BUNG Karno, tokoh yang bergelora dan penuh karisma, pejuang nonkooperasi yang keras, benarkah suatu kali dalam hidupnya ia minta belas kepada Belanda? Drs. R.C. Kwantes, seorang ahli indologi, menulis sebuah makalah ilmiah yang mengungkapkan betapa Soekarno, yang kemudian menjadi presiden RI pertama, pernah meminta ampun dan bertekuk lutut kepada Belanda. Tulisan sepanjang 18 halaman berjudul Ir. Soekarno's Vier Brieven (Empat Surat Ir. Soekarno) diterbitkan sekitar November lalu, dalam bentuk publikasi ilmiah bersama sejumlah makalah lainnya oleh Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Kwantes menyusun makalahnya berdasarkan sejumlah bahan di Arsip Negara Belanda di Den Haag. Terpenting, berkas-berkas berita acara pemeriksaan (BAP) Soekarno ketika tokoh pergerakan itu ditahan Belanda di Bandung pada 1933. Sejauh ini, BAP tersebut belum pernah dipublikasikan. Segera publikasi itu mengundang diskusi. Seperti halnya ketika buku Road to Exile The Indonesian Nationalist Movement 1927-1933 tulisan John Ingleson, ahli sejarah dari Australia, terbit pada 1979, yang mengundang pro dan kontra. Ingleson membeberkan surat-surat Soekarno dari penjara Soekamiskin, Bandung, yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal De Jonge. Antara lain Bung Karno, menurut Ingleson, menyatakan bersedia mundur dari dunia politik bila dibebaskan dari penjara. Dalam hal makalah Kwantes, Senin pekan ini, atas prakarsa Soeroto, ahli sejarah yang memimpin Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Jakarta, diadakan sarasehan membahas tulisan Kwantes tersebut. Hadir sekitar 20 tokoh masyarakat, antara lain Soetomo, bekas menteri perburuhan pada 1954, Oi Tju Tat bekas menteri kabinet di zaman 100 menteri. Ada juga Mahbub Djunaidi, tokoh NU itu, dan Wangsa Widjaja, mantan sekretaris pribadi Bung Hatta. Sarasehan meragukan kesahihan sumbr yang digunakan oleh Kwantes. Dan bilapun dokumen itu benar, sidang diskusi berpendapat, itu hanyalah sekadar taktik seorang Bung Karno. Yang menarik, ada persamaan nada antara isi BAP dan surat-surat Soekarno dari penjara Soekamiskin, yang diungkapkan oleh Ingleson dalam bukunya. Buku Ingleson dimulai dengan cerita kegiatan Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada 1920-an. Tokoh-tokoh perhimpunan itu antara lain Mohamad Hatta, Sartono, Sutan Sjahrir, Soebardjo, Gatot Mangkoepradja. Ketika tokoh-tokoh itu pulang ke tanah air, mereka bergabung dengan Kelompok Studi Umum Bandung yang dimotori oleh Soekarno dan teman-teman mahasiswa Sekolah Teknik Tinggi Bandung (kini ITB). Dari sinilah terbentuk gerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia, dan kemudian lahir PNI, Partindo, dan PNI (Baru). Gerakan mereka cukup keras karena menggunakan prinsip nonkooperasi, melakukan agitasi umum, baik melalui rapatrapat terbuka maupun tulisan di media massa. Yang menjadi bahan perdebatan dari buku setebal 234 halaman itu, ada bagian sepanjang lebih dari lima halaman yang mengungkapkan surat-surat Bung Karno dari penjara Soekamiskin bertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933. Tulisan ini didasarkan pada bahan-bahan yang ditelitinya di arsip kolonial di Belanda. Isi surat, Soekarno memohon kepada Gubernur Jenderal De Jonge agar dia dilepaskan dari rumah tahanan, dan sebagai imbalannya dia berjanji tidak akan ikut lagi dalam kegiatan politik sampai akhir hayatnya. Di salah satu surat dilampirkannya pula sepucuk surat untuk pengurus pusat Partindo. Isinya, Soekarno, sebagai ketua umum maupun anggota Partindo, bersedia mengundurkan diri. Soekarno, demikian buku The Road to Exile itu, mengakui perbuatan politiknya sebagai tidak bertanggung jawab. Ia bersedia menandatangani apa saja yang diminta oleh pemerintah Belanda, asal dibebaskan. Wartawan dan kolomnis Rosihan Anwar yang pertama-tama membicarakan buku itu di harian Kompas, 15 September 1980. Dan tulisan itu memancing polemik berkepanjangan. Mahbub Djunaidi meragukan keotentikan surat itu, karena John Ingleson sendiri tidak mengutip surat aslinya. Melainkan dan bentuk salinan dari dalam arsip Belanda yang disebut sebagai laporan pos rahasia 1933/1276. Mahbub khawatir kalau yang disebut surat-surat Soekarno itu hanyalah sekadar laporan intelijen. Menurut kolomnis dan tokoh NU itu, intelijen Belanda punya bakat besar mengarang kisah-kisah fiktif. Dia memberi contoh tentang arsip kolonial dengan kode 261/X/28. Isi arsip melaporkan kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yang menyanjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjung sepuluh jari. Sementara itu, tokoh Islam yang menentang Belanda, menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul. Mahbub waktu itu tak cuma menengok dokumen sejarah. Ia juga mewawancarai Ibu Inggit Ganarsih (ketika itu masih hidup), istri Bung Karno pada masa itu, 1933, yang seminggu sekali menjenguk suaminya di penjara Soekamiskin. "Itu, mah, mustahil. Pamali buat Si Kus minta ampun segala macam pada Belanda. Aneh, baru sekarang ini dengar Si Kus menulis surat aneh-aneh begitu. Mengeluh pun Si Kus tidak pernah," kata Bu Inggit seperti kemudian ditulis Mahbub di Kompas. (Bu Inggit memanggil Soekarno dengan nama Kusno. Pamali, bahasa Sunda artinya pantangan). Juga Mr. Mohamad Roem (almarhum) meragukan keabsahan surat-surat itu. Bekas tokoh Masyumi itu curiga, jangan-jargan surat itu hanya bikinan oknum pejabat kolonial Hindia Belanda. Pengalaman Mohamad Roem mengadakan perundingan dengan Belanda, misalnya dengan Van Mook, menguatkan kecurigaannya kalau surat-surat Soekarno itu hasil tipu muslihat. Kebetulan Mohamad Roem mendapatkan fotokopi salinan surat-surat tersebut dari Belanda. Dan ia semakin ragu, karena bahasa Belanda Soekarno di situ, menurut dia jelek sekali. Ia lalu menyarankan agar dicari surat aslinya, sehingga kebenaran dokumen-dokumen itu bisa dipertanggungjawabkan. Ahli Sejarah Soeroto -- yang memprakarsai diskusi tentang tulisan Kwantes di Untag, Jakarta -- juga berpendapat sama. "Meski tidak tergolong baik, bahasa Belanla Bung Karno tidak akan mungkin sejelek itu," katanya. Singkat kata, pensiunan dosen IKIP Jakarta itu menyimpulkan: tidak mungkin surat itu ditulis oleh Soekarno. Memang, banyak tokoh dan ahli sejarah yang tak sependapat dengan Rosihan Anwar. Misalnya, Anwar Luthan, Manai Sophian, Roeslan Abdulgani, Onghokham. Rosihan Anwar mengaku, ketika itu ia serasa diteror dari mana-mana. "Telepon saya berdering terus. Ada yang memaki-maki, bahkan mengancam saya," tuturnya kepada TEMPO pekan lalu. Tapi bagaimana kini dengan munculnya BAP yang diungkapkan Kwantes, yang senada dengan isi surat-surat Soekarno yang dikutip oleh Ingleson? Pemimpin Redaksi harian Merdeka, B.M. Diah, tetap tak goyah. Diah, yang tak hadir dalam sarasehan, menulis surat kepada pengundang, Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Untag. Diah menyatakan bahwa Kwantes sendiri belum memiliki bukti otentik dari proses verbal itu. "Karena itu, kredibilitasnya mengenai sejarah itu tidak ada." Sekalipun dokumen itu ada, tulis Diah, mengutip pendapat seorang sejarawan, dokumen mudah sekali disalahtafsirkan. "Soalnya, sekarang di mana sejarawan itu berada?" Pun Mahbub Djunaidi tak berubah dari pendapatnya semula. Dia malah curiga Kwantes memutarbalikkan fakta. "Apalagi hasil proses verbal itu tanpa saksi," ujarnya. Ada memang yang bersuara lain. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menilai tulisan Kwantes merupakan rekonstruksi sejarah. Dan menurut ahli peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, sebetulnya ulasan tentang Bung Karno berubah haluan ditulis pula di Indonesia sendiri di tahun tokoh pegerakan itu ditahan Belanda. Surat kabar Bintang Timur secara beruntun, dari 19 September sampai 20 Desember 1933, menurunkan tulisan yang mencaci-maki Soekarno. Salah satu petikan dari Bintang Timur edisi September, misalnya, "... dalam urutan surat-surat rahasia nomor sekian, walaupun pokrol jenderal telah menerima tiga surat Bung Karno, tetapi ia tetap mengajukan usul untuk menginternir Ir. Soekarno." Dari data-data itu, menurut Abdurrachman Surjomihardjo, orang-orang yang membaca surat kabar sudah mengerti bahwa Soekarno mau mundur, dan mulai melemah perjuangan politiknya. Apalagi bila diingat tulisan Bung Hatta di majalah Daulat Ra'jat edisi 30 November 1933, yang berjudul "Tragedi Soekarno". Hatta, yang kemudian menjabat wakil presiden, menyebutkan adalah Soekarno yang mendorong Partindo melakukan agitasi dan demonstrasi terus-terusan, sehingga seluruh pergerakan kiri mengalami kesulitan. Tapi semua orang pergerakan radikal mau bertanggung jawab lahir dan batin atas situasi yang terjadi. "Tapi adakah pantas kalau orang jang teroetama mempoenjai tanggoengan moreel melepaskan diri daripada kelanjoetan (konsekwensi) tindakannja?" tulis Hatta. Seandainya yang terungkapkan itu benar adanya, akan tercorengkah wajah Bung Karno, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia itu? Sejarawan Soeroto, misalnya, menyatakan tidak. Ia mengingatkan, Bung Karno sering mengingatkan bahwa dalam politik ada taktik dan ada strategi. Strategi tak bisa bergeming semilimeter pun, tapi untuk taktik terkadang orang perlu mundur selangkah baru kemudian bangkit dan maju kembali. "Daripada dikirim ke pembuangan yang membuatnya sama sekali tak berguna bagi perjuangan, apa tidak lebih baik mengalah dulu untuk sementara waktu ?" kata Soeroto. Roeslan Abdulgani, yang juga meragukan keautentikan dokumen itu, juga mengingatkan bahwa Bung Karno yang dikenalnya sering menggunakan taktik. "Dia itu politikus, belum tentu isi suratnya adalah hal yang sebenarnya," katanya. Diberikannya contoh surat-surat Bung Karno kepada istri-istrinya yang dibuat pada waktu bersamaan, dengan isi yang sama. Pokoknya, tulisan itu tak mengubah pendirian saya terhadap Bung Karno," kata tokoh tua itu. Selain itu, seperti dikatakan juga oleh Abdurachman Soerjomihardjo, perlu diketahui kondisi mental dan fisik Soekarno ketika menulis surat ataupun ketika menjawab pertanyaan jaksa Belanda. Dalam posisi terancam diasingkan, bisa saja ia mengalami depresi hebat. Menurut Profesor Sartono Kartodirdjo, guru besar sejarah UGM Yogyakarta, depresi bisa menyebabkan seseorang bertindak emosional dan tidak rasional. "Soekarno itu 'kan orang emosional. Kalau tak begitu tak bisa jadi orator yang baik," ujarnya. Bagaimanapun, kiranya citra Soekarno tak perlu rusak, sekalipun dokumen itu autentik. Seseorang tak bisa dinilai dari serpihan kepribadiannya, tapi totalitasnya. Jasa-jasa Soekarno tak harus dilupakan hanya karena ada cacat dalam pribadinya. Profesor Sartono memberi contoh, "Menyerah atau tidak, Napoleon tetap pahlawan bagi bangsa Prancis. Apa Napoleon tidak pernah menyerah?" Maka, dokumen itu, bagi Sartono, malah bisa memperkaya pemahaman kita tentang Soekarno secara lebih utuh. Katanya, "Tak ada manusia yang sempurna." Amran Nasution, Tri Budianto Soekarno, Linda Djalil (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini