Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tak Seorang Mau Pulang

Desa-desa di kecamatan Padang Sidempuan kosong penghuni, penduduknya pindah ke desa lain karena diuber-uber petugas karena dianggap terlibat G30S/PKI ketika peristiwa tersebut meletus.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA-desa itu sunyi senyap, kosong tak berpenghuni. Beberapa kerangka rumah nampak porak-poranda. Beberapa macam tanaman tumbuh melebat: kopi, langsat, pisang, durian. Selebihnya semak belukar. Desa-desa di Kecamatan Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan (Sum-Ut) itu adalah Malombu, Sawangan, Hutabaru dan Baringin Nauli. Desa-desa ini dulu memang dikenal sebagai basis PKI. Penghuninya umumnya terdiri dari buruh tani dari Jawa. Di antara keempat desa itu hanya Baringin Nauli yang gampang dicapai dengan kendaraan. Desa lainnya--Malombu, Sawangan dan Hutabaru--tersuruk jauh di tengah hutan, sekitar 70 km dari Padang Sidempuan. Di sekitarnya tumbuh subur kebun karet Hapesong milik PTP IV Gunung Pamela. Karena dianggap pengikut PKI, di awal peristiwa G30-S/PKI banyak penduduk desa-desa itu terbunuh. Yang menjadi buron pun tidak sedikit. Masih Diakui Kebanyakan penduduk sebenarnya bukan komunis tulen. Sebab seperti cerita Ngadimin, 50 tahun, "sebenarnya mereka masuk serikat buruh PKI semata-mata karena ingin mencari nafkah saja, sebagai buruh atau karyawan di PTP IV," katanya. Ngadimin, bekas penduduk Malombu, kini bermukim di Desa Batugodang, 3 km dari desa asalnya. Sebetulnya keempat desa itu sudah dihuni sejak awal abad XX. saat pemerintah Hindia Belanda membuka perkebunan karet di Hapesong. Tapi desadesa itu mulai porak poranda ketika perang kemerdekaan meletus. "Banyak penduduk mengungsi karena diuber-uber Belanda. Bahkan desa-desa itu dianggap sebagai markas gerilyawan republik," centa Ngadimin lagi yang Juga pernah ikut bergerilya. Mereka yang mengungsi itu ternyata tak pernah kembali lagi. Usai perang kemerdekaan, penduduk diusir oleh air bah. Sekitar tahun 1955 Sungai Malombu meluap. Bukan hanya sawah ladang yang hancur, rumah-rumah pun hanyut. Penderitaan ini rupanya belum berakhir. Selama pergolakan PRRI, penduduk keempat desa itu juga kocar-kacir. Dan terakhir kali mereka diuber-uber petugas karena dianggap terlibat G-30-S/PKI dan tak berani kembali lagi ke desa masing-masing. Kini desa-desa yang semula rata-rata dihuni 30 kk itu kosong. Mereka pindah antara lain ke Batugodang atau ke kampung-kampung lain di Kecamatan Batangtoru, tak jauh dari Padang Sidempuan. Mata pencarian mereka tetap seperti semula yaitu bertani di ladang dan mencari kayu di hutan. Anehnya, desa-desa kosong itu secara i csmi masih diakui dalam administrasi Kecamatan Padang Sidempuan. Jumlah desa di kecamatan tersebut, termasuk keempat desa kosong itu, masih tercatat berjumlah 195 buah. Hal ini sempat menjadi bahan pembicaraan ramai dalam sidang Panitia Pemungutan Suara Kecamatan Padang Sidempuan bulan lalu. Sebab menurut hasil pencatatan Panitia Pendaftaran Pemilih, di kecamatan itu hanya ada 191 buah desa. Adanya "desa fiktif" itu diakui Camat Padang Sidempuan. ors M Iran Ritonga. "Saya sudah berkali-kali melaporkan hal itu kepada bupati. Mestinya bupati meneruskannya ke gubernur dan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri. Maksud saya agar desa-desa itu, dihapus saja," ujar Ritonga. Pada 1978, supati Tapanuli Selatan (waktu itu Baginda Syarif Hasibuan) bahkan pernah mengusulkan kepada Depdagri agar jumlah desa di wilayahnya diciutkan, dari 1.602 menjadi 262 desa. Gagasan itu sudah disetujui DPRD setempat, sementara Gubernur .W.P. Tambunan pun memperkuatnya. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban dari Menteri Dalam Negeri. Tentu saja aparat di daerah tidak berani berbuat apa-apa, sebab wewenang membentuk, memecah atau menghapus desa sepenuhnya ada di tangan Mendaern Jurubicara Depdagri Drs. Haji Feisal Tamin heran bahwa di Tapanuli Selatan terdapat 1.602 desa. Ia menganggap jumlah itu terlalu banyak. "Itu mungkin desa menurut pengertian adat setempat, bukan menurut pengertian UU No. 5/ 1979," katanya. Ia juga tidak mengerti mengapa mesti menciutkan atau menghapus desa. "Mestinya malah dibentuk baru--mungkin dengan cara digabung dengan yang lain, hingga lebih berkembang," tambahnya. Menurut Feisal, undang-undang tentang pemerintahan desa tersebut dalam praktek bisa saja belum dipahami di beberapa kawasan yang terpencil. "Hal itu bisa dimaklumi, sebab umur UU itu baru 2 tahun," katanya lagi. Lucunya, dana pembangunan desa terus mengalir atas nama keempat desa tersebut. "Tapi jangan menuduh dana itu dikantungi pejabat," kata Ritonga. Selama ini dana keempat desa idu digabung dengan dana tiga desa lainnya di Kecamatan Padang Sidempuan untuk biaya proyek-proyek pembangunan. "Misalnya membangun jembatan Sitinjak-Siuhom yang membutuhkan biaya besar," kata Saleh, seorang pejabat di Kantor Kabupaten Tapanuli Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus