MALAM itu, Kamis pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kelihatan santai. Ia mengenakan celana jeans dan menyetir mobil sendiri. "Maaf, terlambat, jalanan macet sih," katanya sembari mengisi buku tamu. Lalu ia memasuki ruang perkantoran PT Ekapraya Film di kompleks perkantoran dan Pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan disambut sekitar 50 hadirin yang sudah menunggu, ada artis film, wartawan, dan mahasiswa. Setelah santap malam bersama -- masakan itu hasil tangan tuan rumah artis Christine Hakim -- temu wicara seniman, budayawan, dan wartawan yang disebut "Diskusi Kebudayaan" itu dimulai. Sebelumnya, perhelatan serupa telah dilakukan dengan mengundang Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani dan Menteri Dalam Negeri Rudini. Malam itu, yang diundang jadi pembicara adalah budayawan Emha Ainun Nadjib dan kolomnis Fachri Ali. Sedang Moerdiono datang sebagai undangan biasa. Dan seperti dikatakannya, secara pribadi, bukan dalam kapasitas Mensesneg, melainkan sebagai "budayawan". Tuan rumah Eros Djarot menegaskan di depan hadirin bahwa diskusi yang membahas kebudayaan itu tak punya maksud politis. "Ini semata untuk menambah wawasan," kata sutradara film Tjoet Nja' Dhien itu. Tapi tentu saja acara yang berlangsung tanpa kursi itu, para hadirin duduk lesehan di lantai, menyerempet ke sana-sini, sambil tentu saja ramai dengan guyon dan gelak tawa. "Kalau bisa saya mulai, maka saya mengajukan beberapa hal yang mungkin Pak Moer tidak begitu berkenan," kata Fachri Ali, pembicara pertama. Dengan tangkas Moerdiono memotong, "Berkenan, Anda boleh bicara apa saja semaunya," katanya. Ternyata, kolomnis ini bicara kebudayaan yang berkembang pada 1950-an. Singkatnya, dilihat dari konteks kebudayaan, Fachri menganggap kebudayaan yang timbul saat itu -- biasa disebut orang sistem demokrasi Barat yang bebas -- akan memberi sumbangan pada kebudayaan Indonesia masa kini dan mendatang. "Kebudayaan yang timbul pada 1950-an itu terlalu cepat hadirnya sehingga pupus, karena struktur sosial tidak mendukung sepenuhnya," katanya. Agaknya, Fachri ingin mengatakan bahwa kabinet yang berjatuhan dalam waktu singkat -- bisa cuma tiga bulan -- di zaman demokrasi parlementer itu karena masyarakat saat itu belum siap. Setelah Fachri, Emha Ainun Nadjib bicara, lalu Moerdiono diminta memberi tanggapan. Ia tampaknya banyak bereaksi atas pendapat-pendapat Fachri Ali. Secara pribadi Moerdiono setuju dengan kebebasan, tapi wanti-wanti ia mengingatkan hadirin bahwa 85% masyarakat kita masih berpendidikan SD atau di bawahnya. "Bagaimana kita bicara kebebasan yang betul-betul apabila kita belum mampu menangkap simbol-simbol. Banyak orang menangkapnya begitu saja tanpa memahaminya," katanya. Kini banyak orang bicara tentang konglomerat, tapi, saat didesak apa arti sebenarnya konglomerat itu, banyak yang tak tahu. Moerdiono memberi ilustrasi ribut-ribut tentang department store dan pasar swalayan Sogo yang menempati empat lantai Plaza Indonesia Jakarta dan diresmikan Kamis pekan lalu. Semua orang ribut ketika Sogo diizinkan beroperasi di sini. Padahal, PT Gajah Tunggal yang menginvestasikan modalnya di pasar swalayan itu adalah perusahaan PMDN (bermodal dalam negeri). Tapi anehnya, menurut Moerdiono, tak ada orang yang ribut ketika ayam goreng dari Amerika Serikat, Kentucky Fried Chicken, masuk kemari. Sebenarnya, kata Moerdiono, "Yang ribut-ribut itu adalah serigala. Datang serigala yang lebih besar dia ribut. Aneh, buat saya." Lalu ia lanjutkan, "Apa itu Golden Truly, Hero, waktu dia nginjak orang kecil, diam, enak saja. Dan waktu datang yang gede, teriak dia, dan lucunya kita semua juga ikut teriak. Kan lucu?" Golden Truly dan Hero adalah pasar swalayan yang memang bereaksi keras pada kehadiran saingannya: Sogo. Moerdiono menambahkan, konon yang memberikan subsidi kepada pasar swalayan yang ia sebutkan tadi adalah orang-orang kecil. Barang-barang yang mereka berikan kepada pasar swalayan itu baru dibayar dua bulan di belakang. "Ini lucu, yang kecil ngasih kredit pada yang besar, dan yang gede itu dapat kredit dari bank. Lho, kok enak," katanya disambut tawa riuh hadirin. Dengan ilustrasi itu Moerdiono ingin mengingatkan perlunya kita berhati-hati kalau bicara tentang kebebasan. Misalnya, kebebasan apa yang kita maksudkan? Kebebasan di Barat yang sering diagung-agungkan orang itu mendapat kritik tajam dari Moerdiono. Ia menunjuk bagaimana sejumlah negara Barat yang selalu bicara tentang kebebasan perdagangan, tapi kenyataannya pasang barikade begitu barang-barang Jepang menyerbu. "Itu kan namanya kebohongan besar," katanya. Berbagai pernyataan dan celetukan pembantu dekat Presiden Soeharto itu -- sekalipun dikeluarkannya atas nama pribadi -- tentu saja amat menarik minat hadirin. Maka, Moerdiono, malam itu menjadi tumpuan bermacam pertanyaan dari peserta diskusi itu. "Lho, kok saya yang dikeroyok? Saya kan datang sebagai peserta," katanya bercanda. Akhirnya, pertemuan yang dimulai sekitar pukul 20 itu pun baru berakhir pukul 01.3 dini hari. Diskusi terbatas di Pondok Indah itu, yang kemudian dimuat koran-koran, segera memancing reaksi. Presiden Komisaris Golden Truly, Sudwikatmono, Sabtu lalu membantah bahwa perusahaannya disubsidi orang-orang kecil yang memasok barang-barang ke supermarket itu. "Wong, namanya bisnis, mana mungkin orang mau mensubsidi," katanya. Ia tak membantah bahwa tukang kerupuk, misalnya, memasok barang padanya dengan pembayaran di belakang. Tapi, katanya, para pedagang itu sudah memperhitungkannya dalam penentuan harga. Sudwikatmono juga tetap berpendapat, kehadiran Sogo akan mematikan perusahaan lokal sejenis. Ia sempat pula menegaskan bahwa keluarga Cendana (keluarga Presiden Soeharto) sama sekali tak punya saham di Sogo. "Saya sudah menanyakan keponakan saya Bambang Trihatmojo. Dia hanya menyewakan gedung," kata Sudwikatmono, yang masih terhitung adik Presiden Soeharto itu. Amran Nasution & Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini