DESA-desa itu sunyi senyap, kosong tak berpenghuni. Beberapa
kerangka rumah nampak porak-poranda. Beberapa macam tanaman
tumbuh melebat: kopi, langsat, pisang, durian. Selebihnya semak
belukar.
Desa-desa di Kecamatan Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan
(Sum-Ut) itu adalah Malombu, Sawangan, Hutabaru dan Baringin
Nauli. Desa-desa ini dulu memang dikenal sebagai basis PKI.
Penghuninya umumnya terdiri dari buruh tani dari Jawa.
Di antara keempat desa itu hanya Baringin Nauli yang gampang
dicapai dengan kendaraan. Desa lainnya--Malombu, Sawangan dan
Hutabaru--tersuruk jauh di tengah hutan, sekitar 70 km dari
Padang Sidempuan. Di sekitarnya tumbuh subur kebun karet
Hapesong milik PTP IV Gunung Pamela. Karena dianggap pengikut
PKI, di awal peristiwa G30-S/PKI banyak penduduk desa-desa itu
terbunuh. Yang menjadi buron pun tidak sedikit.
Masih Diakui
Kebanyakan penduduk sebenarnya bukan komunis tulen. Sebab
seperti cerita Ngadimin, 50 tahun, "sebenarnya mereka masuk
serikat buruh PKI semata-mata karena ingin mencari nafkah saja,
sebagai buruh atau karyawan di PTP IV," katanya. Ngadimin, bekas
penduduk Malombu, kini bermukim di Desa Batugodang, 3 km dari
desa asalnya.
Sebetulnya keempat desa itu sudah dihuni sejak awal abad XX.
saat pemerintah Hindia Belanda membuka perkebunan karet di
Hapesong. Tapi desadesa itu mulai porak poranda ketika perang
kemerdekaan meletus. "Banyak penduduk mengungsi karena
diuber-uber Belanda. Bahkan desa-desa itu dianggap sebagai
markas gerilyawan republik," centa Ngadimin lagi yang Juga
pernah ikut bergerilya. Mereka yang mengungsi itu ternyata tak
pernah kembali lagi.
Usai perang kemerdekaan, penduduk diusir oleh air bah. Sekitar
tahun 1955 Sungai Malombu meluap. Bukan hanya sawah ladang yang
hancur, rumah-rumah pun hanyut. Penderitaan ini rupanya belum
berakhir. Selama pergolakan PRRI, penduduk keempat desa itu
juga kocar-kacir. Dan terakhir kali mereka diuber-uber petugas
karena dianggap terlibat G-30-S/PKI dan tak berani kembali lagi
ke desa masing-masing.
Kini desa-desa yang semula rata-rata dihuni 30 kk itu kosong.
Mereka pindah antara lain ke Batugodang atau ke kampung-kampung
lain di Kecamatan Batangtoru, tak jauh dari Padang Sidempuan.
Mata pencarian mereka tetap seperti semula yaitu bertani di
ladang dan mencari kayu di hutan.
Anehnya, desa-desa kosong itu secara i csmi masih diakui dalam
administrasi Kecamatan Padang Sidempuan. Jumlah desa di
kecamatan tersebut, termasuk keempat desa kosong itu, masih
tercatat berjumlah 195 buah. Hal ini sempat menjadi bahan
pembicaraan ramai dalam sidang Panitia Pemungutan Suara
Kecamatan Padang Sidempuan bulan lalu. Sebab menurut hasil
pencatatan Panitia Pendaftaran Pemilih, di kecamatan itu hanya
ada 191 buah desa.
Adanya "desa fiktif" itu diakui Camat Padang Sidempuan. ors M
Iran Ritonga. "Saya sudah berkali-kali melaporkan hal itu
kepada bupati. Mestinya bupati meneruskannya ke gubernur dan
gubernur kepada Menteri Dalam Negeri. Maksud saya agar desa-desa
itu, dihapus saja," ujar Ritonga.
Pada 1978, supati Tapanuli Selatan (waktu itu Baginda Syarif
Hasibuan) bahkan pernah mengusulkan kepada Depdagri agar jumlah
desa di wilayahnya diciutkan, dari 1.602 menjadi 262 desa.
Gagasan itu sudah disetujui DPRD setempat, sementara Gubernur
.W.P. Tambunan pun memperkuatnya. Tapi sampai sekarang belum
ada jawaban dari Menteri Dalam Negeri.
Tentu saja aparat di daerah tidak berani berbuat apa-apa, sebab
wewenang membentuk, memecah atau menghapus desa sepenuhnya ada
di tangan Mendaern Jurubicara Depdagri Drs. Haji Feisal Tamin
heran bahwa di Tapanuli Selatan terdapat 1.602 desa. Ia
menganggap jumlah itu terlalu banyak. "Itu mungkin desa menurut
pengertian adat setempat, bukan menurut pengertian UU No. 5/
1979," katanya. Ia juga tidak mengerti mengapa mesti menciutkan
atau menghapus desa. "Mestinya malah dibentuk baru--mungkin
dengan cara digabung dengan yang lain, hingga lebih berkembang,"
tambahnya.
Menurut Feisal, undang-undang tentang pemerintahan desa tersebut
dalam praktek bisa saja belum dipahami di beberapa kawasan yang
terpencil. "Hal itu bisa dimaklumi, sebab umur UU itu baru 2
tahun," katanya lagi.
Lucunya, dana pembangunan desa terus mengalir atas nama keempat
desa tersebut. "Tapi jangan menuduh dana itu dikantungi
pejabat," kata Ritonga. Selama ini dana keempat desa idu
digabung dengan dana tiga desa lainnya di Kecamatan Padang
Sidempuan untuk biaya proyek-proyek pembangunan. "Misalnya
membangun jembatan Sitinjak-Siuhom yang membutuhkan biaya
besar," kata Saleh, seorang pejabat di Kantor Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini