Sejak peristiwa Darul Islam pada awal usia Republik, hubungan tak selamanya ramah antara kalangan Islam dan kalangan yang ingin lebih menjaga persatuan dan pluralisme Indonesia. Tapi kian mereda tampaknya. TIAP kali orang di Indonesia mendengar peringatan, "Awas, ekstrem kanan", orang berbisik: siapa itu gerangan? Di kamus birokrasi Indonesia itu kurang lebih berarti: gerakan keras yang memakai bendera Islam. Tak jelas dari mana istilah itu dipakai. Yang jelas, suatu rasa cemas yang kuat terhadap "ekstrem kanan" berpangkal pada sejarah berdarah dari Darul Islam (DI), pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Aksi DI itu dimulai Mei 1948 di Jawa Barat. Waktu itu, tentara yang lahir dan bertugas di Jawa Barat, pasukan Siliwangi, sedang harus ditarik masuk ke Jawa Tengah dan Timur. Hasil perundingan dengan pihak Belanda menghendaki demikian. Ini dimanfaatkan Kartosuwirjo. Ia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), yang kebanyakan dicomot dari laskar pejuang Hizbullah atau Sabilillah. Ia mengklaim tanah Priangan sebagai wilayah resmi negara Islam Indonesia. Belum setahun ia memproklamasikan NII, pasukan Siliwangi kem- bali ke Jawa Barat, setelah Belanda dianggap tak lagi mau menaati perjanjian Renville. Bentrok segi tiga sering tak terhindarkan, di antara DI/TII-TNI-Belanda. Belum aksi DI-TII di Ja-Bar tumpas, pemerintah RI sudah disibukkan pula oleh Darul Islam Aceh, yang dipimpin ulama kondang Daud Beureueh pada 1953. Rupanya, Daud Beureueh menganggap Jakarta menganaktirikan Aceh, dengan tidak membentuknya sebagai daerah istimewa yang memiliki otonomi luas. Lebih buruk lagi, Aceh dijadikan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Hampir berbarengan dengan aksi di Ja-Bar dan Aceh itu, di Sulawesi muncul gerakan Kahar Muzakkar. Aksi ini juga mengibarkan bendera Darul Islam, tetapi asal mulanya bukan demikian. Selangkah demi selangkah, ABRI bisa membereskan semua itu. Kartosuwirjo tertangkap 1962, dihukum mati. Kahar Muzakkar mengalami nasib yang sama pada 1965. Sedangkan Daud Beureueh bersedia dibujuk turun gunung 1962. Tampaknya, Islam memang mudah dikibarkan sebagai panji gerakan keresahan sosial-ekonomi -- satu hal yang juga sudah terasa sejak zaman kolonial. Dan tak jarang dengan kekerasan. Ini yang menyebabkan terjadinya jarak, bahkan jurang, antara gerakan Islam dan kekuatan lain, baik yang menginginkan keamanan dan stabilitas maupun yang menghendaki persatuan sambil mengakui keanekaragaman golongan sosial. Tak mengherankan bila konflik di sini sering terjadi. Khususnya ketika ada aspirasi kaum muslim untuk membangun "Negara Islam". Sejak persiapan kemerdekaan, ketika para pemimpin masyarakat mempersiapkan undang-undang dasar pada tahun 1945, kalangan Islam memang ingin dapat posisi yang khusus, mengingat mayoritas orang Indonesia adalah muslim. Misalnya adanya ketentuan bahwa presiden harus orang Islam dan ada kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya. Pada tahun 1955, menjelang dan sesudah pemilu pertama yang bebas itu, ketika panji "Islam", "komunis", "sosialis", dan lain-lain dengan leluasa dikibarkan, soal "Negara Islam" jadi berapi-api. Dalam sidang para wakil rakyat dalam lembaga Konstituante, pembentuk undang-undang dasar, yang terbentuk setelah Pemilu 1955, empat partai Islam yang ada -- Masyumi, NU, PSII, dan Perti -- menyatakan memilih "Negara Islam" untuk bentuk masa depan Indonesia. Usaha itu gagal. Wakil empat partai itu tak mencapai 40% dari jumlah anggota seluruhnya. Toh kompromi, suatu keniscayaan dalam demokrasi itu, tak tercapai. Lembaga pembentuk konstitusi itu macet. Maka, keluarlah dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Dalam dekrit ini, Indonesia harus memakai kembali UUD 1945, dengan kekuasaan eksekutif, khususnya presiden yang sangat besar. Pada saat itu, berlaku keadaan darurat perang. Ada pemberontakan di daerah, yang menentang Bung Karno dan PKI. Masyumi, partai Islam terbesar waktu itu, yang dianggap terlibat, dibubarkan di tahun 1960. Para simpatisan Masyumi yang tak sedikit jumlahnya tentu saja tidak senang terhadap pemerintahan "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno. Apalagi Bung Karno dianggap sangat dekat dengan PKI. PKI memang waktu itu berkibar di atas angin, seakan-akan men- jelang menang. Tapi kemudian kemajuan PKI pun macet dalam suasana serba "terpimpin" itu. Lalu meletuslah "Gerakan 30 September", yang membunuh sejumlah perwira ABRI yang antikomunis. Merasa terancam, kalangan antikomunis melancarkan suatu gelombang pukulan balik. Kekuatan Islam, terutama pemuda dan pelajarnya, bangkit membantu ABRI memerangi PKI. Dan "Orde Lama" di bawah pimpinan Bung Karno pun tumbang. Bahkan, PKI dibubarkan, dan pemimpinnya dihabisi. Pada awal "Orde Baru", kelompok Masyumi ingin mengorganisasikan diri kembali. Para tokoh Masyumi, seperti Hamka, Kasman Singodimejo, dan M. Natsir, yang baru dibebaskan dari tahanan "Orde Lama", bersiap-siap membangun Masyumi baru. Namun, nampaknya kalangan ABRI dan pemerintah masih punya trauma, setidaknya melihat Masyumi punya potensi konflik. Yang lahir, dengan restu Pemerintah, adalah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Tahun 1958, Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun -- keduanya dari Muhammadiyah -- muncul sebagai ketua serta sekjen. Namun, ternyata Parmusi masih perlu lebih dikontrol. Muncullah tokoh Jaelani Naro dan Imran Kadir. Mereka menuduh pimpinan Parmusi bersikap menentang ABRI. Lebih dari itu, Naro dan Imran mengangkat diri sebagai ketua dan sekjen. Parmusi geger. Djarnawi-Lukman langsung memecat Naro dan Imran dari keanggotaan partai. Tapi Naro-Imran ganti memecat mereka. Akhirnya, Pemerintah turun tangan lewat SK No. 77/1970 yang dikeluarkan November 1970. Kepemimpinan Parmusi dirombak. Campur tangan pemerintah dalam urusan Parmusi itu tak menyebabkan hubungannya dengan kalangan luas Islam ramah-tamah, meskipun di luar Parmusi, masih ada kekuatan besar NU. Rasa curiga berkecamuk. Reaksi pun cepat meletup ketika Pemerintah membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan ke DPR RI 1973. Di situ ada semangat mengintegrasikan peraturan bagi seluruh warga masyarakat, sementara kalangan Islam hendak menggunakan akidah agamanya sendiri. Gelombang demonstrasi datang silih berganti, mendatangi gedung DPR. Para demonstran, sebagian besar generasi muda Islam, berpandangan, RUU Perkawinan itu bisa mengurangi kewenangan pengadilan agama. Melihat ini, Pemerintah, khususnya ABRI, mengambil inisiatif untuk memberi tempat bagi keberatan pokok kalangan Islam. RUU itu pun lahir jadi undang-undang. Konflik keras terhindar. Tapi kontroversi semacam itu terulang ketika MPR, pada sidang Umum 1978, membahas soal masuknya aliran kepercayaan dalam GHBN. Kalangan Islam menentang. Sebagian wakil partai Islam melakukan aksi walk out -- keluar dari sidang -- ketika pasal itu hendak disahkan. Tak ada kekerasan yang sampai meletup. Tapi rasa curiga kian menjalar. Pada 1978, ada Warman, yang mengaku mewarisi semangat Kartosuwirjo. Kekerasan terjadi, meskipun hanya didukung oleh segelintir orang. Korban jiwa jatuh, di antaranya Parmanto, Pembantu Rektor IIl "Universitas Negeri 11 Maret". Warman cs. juga menembak dua orang anggota polisi, Agustus 1980. Selesai kasus Warman, ada kasus Imran, anak muda yang bermimpi hendak menyalakan api revolusi Islam di Indonesia. Maka, di tengah malam 11 Maret 1981, dengan sebuah truk, 14 anggota jamaah Imran menyerang kantor polisi Cicendo, Bandung. Empat orang polisi dibunuh dengan pistol rampasan, dan lima orang tahanan dibebaskan. Rupanya, senjata itu diperlukan untuk sebuah maksud yang lebih besar: membajak pesawat terbang. Maksud itu terlaksana dua pekan kemudian. Empat anggota kelompok ekstrem itu berhasil menyusup ke pesawat DC-9 Garuda Woyla yang tengah menjalani rute Jakarta-Palembang-Medan. Woyla pun dipaksa terbang ke luar Indonesia, dan akhirnya mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok. Aksi itu usai 65 jam kemudian, setelah satuan antiteroris dari Kopassus -- yang dikirim ke Bangkok -- menyergapnya dengan cepat. Keempat pembajak tewas. Imran sendiri tertangkap sepekan kemudian, lalu dijatuhi hukuman mati. Agustus 1982, Presiden Soeharto memperkenalkan gagasannya tentang asas tunggal Pancasila. Dalam pandangan Pemerintah, Pancasila itu hendak diterapkan sebagai landasan bagi semua organisasi politik dan organisasi massa. Pada mulanya, organisasi Islam maupun bukan agak keberatan. Namun, dialog panjang berlangsung dengan sabar. Toh tak semua sabar. Waktu itu, Agustus 1984, suara keras terdengar dalam serangkaian pidato di kawasan miskin di Tanjungpriok, Jakarta Utara. Tokohnya: Amir Biki, misalnya. Suaranya mengundang minat ribuan orang. Syahdan, beberapa pemuda ramai-ramai membakar motor milik seorang sersan di Tanjungpriok, yang dituduh mengotori musala. Para pembakar motor itupun diangkut ke Kodim untuk diperiksa. Mendengar itu, malam 7 September 1984, dengan dipimpin Amir Biki, massa bergerak ke Kodim untuk membebaskan beberapa pemuda yang ditahan. Namun sambil jalan, mereka merusak toko dan apotek. Akhirnya, sepasukan petugas menghadangnya dengan senjata di tangan. Massa terus bergerak. Tak terelakkan, senapan pun menyalak, korban berjatuhan, termasuk Amir Biki. Ternyata, asas tunggal dengan mulus diterima oleh semua organisasi Islam. Tapi toh pada tahun 1989, peristiwa berdarah terulang di Desa Cihideung, Lampung Tengah. Peristiwa itu berpangkal dari sebuah pesantren, tempat tinggal Warsidi dan murid-muridnya yang berjumlah hampir 300 orang. Warsidi dan pengikutnya berniat mendirikan "Negara Islam". Sikap mereka yang militan itu memantik konflik, dan seorang kapten mereka bunuh, 6 Februari 1989. Pesantren itu pun diserbu oleh tentara dan Brimob. Ajakan menyerah disambut dengan teriakan perang. Bedil pun berbicara. Tak diketahui persis berapa jiwa melayang, termasuk Warsidi. Pendeknya jaringan Warsidi, yang ternyata sampai Jakarta, digulung habis. Tapi kemudian, yang keras-keras itu mulai reda. Bahkan, Pemerintah bisa juga membuat orang Islam tersenyum, dengan UU Pengadilan Agama, yang disahkan akhir 1989 lalu. Undang-undang itu tak hanya mengatrol pamor pengadilan agama. Masalah yang menyangkut talak, rujuk, nikah, dan waris bisa mendapatkan jaminan hukum (Islam) yang lebih pasti. Dan orang Islam berucap, "Alhamdulillah." Putut Trihusodo, Priyono B. Sumbogo, dan Sandra Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini