Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Skandal dugaan pengubahan substansi putusan uji materi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bergulir ke kepolisian. Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, advokat yang mengajukan gugatan uji materi tersebut, melaporkan sembilan hakim konstitusi dan dua panitera MK ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Zico, Leon Maulana Mirzha Pasha, menduga ada kesengajaan oleh oknum tertentu sehingga sebagian dari isi salinan putusan uji materi Undang-Undang MK berbeda dengan yang dibacakan di persidangan. "Alasan salah ketik atau kesalahan di teknologi informasi sungguh tidak masuk akal," kata Leon, Kamis, 2 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan polisi bernomor LP/B/557/II/2023/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 1 Februari 2023, Zico melalui kuasa hukumnya melaporkan para hakim konstitusi itu, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M. Guntur Hamzah. Adapun panitera MK yang dilaporkan adalah Muhidin dan Nurlidya Stephanny Hikmah.
Mereka diadukan dalam dugaan tindak pidana Pasal 263 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ihwal pemalsuan surat. Laporan dugaan tindak pidana ini akan ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (tengah) usai mengikuti sidang perdana uji materi UU KPK di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2019. ANTARA/Nova Wahyudi
Bermula dari Sulap Putusan MK
Skandal putusan uji materi Undang-Undang MK ini mencuat dalam sepekan terakhir. Zico, sebagai pemohon dalam perkara bernomor 103/PUU-XX/2022 itu, menemukan sebagian dari isi putusan yang dibacakan majelis hakim konstitusi berbeda dengan yang dituliskan dalam salinan dan risalah persidangan.
Dalam sidang pada 23 November 2022, hakim konstitusi Saldi Isra membacakan putusan perkara tersebut. "Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang MK."
Namun, dalam salinan putusan dan risalah persidangan, frasa "dengan demikian" lenyap dan berganti menjadi "ke depan". Perubahan frasa ini dianggap substansial karena berpengaruh terhadap pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Zico mengajukan gugatan uji materi ini karena menilai DPR menafsirkan pasal pencopotan hakim dalam Undang-Undang MK secara serampangan.
Sebulan sebelum adanya putusan MK tersebut, rapat paripurna DPR memutuskan tak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai hakim konstitusi yang berasal dari usulan Dewan. Keputusan ini memantik kritik, termasuk dari kalangan mantan hakim MK karena DPR tak punya kewenangan mencopot hakim konstitusi. Pencopotan ini juga dinilai sarat kepentingan politik.
Saat itu, Ketua Komisi III DPR—yang membidangi hukum—Bambang Wuryanto berdalih bahwa pemberhentian Aswanto disebabkan oleh kinerjanya yang buruk. Sebagai hakim konstitusi yang terpilih dari usulan DPR, Aswanto dianggap bermasalah karena kerap membatalkan produk undang-undang yang diinisiasi parlemen.
Bambang terang-terangan mencontohkan sikap Aswanto yang ikut memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. "Ya, gimana kalau produk-produk oleh DPR dianulir sendiri oleh dia. Dia wakilnya dari DPR," kata Bambang kala itu.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto (kiri) dalam sidang uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konsitusi, Jakarta, 20 Oktober 2022. ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketika mengambil keputusan dalam perkara uji materi UU Cipta Kerja, sikap sembilan hakim konstitusi MK memang terbelah. Lima hakim MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Sedangkan empat hakim MK lainnya menilai undang-undang tersebut tidak cacat formil. Aswanto termasuk satu dari lima hakim yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Kuasa hukum Zico, Angela Claresta Foek, menilai perubahan frasa dalam putusan uji materi UU Mahkamah Konstitusi sangat berbahaya. Frasa "dengan demikian" yang dibacakan di persidangan menunjukkan bahwa kebijakan pencopotan hakim konstitusi harus mengikuti ketentuan dalam UU Mahkamah Konstitusi. Sedangkan frasa "ke depan" dapat diartikan bahwa kebijakan yang keliru sebelumnya diberi pemakluman. "Seolah-olah menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki aturan di kemudian hari," kata Angela.
Selain dinilai mengubah substansi isi putusan uji materi UU Mahkamah Konstitusi, perubahan frasa itu dikhawatirkan merusak marwah MK. "Putusan MK itu final dan binding. Tidak seharusnya bisa diubah semaunya," ujar Angela. "Kami hanya berharap MK bisa menjaga marwahnya dengan baik, bisa terus dipercaya."
Ihwal laporan ke polisi yang membidik semua hakim konstitusi dan panitera persidangan, kuasa hukum Zico beralasan tak mengetahui siapa yang terlibat dalam skandal pengubahan isi putusan tersebut. "Kami mau agar ini diusut secara tuntas dan dibuka secara transparan," kata Leon Maulana Mirzha.
MK Serahkan Pengusutan ke Majelis Kehormatan
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan laporan ke Polda Metro Jaya tersebut telah diketahui para hakim konstitusi. Mereka, kata Fajar, belum dapat menanggapi. "Saat ini MK masih berfokus pada persidangan dan proses di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)," kata Fajar, kemarin.
Senin, 30 Januari lalu, Rapat Permusyawarahan Hakim MK membentuk Majelis Kehormatan untuk mengusut kasus dugaan pengubahan putusan uji materi yang dilayangkan Zico. "MKMK bekerja sejak 1 Februari hingga 1 Maret. Untuk itu, hal yang berkaitan dengan isu ini telah menjadi domain MKMK," kata Fajar. Majelis Kehormatan MK dalam kasus ini diisi hakim konstitusi Enny Nurbaningsih; mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna; dan anggota Dewan Etik MK, Sudjito.
Pengamat hukum tata negara, Feri Amsari, berharap Majelis Kehormatan MK mampu mengembalikan kepercayaan publik yang runtuh terhadap Mahkamah Konstitusi. Dia mengingatkan bahwa posisi Majelis Kehormatan MK saat ini amat krusial untuk menegaskan dan menjamin kemerdekaan kekuasaan MK dari campur tangan pihak lain. "Sangat penting agar memperbaiki sifat kekuasaan MK yang merdeka dari campur tangan lembaga lain, seperti DPR," kata Direktur Pusat Studi Anti-Korupsi Universitas Andalas itu. "Sekaligus mengembalikan trust publik terhadap putusan MK."
ANDI ADAM FATURAHMAN | MIRZA BAGASKARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo