Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ini Memang Biaya Yang Harus Dibayar

31 pengusaha besar Indonesia yang akan menjual sahamnya kepada koperasi adalah kelompok Prasetya Mulya. Walaupun dalam perhitungan bisnis ada kerugian mereka menganggapnya sebagai biaya sosial.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA datang naik bis milik PT Setia Tour. Mobil mereka ditinggalkan di gedung PT Indocement, Jakarta, tempat mereka berkumpul pagi harinya sebelum berangkat bersama ke Tapos. Sekilas, dalam baju batik atau tenun ikat yang mereka kenakan tak tampak bahwa 31 orang itu adalah pengusaha-pengusaha paling terkemuka di Indonesia. Hanya dua orang dari mereka yang pribumi, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad. Lalu ke mana pengusaha pribumi kelas kakap lainnya seperti Aburizal Bakrie, Bambang Trihatmojo, atau Soedarpo Sastrosatomo? Sebuah sumber menyebutkan, 31 pengusaha yang datang itu termasuk dalam "Kelompok Prasetiya Mulya", sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan manajemen. Kabarnya, daftar 31 orang itu disusun oleh Liem Sioe Liong, yang memang diminta Presiden Soeharto untuk mengumpulkan para pengusaha itu. Mungkin karena itu pulalah dalam rombongan tersebut tak tampak pengusaha besar semacam Bob Hasan dan Jan Darmadi. Sedang Mochtar Riady absen karena sedang memeriksakan kesehatannya di Australia. Toh, sebagai kekuatan ekonomi, ke-31 orang itu saja cukup mengesankan. Sebuah sumber TEMPO menaksir, mereka secara bersama memiliki ratusan perusahaan yang mempekerjakan sekitar 1 juta orang. Betapa tidak, PT Sinar Mas Tunggal milik Eka Tjipta Widjaja saja menguasai sekitar 150 perusahaan, yang bergerak dari bidang perbankan, pabrik kertas, sampai perkebunan, dengan aset sekitar Rp 760 milyar. Sedang Kelompok Astra yang dipimpin William Soeryadjaya menguasai sekitar 260 perusahaan. Dan semua tahu, tiga pabrik rokok PT Gudang Garam, PT Djarum Kudus, dan PT Bentoel mempekerjakan lebih dari 100 ribu orang. Ke-31 pengusaha yang hadir di Tapos Minggu lalu adalah: 1. Alim Markus (PT Maspion) 2. Ang Kang Hoo (PT Imora Motor) 3. Angky Camaro (Indomobil Group) 4. Bambang Prasetyo (PT Sumber Rukun) 5. Budi Hartono (PT Djarum Kudus) 6. Burhan Uray (PT Djayanti Timber) 7. Ciputra (PT Pemhangunan Jaya) 8. Dasuki Angkosubroto (PT Gunung Sewu Group) 9. Eka Tjipta Widjaja (PT Sinar Mas) 10. F. Santosa (PT Ometraco) 11. Frans Setiawan (PT Bentoel) 12. Henry Onggo (PT Ratu Agung Sayang) 13. Husein Djojonegoro (PT ABC/ICI) 14. Ibrahim Risjad (PT Bogasari) 15. Jauw Tjung Kie (PT Yasonta) 16. Kaharudin Ongko (Bank Umum Nasional) 17. Kurnia (PT Hero) 18. Liem Sioe Liong (Salim Group) 19. Mintardjo Halim (PT Sandratex) 20. Moerdaya Poo (PT Berca) 21. Sukanta Tanudjaya (PT Sinar Sahabat) 22. Prajogo Pangestu (PT Barito Pasifik) 23. Rachman Halim (PT Gudang Garam) 24. Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group) 25. Sudwikatmono (Indocement Group) 26. Susanta Lyman (PT SDR Group) 27. Sofyan Wanandi (PT Pakarti Yoga) 28. Sukanto Tanoto (PT Raja Garuda Mas) 29. The Nien King (PT Daya Manunggal) 30. Usman Admajaya (Bank Danamon) 31. William Soeryadjaya (Astra Group) Sehari sebelum berkunjung ke Tapos, ke-31 pengusaha itu, atas undangan Liem Sioe Liong, berkumpul di PT Indocement. "Supaya dalam pertemuan dengan Pak Harto kita semua sependapat," kata salah seorang yang hadir. Kabarnya, perdebatan yang berlangsung sekitar tiga jam itu cukup seru. Hasilnya, disepakati untuk menerima imbauan Kepala Negara secara bertahap, dimulai dengan 1%. Liem Sioe Liong diminta menjadi juru bicara. Sebuah sumber TEMPO yang lain mengungkapkan, dalam pertemuan itu terasa sekali adanya kekhawatiran akan rencana penjualan 25% saham ke koperasi ini. Ada yang waswas bahwa para pemegang saham 25% itu nanti bisa menjadi semacam pressure group, dengan cara, misalnya, menuntut agar hasil keuntungan dibagi dalam bentuk dividen dan bukannya untuk ekspansi perusahaan. Ada pula yang memperkirakan kebijaksanaan ini akan menimbulkan high cost economy. "Namun, akhirnya semua sepakat bahwa ini memang social cost yang harus dibayar, tapi pelaksanaannya harus bertahap," ujar sumber tersebut. SP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus