MURID bengal itu memang kecanduan bakso. Ia sering membolos
hanya untuk makan bakso. Tapi rapornya selalu baik, dan ternyata
memang menguasai pelajaran sekolahnya. Itu satu contoh. Contoh
lain: ada dua keluarga yang memang memperhatikan pendidikan
anak-anaknya di rumah. Dan anak-anak mereka kemudian memang
sukses di sekolah dan masyarakat.
Dua kasus itulah yang mengguggah Sudijarto, staf ahli Menteri
P&K, untuk menulis disertasi tentang Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kualitas Proses Belajar dan Mutu Hasil Belajar
Pelajar Kelas Terakhir SD.
Maret dan April 1980, ia mengumpulkan data lewat 1.287 responden
-terdiri dari murid-murid SD kelas terkhir di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogya, Surabaya, Mang, Ujungpandang dan Padang.
Ditambah 141 guru di delapan kota tersebut. Lewat pengolahan
satu setengah tahun, disertasi itu Sabtu yang lalu disidangkan
di hadapan penguji dan penyanggahnya di IKIP Negeri Bandung.
Pertama-tama yang dikemukakannya adalah cara guru mengajar yang
klasikal itu. "Pada dasarnya cara guru mngajar adalah
memberikan ceramah di depan lelas," kata sarjana Ilmu Mendidik
dari IKIP Universitas Pajajaran, Bandung, 1962 itu. "Dan apakah
ceramahnya itu dipahami murid atau tidak, bisa saya katakan tak
menjadi soal bagi guru."
Hal kedua yang menyangsikan Sudijarto tentang besarnya peranan
guru bagi murid, adalah: "Apa artinya tigaempat jam di sekolah,
dibanding waktu yang lebih lama anak-anak di rumah?"
Dan dari hasil penelitiannya, diketahui: kemampuan orang tua
menciptakan suasana belajar di rumah -- ada ruangan belajar, ada
kontrol waktu belajar dan ada buku-buku --itulah terutama yang
mempengaruhi hasil belajar murid.
Evaluasi Terakhir
Tentu, Sudijarto tak sepenuhnya bisa mengecek suasana belajar di
rumah setiap respondennya. Indikasi itu diperolehnya dengan
melihat faktor pendidikan dan pekerjaan orang tua. Makin tinggi
persentase orang tua berpendidikan tinggi, dan persentase
pekerjaan orang tua yang memungkinkan adanya suasana belajar di
rumah .(dosen, guru terutama), makin tinggi pula persentase
murid yang berhasil.
Surabaya, dalam penelitian ini, menunjukkan hasil dan proses
belajar responden terbaik. Sekitar 63% orang tua responden
ternyata dosen. Di Padang, yang menduduki nomor dua, orang tua
responden 47% dosen.
Sudijarto makin yakin, bahwa peranan guru ternyata tidak utama
-- bila caranya menilai anak didik tetap seperti sekarang ini.
Kecenderungan umum ialah: guru melihat kemampuan muridnya
berdasar hasil akhir. Padahal, "selain hal itu tak memberikan
gambaran sebenarnya, pun tak menumbuhkan semangat belajar si
anak," katanya kepada TEMPO. Inilah yang membuat kebudayaan
"hanya belajar kalau mau ujian".
Pun sistem sekolah sekarang, yang mencampur semua anak dengan
tingkat kecerdasan yang berbeda, sangat merugikan. Bukan bagi
anak yang pintar yang mendukung keperluan didirikannya sekolah
anak super-cerdas. Tapi, menurut dia, bagi anak yang kurang
cepat belajar. "Anak itu akan tertinggal terus, karena sebelum
dia paham betul, guru telah maju dengan pelajaran berikut,"
katanya.
Sebenarnya ini agak ironis pula. Guru di sekolah dianggap tak
besar pengaruhnya, sementara sebagai orang tua di rumah dianggap
menentukan proses dan belajar anaknya sendiri.
Sudijarto, yang selama 1975-1981 menjadi Kepala Pusat
Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K, tentu saja
tak hanya mengkritik. Yang diusulkannya pertama kali adalah
perbaikan cara guru mengajar. Guru sebenarnya cukup
"merencanakan, mengawasi dan memberi bimbingan." Dengan kata
lain sebagai motivator murid. Ia bandingkan guru dengan
jururawat di Puskesmas.
"Jadi masalahnya ialah: siapa dokternya?" lanjutnya. Untuk
kondisi yang sekarang ia menunjuk, barangkali penilik sekolah
yang bisa berperanan sebagai dokter itu. Dengan kualitas yang
diperbaiki, yang memungkinkan seorang penilik sekolah mampu
"mendiagnosa mengapa seorang murid sukar belajar, kemudian mampu
pula memberi obatnya harus begini," maka -- menurut orang
kelahiran Desa Pagergunung, Pemalang, Jawa Tengah itu--guru
tinggal melaksanakan hasilnya.
Mungkinkah itu? Kepada TEMPO ia mengatakan dibanding harus
menjadikan 600 ribu guru SD menjadi "dokter", lebih mungkin
menjadikan penilik sekolahnya. Tentu persyaratan lain pun harus
dipenuhi "penilik sekolah harus keluar masuk kelas juga, tak
hanya periksa-periksa sekolah waktu-waktu tertentu saja seperti
sekarang ini."
Yang menarik adalah yang dikatakannya kepada TEMPO di hotel
tempatnya menginap di Bandung--tentang bagaimana memberikan
pengertian kepada orang tu . agar memberikan suasana belajar di
rumah bagi anaknya. "Sebenarnya bisa praktis sekali -- ialah
lewat PKK yang ada di kelurahan-kelurahan itu," katanya penuh
semangat. "Coba, kalau di PKK itu juga diberikan pengertian
tentang pendidikan, kan baik?"
Pra penguji dan penyanggah--antara lain Prof. Dr. Setiaji dari
IKIP Negeri Jakarta, Prof. Dr. Sikun Pribadi dari IKIP Negeri
Bandung, Rektor ITB Prof. Dr. Harjadi Supangkat--agaknya cukup
diyakinkan. Bahkan hasil penelitian yang ternyata mengandung
faktor menyimpang pun tak mengganggu para guru besar itu untuk
memberikan predikat cum laude.
Penyimpangan itu, diterakan dalam disertasi, terdapat di satu
kota yang meskipun orangtua responden banyak menjadi guru atau
dosen, ternyata hasil dan proses belajar responden rendah. Untuk
hal ini Sudijarto cukup menjawab: "Itu memerlukan penelitian
khusus."
Betapapun, anak petani dan pengrajin emas berumur 43 tahun ini
menggugah perhatian bukan hanya ke arah guru. Toh, dengan
berapi-api, di hadapan sekitar 70 hadirin di aula IKIP Bandung
itu, ia berkata: "Apakah ada guru yang tidak bisa tidur karena
muridnya tak mengerti-mengerti juga pelajaran yang
diberikannya?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini