Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan HUT TNI ke-76 menyisakan beberapa pekerjaan rumah. Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan oleh TNI adalah Reformasi TNI. Agenda yang datang bersamaan dengan Reformasi 1998 tersebut menyisakan beberapa mandat yang belum bisa dipenuhi hingga saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di antara banyaknya mandat Reformasi TNI, mandat untuk menegakkan supremasi sipil menjadi salah satu yang paling mendesak. Desakan tersebut muncul setelah ditemukannya beberapa personel TNI aktif yang menduduki jabatan sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dilansir dari elsam.org, beberapa personel TNI ditemukan menempati jabatan sipil nonpertahanan, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, hingga BUMN. Sementara itu Ombudsman RI menemukan 27 anggota TNI aktif yang menjabat di BUMN pada 2020. Lantas, apa sebenarnya supremasi sipil itu?
Dalam jurnal Armed Forces & Society (1992), Kenneth W. Kemp and Charles Hudlin mengungkapkan bahwa supremasi sipil merupakan tradisi demokrasi di Amerika Serikat yang menekankan bahwa angkatan bersenjata suatu negara harus selalu di bawah kontrol masyarakat sipil.
Supremasi sipil sangat berkaitan erat dengan prinsip dasar demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dapat terganggu apabila militer, yang mempunyai wewenang monopoly of violence penggunaan kekerasan secara sah, tidak berada di bawah kontrol sipil.
Militer yang tidak berada di bawah kontrol sipil sering kali berujung pada kudeta militer, sebuah upaya untuk menggantikan pemerintahan sipil dengan pemerintahan militer. Dikutip dari jurnal Pacific Affairs, beberapa kasus kudeta militer di dunia sering kali berakhir dengan pergantian pemerintahan sipil yang demokratis dengan pemerintahan militer yang otoriter. Dengan kata lain, tanpa supremasi sipil, demokrasi akan sulit untuk ditegakkan.
Penegakkan supremasi sipil di Indonesia dimulai pasca-Reformasi 1998. Upaya penegakkan supremasi sipil pada waktu itu ditandai dengan dimasukkannya agenda penghapusan Dwifungsi ABRI yang memperbolehkan militer memegang jabatan sipil selama Orde Baru. Penghapusan Dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan dianggap sebagai bagian integral dari agenda Reformasi TNI.
Kendati demikian, dengan ditemukannya personel aktif TNI dalam struktur jabatan sipil, upaya untuk menegakkan supremasi sipil sebagai bagian dari agenda Reformasi TNI masih belum berjalan secara maksimal. Kondisi tersebut diperparah dengan beberapa mandat Reformasi TNI yang hingga saat ini masih belum dilaksanakan, seperti mandat untuk tunduk terhadap kebijakan negara dan mandat untuk menghormati HAM.
BANGKIT ADHI WIGUNA