Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat 43 tahun yang lalu, pada 7 Oktober, Indonesia kehilangan salah seorang ikon perjuangan Indonesia, Bung Tomo. Pahlawan nasional yang dikenal sebagai orator ulung dalam perjuangan kemerdekaan. Ia wafat di Arab Saudi saat menjalankan ibadah haji, kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari jurnal.ipw.ac.id, Bung Tomo, yang lahir dengan nama Sutomo pada 3 Oktober 1920 di Kampung Blauran, Surabaya, adalah sosok pahlawan yang memiliki pengaruh besar dalam masa revolusi Indonesia. Ia lahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang cukup, sebagai putra pasangan Kartawan Tjiptodjojo dan Subastita. Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai juru tulis menanamkan nilai-nilai ulet dan kreatif, serta kepekaan sosial yang tinggi dalam diri Bung Tomo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak usia 12 tahun, ia sudah bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), organisasi pertama yang memperkenalkan dunia kepemimpinan kepadanya. Pendidikan awalnya dimulai di HIS (Hollands Inlandse School), di mana ia menunjukkan bakatnya dalam belajar.
Namun, pada 1929, krisis ekonomi melanda, mengganggu kelanjutan pendidikannya. Meskipun demikian, keluarganya berjuang keras agar ia tetap bisa sekolah, dan ia melanjutkan pendidikan di HBS (Hogere Burger School). Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah Belanda membuatnya akhirnya putus sekolah, namun ia tetap melanjutkan pendidikannya secara korespondensi.
Bung Tomo juga terjun ke dunia jurnalistik sejak muda, menulis untuk harian Soeara Oemoem Surabaya pada 1937. Pemikirannya yang kritis dan tajam tercermin dalam tulisan-tulisannya yang mengangkat suara pribumi. Pada 1942, ia dipercaya sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei selama pendudukan Jepang, sebuah pencapaian yang tidak mudah diraih oleh pribumi.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bung Tomo menjadi salah satu tokoh sentral dalam perjuangan melawan penjajahan kembali oleh sekutu. Pada 16 September 1945, ia mencoba menjalin diplomasi dengan Mayor Hazimoto untuk mendapatkan senjata bagi rakyat Surabaya. Melalui pidato-pidatonya yang menggugah semangat, Bung Tomo berhasil menggerakkan rakyat untuk berjuang tanpa kenal lelah.
Setelah Indonesia merdeka, kedaulatan negara ini tidak segera diakui. Pasca Perang Dunia II, bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia, kembali menjadi fokus sekutu. Belanda berusaha untuk menjajah kembali melalui kesepakatan dengan sekutu Inggris.
David Jordan dalam jurnal yang ditulis Endra Kusuma dkk. menjelaskan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van Mook, dan Jenderal MacArthur dari Amerika sepakat bahwa Hindia Belanda yang direbut sekutu akan diserahkan kepada otoritas sipil Belanda, NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Pada akhir September 1945, pasukan Inggris datang untuk melucuti senjata Jepang, tetapi tidak berhasil menyelesaikan tugas dengan damai. Ultimatum dikeluarkan pada 27 Oktober, memerintahkan warga untuk menyerah. Namun, rakyat Surabaya menolak, khawatir akan dijajah kembali.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya terkait erat dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari Jepang, yang dimulai pada 2 September 1945. Pergolakan ini bertransformasi menjadi situasi revolusi yang konfrontatif. Provokasi dimulai dengan perobekan bendera di Hotel Yamato dan terbunuhnya Jenderal Mallaby, yang digunakan Sekutu sebagai alasan untuk menuduh Indonesia melanggar kesepakatan.
Ultimatum dikeluarkan, meminta pihak Indonesia menyerahkan pelaku, atau Inggris akan menghancurkan Surabaya. Pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu ini tidak seimbang, dengan bala bantuan Sekutu yang lebih modern dan jumlah korban jiwa yang tinggi di pihak rakyat.
Perjuangan Bung Tomo selama pertempuran semakin memperkuat namanya di kalangan masyarakat, politik, dan militer. Ia berhasil mempopulerkan ide menggunakan radio sebagai alat pengendalian dan koordinasi, yang memberikan pengaruh besar terhadap semangat rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.