telah disampaikan Soedirman dan Doel Arnowo. Mereka berteriak-teriak berusaha menghentikan laju mobil yang mulai beringsut, terutama mobil yang ditumpangi Mallaby.

Mobil pun berhenti. Banyak saksi kejadian itu yang kemudian tahu bahwa Mallaby mengutus Kapten Shaw pergi ke Gedung Internatio. Sumber Indonesia menceritakan bahwa sebenarnya Mallaby sendiri yang mula-mula akan turun, namun dicegah oleh anggota Kontak Biro karena suasana masih tegang.

Agar lebih mantap, perjalanan Kapten Shaw diikuti oleh perwira Indonesia, Mohammad Mangundiprojo, serta T.D. Kundan sebagai penerjemah. Kundan adalah pengusaha asal India yang bersimpati pada perjuangan Indonesia.

Sementara para utusan pergi ke gedung, Mallaby dan para anggota Kontak Biro menunggu di mobil. Dari gedung berjarak sekitar 200 meter, dan hanya beberapa meter saja dari Kalimas serta Jembatan Merah. Suasana mulai remang-remang mendekati magrib.

Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba terlihat T.D. Kundan berlari keluar sambil berteriak memperingatkan bahwa pasukan Gurkha di dalam gedung sedang menyiapkan tembakan. Benar saja, tembakan gencar terdengar diikuti ledakan-ledakan granat di sekitar gedung.

Pejuang Indonesia yang awalnya berkumpul di depan gedung, spontan berlarian lintang pukang mencari tempat perlindungan. Terjadilan tembak-menembak lagi antara pasukan Gurkha di dalam gedung melawan pejuang Indonesia yang mengepungnya.

Suasana makin semrawut. Hari beranjak gelap. Tak ada kesaksian setelah malam itu.  Keesokan harinnya Inggris menyatakan bahwa Mallaby killed.

Pengakuan-pengakuan

Sampai 1973, orang masih bertanya-tanya siapa pembunuh Mallaby. Para saksi mata yang saat itu masih hidup tentu tahu jawabannya. Tapi mereka bungkam. Tidak bersedia bersaksi secara lisan maupun menuliskannya dalam bentuk artikel testimoni.

Menurut Suparto Brata, Doel Arnowo baru sedikit mengungkap teka-teki itu dalam artikel Roeslan Abdulgani berjudul Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan. Artikel tersebut pertama kali muncul di Surabaya Post edisi 25 Oktober-9 Nopember 1973.

Dalam tulisan itu diceritakan bahwa saat tembak-menembak terjadi, semua anggota Kontak Biro berlarian menyelamatkan diri. Roeslan Abdulgani, Doel Arnowo, Soengkono, Kusnandar, dan dokter Mursito melompat ke Kalimas. Seorang pemuda menyusul meloncat dan berkata pada Doel Arnowo, “Wis beres, Cak (Sudah beres, Kak).”

“Apanya yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo.

“Jenderal Inggris-nya. Mobilnya meledak dan terbakar.”

“Siapa yang meledakkan?” Doel Arnowo terkejut.

“Tidak tahu, ada granat yang meledak di dalam mobil, tapi dari pihak kita pun ada yang menembak ke arah mobil tersebut,” kata pemuda itu.

Para pemimpin Indonesia kaget mendengar laporan itu. Lalu berpesan, “Sudah, diam saja. Jangan ceritakan hal ini kepada orang lain!”

Sejak artikel itu dipublikasikan, tabir kematian Mallaby mulai sedikit terungkap. Dan 32 tahun setelah tewasnya Mallaby, di Majalah Tempo edisi 1977 seorang pelukis-karikaturis, Ook Hendironoto, mengaku sebagai penembak Mallaby. Meski demikian pengakuan itu belum secara resmi dibenarkan oleh penulis-penulis buku sejarah.

Seseorang bernama R.P. Supeno Judowijoyo, pada 10 Nopember 1981  menyerahkan naskah kesaksiannya soal kematian Mallaby kepada Panitia Penulisan Sejarah Kepahlawanan 10 Nopember 1945, di mana Suparto Brata menjadi salah seorang dari tim penulis itu.

Supeno menceritakan bahwa saat terjadi pertempuran di depan Gedung Internatio, ia juga ada di situ. Ia anggota TKR Sambongan yang dipimpin Abisiswondo.  Ketika Kapten Shaw dan Mangundiprojo pergi ke gedung, ia sebenarnya berniat ikut. Namun urung karena ditegur Soengkono, “Engkau tentara, mengapa ikut-ikutan ke sana?”

Saat terdengar tembakan dari gedung yang selanjutnya terjadi pertempuran, Soengkono dan Supeno segera berlindung di kolong mobil di belakang mobil Mallaby. Sewaktu tembak-menembak sedang galak-galaknya, dua orang pemuda mendekati dan memberi tahu bahwa mobil di depannya ialah mobil Jenderal Inggris, bagaimana kalau dibunuh saja? Soengkono menjawab, “Kalau berani…”

Mendengar jawaban itu dua pemuda tersebut pergi. Tak lama kemudian terdengar ledakan granat dan suara tembakan. Menurut Supeno dua pemuda itu sempat kembali dan mengatakan bahwa telah menembak Jenderal Inggris. Sejak saat itu Supeno tak pernah bertemu mereka lagi. Ia juga belum pernah melihat wajah pemuda itu karena sedang di kolong mobil bersama Soengkono.

Baru setelah Tempo memuat pengakuan Ook Hendironoto, Supeno ingin mengetes apakah betul Ook adalah pemuda yang menggapai kakinya saat di kolong mobil itu. Supeno sengaja menemui Ook dan menyuruhnya bercerita. Ook pun mengatakan bahwa ia telah minta restu Soengkono di kolong mobil sebelum menembak Mallaby. Berdasarkan pengakuan itu, Supeno yakin Ook-lah pemuda yang mendatangi dia dan Soengkono saat di kolog mobil.

Namun dalam buku Nugroho Notosusanto berjudul Pertempuran Surabaya (1984), disebutkan bahwa yang berada di kolong mobil bersama Soengkono bukan Supeno dari TKR Sambongan, melainkan Subiyantoro, anggota BKR Pelajar. Hal itu berdasarkan hasil wawancara Nugroho dengan Soengkono.

Sedangkan dalam buku Seratus Hari di Surabaya, Roeslan Abdulgani mengisahkan bahwa salah seorang yang meloncat ke Kalimas bersama dia adalah Soengkono. Roeslan belum pernah meralat tulisan tersebut. Dari kesaksian Roeslan, berarti Soengkono tidak di kolong mobil saat pertempuran terjadi, namun ikut terjun ke Kalimas.

Ajis Endhog

Pada Senin, 16 September 1985, Suparto Brata mengaku dihubungi oleh seseorang Bernama Amak Altuwy. Amak berujar sengaja menelepon Suparto Brata karena baru saja membaca koran yang menyebutkan bahwa Suparto ialah salah satu dari anggota tim penulis buku Sejarah Kepahlawanan 10 Nopember 1945.

Amak ingin mengungkapkan rahasia yang selama ini dia tutup rapat, bahwa pelaku penembakan pada Mallaby sesungguhnya ialah Abdul Azis alias Ajis Edhog, mantan anggota TKR Sambongan. Disebut Ajis Endhog karena pria itu bekerja sebagai penjual telur ayam. Amak mengaku berada di lokasi saat pertempuran bersejarah itu terjadi.

Ketika itu umurnya 18 tahun dan ia menjadi anggota PRI Utara yang bermarkas di rumah Baswedan di Kampemenstraat 212 (sekarang Jalan KH Mas Mansyur). Cerita Amak yang paling penting ialah, pada waktu mobil Mallaby dihentikan dan Mallaby ditembak, ia berada di dekatnya. Langit memang mulai gelap, namun ia masih mengenali pelakunya, yakni H. Azis, tetangganya satu kampung.

Amak tahu Azis menembak menggunakan Vickers-nya dari jarak dekat. Amak sangat terobsesi memegang Vickers seperti Azis, sedangkan miliknya sendiri hanya Colt. Karena Vickers itu pulalah Amak tak bisa melupakan tertembaknya Mallaby. Amak juga memberi tahu Suparto Brata bahwa Azis masih tinggal di rumahnya yang lama di Jalan Ampel Menara.

Sore itu juga mereka mencari Azis ke kawasan Ampel. Setelah ketemu, mula-mula dengan nada ketus Azis membantah sebagai pelaku penembakan Mallaby. Ia marah-marah dan mengusir Suparto Brata. Namun setelah dirayu cukup lama, akhirya ia bersedia terbuka. Cerita Azis klop dengan Amak bahwa ia mengaku menembak Mallaby menggunakan Vickres.

Orang Inggris itu mati dan senjatanya diambil oleh Akhiyat, pejuang Surabaya yang terkenal dengan julukan “Alap-alap Simokerto.” Setelah menembak, Azis ikut menyelamatkan diri dengan meloncat ke Kalimas. Di dalam sungai ia melapor pada Doel Arnowo bahwa telah menembak Mallaby.

Ia ikut Doel Arnowo keluar dari sungai di selatan Jembatan Merah jam 20.00, lalu pergi ke Hopbiro (kantor polisi). Dari situ ia dibawa Doel Arnowo ke suatu rumah di Genteng Kali sebelah barat Kabupaten. Azis sekali lagi disuruh menceritakan peristiwa penembakan terhadap Mallaby.

Sesudah mendengar cerita Azis, Doel Arnowo berujar, “Sudah sampai di sini saja. Jasamu besar sekali. Tapi sementara ini jangan menceritakan hal ini kepada siapa pun juga, ya.”

Setelah kecamuk perang Surabaya reda pada akhir Nopember 1945, Azis melanjutkan berjuang di Tulungrejo, dekat Selekta, Batu. Ia sering pindah tempat menyesuaikan medan pertempuran. Azis mengaku pernah dipertemukan dengan Sukarno di Blitar. Di situ oleh Doel Arnowo dan disaksikan banyak orang, ia disuruh bercerita mengenai penembakan Mallaby.

Sukarno memuji-mujinya. Doel Arnowo menepuk-nepuk punggungnya sambil berkata, “Kau Arek Surabaya yang paling berjasa yang pantas diberi hadiah.”  Ketika perang selesai dan kedaulatan Indonesia diakui Belanda, Azis minta berhenti sebagai tentara. Pangkat terakhirnya Letda Artileri di Nganjuk bertanggal 27 Desember 1949.

Kepada Tempo, putra Abdul Azis, Muhammad Chotib, pernah mengatakan, setelah berhenti sebagai tentara, ayahnya pindah ke Desa Dunggo, Batu. Di sana ia berdagang kecil-kecilan buat menyambung hidup. Meski demikian Azis masih sering menengok anak cucunya yang ditinggal di Ampel, Surabaya.

Menurut Chotib, pada awal 60-an Azis pernah dilibatkan dalam pembuatan film dokumenter tentang perang Surabaya 1945 oleh TVRI. Azis diberi peran figuran sebagai warga kampung yang sedang main catur, dan lari terbirit-birit saat mendengar suara pesawat tempur Belanda.

Chotib mengaku awalnya tidak tahu bahwa ayahnya adalah orang yang menembak Mallaby. Sebab sampai dia remaja, Azis tak pernah menyinggung-nyinggung peristiwa itu sama sekali. Chotib akhirnya tahu dengan sendirinya setelah membaca artikel Suparto Brata.

“Abah malah marah-marah saat saya tanyakan kebenaran tulisan itu,” kata Chotib, yang meninggal dunia dua tahun lalu, selang sepekan setelah memberikan keterangan pada Tempo.

Ada hal menarik saat tim peneliti sejarah mendatangi Azis di Dunggo pada awal 70-an untuk menelisik pelaku penembakan terhadap Mallaby. Azis enggan meberikan keterangan. Ia membawa tim peneliti itu ke rumah Doel Arnowo yang saat itu sudah pindah ke Jalan Dempo, Kota Malang. Chotib pun diajak.

Menurut Chotib, ketika mereka datang, Doel Arnowo sedang santai. Ia hanya mengenakan sarung dan kaos singlet. Saat juru bicara tim peneliti bertanya siapa sebenarnya penembak Mallaby, Doel Arnowo menoleh pada Azis sambil berkata, “Lha iki lak wonge (lha ini kan orangnya).”

Menjelang akhir hayatnya, Azis berusaha mengurus statusnya sebagai veteran perang pada pemerintah. Azis bahkan pernah menghadap Abdul Haris Nasution di Jakarta untuk meyakinkan bahwa dia dulu pernah ikut berperang. Namun sampai meninggal pada 1989, pengajuannya sebagai veteran ditolak pemerintah.

Pada Rabu, 25 Oktober 2023, Tempo menemui putra Doel Arnowo, Agus Djafad Husni Arnowo, 80 tahun, di rumahnya, Jalan Tanggulangin, Surabaya, untuk meminta penjelasan apa yang diketahui ayahnya seputar tewasnya Mallaby. Menurut Agus, sampai akhir hayatnya, 18 Januari 1985, Doel Arnowo tidak bilang apa-apa pada anak-anaknya soal peristiwa terbunuhya Mallaby.

“Bapak memang sering ndongeng tentang masa-masa perang Surabaya dan masa-masa revolusi pada anak-anaknya, tapi beliau tak pernah cerita mengenai terbunuhnya Mallaby,” kata anak nomor empat dari 11 bersaudara itu.

Agus yakin pengakuan Abdul Azis maupun Ook Hendironoto sebagai penembak Mallaby telah didengar ayahnya. Namun Doel Arnowo memilih diam saja. “Bapak tak pernah mengomentari, baik membantah maupun mengiyakan. Pernah saya tanya, 'Bapak kok mendel mawon (diam saja)?' Beliau bilang, 'gawe apa ditanggapi (buat apa ditanggapi), jarna ae (biarkan saja)',” kata Agus Arnowo.

Pemerhati sejarah Surabaya, Ahmad Zaki Yamani, mengatakan telah meriset data bahwa pada 30 Oktober 1945 tidak sedang terjadi purnama. Suasana kota Surabaya, utamanya di sekitar tempat pertempuran Jembatan Merah, sudah pasti gelap gulita karena lampu-lampu jalan dimatikan.

“Sehingga misteri siapa sebenarnya penembak Mallaby, sepertinya makin sempurna,” kata Zaki.

Pilihan Editor: Kontroversi Kematian Mallaby















 













 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus