TATKALA menyaksikan tayangan di televisi bagaimana Presiden Soeharto, Ny. Tien, dan putra-putrinya dengan khusyuk menunaikan ibadah haji dua pekan silam, banyak pemirsa muslim yang bersyukur. Pada usianya yang 70 tahun, akhirnya Pak Harto dapat menunaikan rukun Islam yang kelima bersama keluarganya dengan selamat. Sukacita dan rasa syukur itu ternyata menyebar ke seantero Indonesia. Pekan lalu, misalnya, khotbah Jumat di masjid-masjid mengambil tema tentang penunaian ibadah haji tersebut. Hampir semua orang sepakat, apa yang dilakukan Kepala Negara tersebut adalah tindakan dari seorang muslim yang memenuhi kewajiban agamanya. Bukan untuk tujuan lain. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Pak Harto menegaskan bahwa niat untuk naik haji itu telah lama dikandungnya. Hanya waktu dan kesempatan belum mengizinkan. Baru tahun inilah hari baik bulan baik itu tiba. Dan Pak Harto pun berhasil memenuhi panggilan Nabi Ibrahim itu. Toh berbagai isu tetap saja terdengar. Antara lain, yang menghubungkan tindakan Pak Harto menunaikan ibadah haji itu dengan Sidang Umum MPR dan pemilihan presiden pada 1993 nanti. Isu itu tampaknya dipicu juga oleh tulisan sementara analis asing yang menafsirkannya dari sudut politik: bahwa Pak Harto naik haji untuk memperoleh dukungan dari umat Islam agar terpilih kembali pada 1993 nanti. Sampai-sampai ada penulis yang menyebut bahwa untuk menghadapi 1993 itu Pak Harto telah memakai "kartu Islam". Penafsiran itu muncul karena mungkin penulisnya kurang memahami Islam, yang mengajarkan bahwa menunaikan ibadah haji merupakan ibadah bagi umatnya yang mampu. Namun, bisa jadi analisa itu muncul setelah dibandingkan suasana sekarang dengan masa lampau, tatkala hubungan pemerintah dengan suatu kelompok Islam kurang mesra, malah beberapa kali terjadi bentrokan. Kita bisa menyebut beberapa contoh: peristiwa DI/TII, pembajakan Woyla, peristiwa Tanjungpriok, atau peristiwa Lampung. Tentu saja ada bantahan. Pernyataan Mensesneg Moerdiono mungkin bisa mewakili. "Pak Harto cuma menjalankan kewajiban agama. Yang pasti ini bukan haji politik," ujarnya. Untuk itulah Laporan Utama ini diturunkan: untuk membahas hubungan antara Islam dan pemerintah, dengan mengambil peristiwa penunaian ibadah haji Pak Harto sebagai cantelan (peg)-nya. Hubungan yang terkadang mirip orang berpacaran: ada saat-saat panas dan dingin, itulah yang dibahas dalam bagian pokok Laporan Utama ini. Hubungan yang diwarnai dengan berbagai bentrokan, yang mengakibatkan luka yang lama, dan kecurigaan yang "laten" terhadap kelompok Islam di sini. Memang, beberapa tahun terakhir ini hubungan itu tampak makin mesra. Namun, itu tidaklah berarti bahwa hubungan itu akan sama sekali bebas dari konflik di kemudian hari. Konflik apa saja yang pernah terjadi sebelumnya? Apa yang menjadi sumber penyebabnya? Itulah yang dikupas dalam bagian lain Laporan Utama ini. Lewat kupasan itu kami berharap bisa tergambar "perubahan" sikap kedua pihak, pemerintah dan kelompok Islam, bila membandingkannya dengan suasana saat ini. Tak bisa dibantah lagi, sumber konflik itu sebenarnya adalah kecurigaan, bahwa ada aspirasi dari kalangan Islam di sini untuk mendirikan negara Islam, atau menjadikan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila. Lalu, apakah keinginan itu punya dasar? Apakah Islam memang punya konsep suatu negara Islam? Dan apakah ide ini masih hidup saat ini? Topik ini akan dikaji dalam bagian III Laporan Utama ini. Selanjutnya, pendapat sejumlah orang yang pernah kena "luka" dalam panas dinginnya hubungan antara pemerintah dan sekelompok Islam itu kami tampilkan. Dari situ bisa lebih terlihat betapa berubahnya sikap sebagian orang. Akhirnya, sebuah wawancara dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali melengkapi tulisan ini. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini