Penunaian ibadah haji oleh Pak Harto disambut gembira kalangan Islam. Namun, sejumlah pengamat asing ternyata menafsirkannya secara politis. PEMBERITAHUAN itu datangnya mendadak. Pengurus Masjid Cut Mutia, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, terkaget-kaget menerima utusan dari Istana, Rabu sore pekan silam. "Mereka bilang Pak Harto dan keluarga akan datang ke masjid ini hari Kamis," cerita Herry Hermawan, seorang pengurus. Pesan lainnya, para pengurus masjid tak boleh memberitahukan rencana ini kepada siapa pun. Akibatnya, sebagian mereka ada yang tak pulang. Selepas isya sampai tengah malam mereka mengecat ruang mengambil wudu untuk pria dan wanita. Sejak itu, masjid yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari tempat kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana itu dijaga ketat. Ternyata, memang ada rencana Pak Harto ingin melakukan sujud syukur usai menjalani ibadah haji. "Dalam hadis Nabi dikatakan, sesudah ibadah haji, sebelum pulang ke rumah disunatkan sujud syukur syafar," kata Herry. Kamis pekan silam, menjelang pukul 11 siang, rombongan Pak Harto tiba di masjid yang dibangun pada 1882 itu. Herry menyambut dengan ucapan, "Selamat datang, Pak Haji, mudah-mudahan jadi haji yang mabrur." Pak Harto membalas, "Terima kasih, semoga apa yang kami dapatkan selama haji seperti yang diharapkan." Selain melakukan sujud syukur, Kepala Negara juga sempat salat tahiyatul masjid sebanyak dua rakaat. Ternyata, tak hanya Herry yang gembira bisa menyalami dan berbincang dengan Kepala Negara. Kegembiraan juga menyebar di antara sejumlah tokoh Islam senior, melihat Pak Harto dan keluarganya usai menunaikan ibadah haji. "Bagi saya, Pak Harto dan sekeluarga naik haji merupakan peristiwa paling menggembirakan," kata Bey Arifin, 74 tahun. Ulama terkemuka Ja-Tim itu berbicara lantang dari mimbar, Jumat pekan lalu, di depan 2.500-an umat yang menjejali Masjid An-Nur yang terletak di perut pabrik PT Barata, Surabaya. "Dulu saya sempat sedih. Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia tapi presidennya belum pergi haji. Itu memalukan." Bey Arifin kini boleh merasa lega, seperti juga rekannya, K.H.O. Gadjahnata, 61 tahun, yang mengungkapkan perasaan yang hampir serupa. "Alhamdulillah. Terhapus sudah keragu-raguan muslim Indonesia akan keislaman keluarga Presiden Soeharto," ujar ulama terkemuka yang Ketua MUI Sumatera Selatan itu. Supaya lebih afdol, sambut Kolumnis Mahbub Djunaidi, diusulkan saja supaya Pak Harto diberi gelar Amirulmukminin. "Pak Harto sudah lengkap sebagai orang muslim," kata tokoh Nahdlatul Ulama itu, yang kini menetap di Bandung itu. Julukan Amirulmukminin ini mengingatkan gelar yang diberikan kepada Umar bin Chattab ketika diangkat menjadi khalifah -- salah seorang (khulafaurrasyidin). Dr. Imaduddin Abdulrahim, tokoh Islam yang pernah ditahan 14 bulan pada 1978 karena dianggap "ekstrem", sampai-sampai mengusulkan agar K.H. Kosim Nurzeha, pembimbing agama keluarga Cendana, diberi bintang kehormatan karena keberhasilannya sebagai pendakwah. Lebih dari itu, mungkin saking girangnya, Bey Arifin berharap Pak Harto bersedia dicalonkan lagi menjadi presiden, seperti usul yang pernah dilontarkan oleh Kelompok 21, yang terdiri dari sejumlah tokoh senior Islam yang dimotori Alamsjah Ratu Perwiranegara dan Perti. "Saya mengharapkan Pak Harto untuk dipilih kembali menjadi presiden," kata Bey menutup khotbah Jumatnya. Puji-pujian lainnya pun berdatangan. Dengar kata Khatib Saleh Aljufri, yang salah satu isi pesannya mengungkapkan bahwa sejak Soeharto menjabat sebagai presiden. "Indonesia menjadi ijo royo-royo," ujarnya di depan 2.000-an umat di Masjid Mujahiddin, Surabaya, Jumat pekan silam. Gelar haji untuk Pak Harto, kata Ridwan Saidi, memang punya implikasi politik. "Tingkat akseptabilitas terhadap ke pemimpinan Pak Harto semakin luas. Walau saya yakin bukan itu tujuan Pak Harto naik haji," kata mantan Ketua PB HMI ( 1974-1976) itu. Argumentasi Ridwan itu berdasarkan pada lintasan sejarah masyarakat Indonesia yang memungkinkan para haji berperan secara politis. Misalnya pergerakan di Cilegon pada 1888 yang dipimpin oleh Haji Wasid. Atau Pergerakan di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Haji Miskin. "Jadi, gelar haji memang punya karisma politik tersendiri dalam budaya politik Islam di Indonesia," ujarnya. Irsyad Sudiro, Ketua Departemen Seni Budaya DPP Golkar, melihat ada peluang lain. Dengan modal Rp 100 juta, ia bekerja sama dengan PFN dan Yayasan Bina Cipta Nusantara membuat film dokumentasi perjalanan haji Pak Harto. Liputannya itu akan dibuat dalam dua jenis film: film pendek 35 mm selama 5 menit, dan film panjang 18 mm selama 40 sampai 60 menit. Film pendek ini akan diputar di bioskop-bioskop sebagai bagian dari program Gelora Pembangunan. Sedangkan film panjang akan diedarkan lewat unit Departemen Penerangan sebagai film penerangan bagi masyarakat. Rencananya akan beredar awal 1992 nanti, menjelang pemilu. "Pak Harto naik haji pada saat menjelang suasana 1993 yang beliau ambangkan: Apakah maju lagi atau tidak," kata Irsyad, yang juga Pengurus Majelis Da'wah Islamiyah. Maka, bisa dimaklumi bila ada pengamat yang melihat ada udang di balik perjalanan ibadah haji Pak Harto itu. Lihat saja tulisan Michael Leifer yang berjudul Suharto's Pilgrimage to Mecca: Is There a Subplot?, dan dimuat di International Herald Tribune, 21 Juni 1991 silam. Pakar hubungan internasional dari The London School of Economics and Political Sciences itu menghubung-hubungkan perjalanan Soeharto ke Mekah dengan pencalonan presiden mendatang. Artinya, ada tujuan politis di balik ibadah haji Pak Harto. Nada yang sama juga dikemukakan oleh wartawan The Far Eastern Economic Review Margaret Scott, yang menulis artikel Suharto Writes His Last Chapter di harian The New York Times Magazine edisi 2 Juni 1991 lalu. Dalam tulisan itu, antara lain, disebutkan tentang Pak Harto yang kini sedang asyik "memainkan kartu Islam". Pendapat para pengamat asing itu jelas mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Menteri Sekretaris Negara Moerdiono agak terhenyak ketika dimintai komentarnya. "Ini bukan haji politik. Itu pasti. Pak Harto hanya menjalankan kewajiban agamanya," kata Moerdiono, yang ikut mendampingi Presiden beribadah haji. Niat Pak Harto menunaikan rukun Islam kelima itu tampaknya memang bersifat pribadi. Ia tak mau diusik dengan kedudukannya sebagai kepala negara. Ia tak mau menggunakan pesawat khusus tetapi bergabung dengan jemaah biasa dengan penerbangan reguler. Bahkan, di Arab Saudi, ia juga hampir menampik tawaran fasilitas penginapan yang diberikan Raja Fahd. Tapi, kata Menteri Agama Munawir Sjadzali, akhirnya Pak Harto mau juga menginap di Royal Guest House. Syaratnya, "Asal jangan ganggu kekhusyukan saya," kata Munawir menirukan ucapan Kepala Negara. Selama di Arab, Pak Harto menunjukkan niat khusyuknya itu. "Di sana, pernah dalam 24 jam beliau hanya beristirahat beberapa jam," cerita Moerdiono. Sepanjang ingatan Menteri Agama Munawir Sjadzali, hanya dua kali Presiden merangkap salatnya karena waktunya habis di perjalanan. Namun, setiap sembahyang subuh dan magrib, Pak Harto selalu melakukannya dengan cara salat secara berjamaah. Bahkan pernah sekali Presiden menjadi imam, cerita Munawir. G.P.H. Djatikusumo juga tak ketinggalan menanggapi tulisan dalam Asiaweek 24 Mei 1991 silam, yang berjudul Sour Notes on a Sweet Deal. Dalam artikel itu, seperti juga tulisan Scott dan Leifer, kembali dikaitkan soal ibadah haji yang dilakukan Pak Harto itu dengan pencalonan presiden mendatang. Mantan KSAD itu melayangkan surat pembaca yang dimuat majalah Asiaweek edisi 2 Juli 1991. Isinya antara lain menjelaskan ihwal Pak Harto naik haji itu memang sesuai dengan amanat Sunan Kalijaga (salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa). Seseorang, kata Djatikusumo, baru boleh melakukan ibadah haji kalau sudah menyelesaikan salah satu baktinya sebagai orangtua dan anak. Beberapa bulan yang silam keluarga Pak Harto baru saja memperingati 1.000 hari wafatnya ibunda Tien Soeharto. Sedangkan tahun lalu, keluarga Pak Harto mengawinkan anak perempuannya yang bungsu. Dan beberapa minggu lalu, Presiden mencapai usia sembilan windu. Jadi, kata Djatikusumo, kalau menggunakan kaca mata budaya Jawa Tengah itu, Pak Harto dan keluarganya memang siap untuk menunaikan ibadah haji. Boleh jadi, bertubi-tubinya prasangka politis terhadap ibadah haji yang dilakukan Pak Harto itu membuat Mayor Jenderal Sjamsudin, salah seorang anggota F-ABRI, menjadi berang. "Berdosa kalau ada tuduhan seperti itu. Pak Harto naik haji semata-mata karena Lillahi taala," katanya. Pendapat ini juga didukung oleh pengamat Barat seperti Donald Emmerson, dosen ilmu politik dan studi Asia Tenggara di Universitas Wisconsin, AS. Setiap kegiatan Pak Harto yang menyangkut agama Islam belum tentu dapat diartikan melulu sebagai siasat politik. "Naik haji kan punya arti yang sederhana dan wajar. Hanya ibadah," katanya kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti. Itu sebabnya, menurut Emmerson, yang lebih menarik dikaji justru peranan pemerintah yang kini seimbang dalam melembagakan Pancasila sebagai wadah negara yang "ika" sambil menghargai sifatnya yang "bineka". Ia melihat Indonesia cukup sukses daripada Aljazair atau Sudan dalam mengembangkan budaya Islam tanpa menimbulkan bentrok dengan pemerintah, "tapi juga tak harus mendirikan negara Islam," katanya. Selama ini, tanpa embel-embel Pak Harto naik haji, ada yang menilai hubungan antara Pemerintah dan Islam kini memasuki babak baru. Ada sejumlah beleid Pemerintah yang dianggap menguntungkan golongan Islam. Misalnya digolkannya UU Pendidikan Nasional, UU Peradilan Agama, dan SKB Zakat. Juga dibolehkannya pemakaian jilbab sebagai seragam di sekolah-sekolah. UU Pendidikan Nasional yang disahkan pada 25 Februari 1989 lalu itu sempat mengundang reaksi dari kalangan non Islam. Ketika RUU Peradilan Agama dibahas di DPR, banyak juga yang merasa miris karena mengingatkan pada Piagam Jakarta (yang merupakan istilah untuk konsep Pembukaan UUD 45 yang mencantumkan tujuh kata -- dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya -- yang kemudian dihapuskan karena dianggap berbau negara Islam). Tokoh Orde Baru seperti Amirmachmud dan Wakil Ketua MPR Soeprapto termasuk yang "alot" ketika RUU itu dibahas. Sementara itu, Golkar pun sempat terancam "retak" terbagi dua: pro dan kontra. Untung, ada F-ABRI yang intensif melakukan lobi untuk meredam kontroversi ini. Atas usul F-ABRI, pada bagian awal Batang Tubuh RUU dicantumkan: subyek hukum RUU ini hanya orang Islam. Dan semua pejabat peradilan agama harus beragama Islam dan bebas organisasi terlarang. Setelah berkutat selama 76 hari di DPR, akhirnya RUU itu gol menjadi undang-undang di akhir 1989. Tonggak lainnya yang dianggap sebagai bukti bahwa Pemerintah kini semakin mesra dengan kelompok Islam bisa dilihat dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), akhir tahun lalu, di Malang. Di situ ada Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie (Ketua Umum ICMI), Menteri Negara KLH Emil Salim, Mendagri Rudini, Menteri P & K Fuad Hassan, Menpen Harmoko, yang terlibat. Bahkan tokoh Islam bergaris keras yang (pernah) jadi oposan seperti M. Imaduddin Abdulrahim dan Dipo Alam bergabung dalam ICMI. Tampaknya, bola Islam memang terus menggelinding. Kehidupan umat pun kini terasa lebih marak -- daripada tahun-tahun sebelumnya ketika peristiwa Lampung atau peristiwa Tanjungpriok masih menghantui. Data di atas kertas menunjukkan, jumlah tempat peribadatan muslim meningkat. Pada tahun 1985 tercatat ada 507.175 unit. Lima tahun kemudian, angka itu berubah menjadi 550.676 unit. Bantuan dana pembangunan atau dana proyek pemerintah untuk masjid juga terus bertambah. Selama Pelita I (1969/1974) tersedia dana Rp 475 juta. Tapi dalam Pelita IV lalu, jumlahnya meningkat drastis menjadi Rp 29 milyar. Sejalan dengan itu, Nurcholish Madjid menjelaskan, proses sosiologis bangsa Indonesia yang kini semakin menunjukkan keislamannya. Pada tahun 1970-an, katanya, orang yang salat di kantor punya risiko disebut sebagai anggota ekstrem kanan. "Tapi sekarang di mana-mana orang salat di kantor. Ini gejala umum," kata Nurcholish. Fuad Amsyari, Ketua Cendekiawan Muslim Al-Falah Surabaya, tak membantah bahwa secara statistik jumlah pembangunan masjid memang bertambah dalam era Orde Baru ini. Namun, rasionya dengan penduduk Indonesia tak berubah -- mengingat jumlah penduduk yang juga terus berkembang. Lagipula, ia melihat, "Perkembangan Islam yang ada saat ini masih tampak dalam batas ritual, dan belum melihat Islam sebagai ajaran sosial kemasyarakatan," kata Fuad, anggota dewan pakar ICMI. Dalam konteks ini, barangkali, Rhoma Irama memang melihat lain tentang kelompok Islam yang kini merasa "seolah-olah" di atas angin itu. Penyanyi dangdut yang juga beken sebagai pendakwah itu melihat apa yang dilakukan Pemerintah itu sudah terlambat. Misalnya saja tentang dibolehkannya pakaian jilbab, "Itu hanya sebuah ketololan bukan budi baik Pemerintah. Seharusnya itu sudah menjadi hak umat Islam," kata Rhoma. Masih adanya perbedaan penafsiran ini menunjukkan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah akhir-akhir ini tak menjamin bahwa hubungannya dengan golongan Islam akan lepas dari konflik. Masih ada beberapa beleid Pemerintah yang, menurut Rhoma dan Fuad, sangat prinsip bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Misalnya, soal Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang belum kunjung dihapuskan. Apakah setelah Pak Harto bergelar haji, hubungan Pemerintah dengan Islam kian mesra? Banyak umat yang berharap begitu. Namun, Abdurrahman Wahid mengingatkan: umat Islam jangan terlalu banyak menuntut. Sebab, Pak Harto bagaimanapun adalah milik seluruh bangsa, dan Presiden RI yang ideologinya Pancasila, dan landasan konstitusionalnya UUD '45. "Peranan agama dalam negara ada batasannya. Kalau enggak pakai batas, namanya negara Islam," ujar Gus Dur. Klaim yang berlebihan ini memang dikhawatirkan bakal menyulitkan Pak Harto sendiri. Sebab, kata Gus Dur, belum ada hubungan yang mapan antara berbagai pihak beragama di Indonesia. "Nah, ini jangan sampai guncang. Karena itu, biarkanlah Pak Harto menjadi presidennya seluruh bangsa," kata Abdurrahman Wahid. Ahmed K. Soeriawidjaya, Wahyu Muryadi, Zed Abidien, dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini