Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Siapa Yang Mempengaruhi Murid ?

Sudijarto, 43, berhasil meraih doktor dari IKIP Bandung dengan thesis faktor yang mempengaruhi kualitas proses belajar dan mutu hasil belajar pelajar kelas terakhir SD, dengan nilai cumlaude.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MURID bengal itu memang kecanduan bakso. Ia sering membolos hanya untuk makan bakso. Tapi rapornya selalu baik, dan ternyata memang menguasai pelajaran sekolahnya. Itu satu contoh. Contoh lain: ada dua keluarga yang memang memperhatikan pendidikan anak-anaknya di rumah. Dan anak-anak mereka kemudian memang sukses di sekolah dan masyarakat. Dua kasus itulah yang mengguggah Sudijarto, staf ahli Menteri P&K, untuk menulis disertasi tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Proses Belajar dan Mutu Hasil Belajar Pelajar Kelas Terakhir SD. Maret dan April 1980, ia mengumpulkan data lewat 1.287 responden -terdiri dari murid-murid SD kelas terkhir di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Mang, Ujungpandang dan Padang. Ditambah 141 guru di delapan kota tersebut. Lewat pengolahan satu setengah tahun, disertasi itu Sabtu yang lalu disidangkan di hadapan penguji dan penyanggahnya di IKIP Negeri Bandung. Pertama-tama yang dikemukakannya adalah cara guru mengajar yang klasikal itu. "Pada dasarnya cara guru mngajar adalah memberikan ceramah di depan lelas," kata sarjana Ilmu Mendidik dari IKIP Universitas Pajajaran, Bandung, 1962 itu. "Dan apakah ceramahnya itu dipahami murid atau tidak, bisa saya katakan tak menjadi soal bagi guru." Hal kedua yang menyangsikan Sudijarto tentang besarnya peranan guru bagi murid, adalah: "Apa artinya tigaempat jam di sekolah, dibanding waktu yang lebih lama anak-anak di rumah?" Dan dari hasil penelitiannya, diketahui: kemampuan orang tua menciptakan suasana belajar di rumah -- ada ruangan belajar, ada kontrol waktu belajar dan ada buku-buku --itulah terutama yang mempengaruhi hasil belajar murid. Evaluasi Terakhir Tentu, Sudijarto tak sepenuhnya bisa mengecek suasana belajar di rumah setiap respondennya. Indikasi itu diperolehnya dengan melihat faktor pendidikan dan pekerjaan orang tua. Makin tinggi persentase orang tua berpendidikan tinggi, dan persentase pekerjaan orang tua yang memungkinkan adanya suasana belajar di rumah .(dosen, guru terutama), makin tinggi pula persentase murid yang berhasil. Surabaya, dalam penelitian ini, menunjukkan hasil dan proses belajar responden terbaik. Sekitar 63% orang tua responden ternyata dosen. Di Padang, yang menduduki nomor dua, orang tua responden 47% dosen. Sudijarto makin yakin, bahwa peranan guru ternyata tidak utama -- bila caranya menilai anak didik tetap seperti sekarang ini. Kecenderungan umum ialah: guru melihat kemampuan muridnya berdasar hasil akhir. Padahal, "selain hal itu tak memberikan gambaran sebenarnya, pun tak menumbuhkan semangat belajar si anak," katanya kepada TEMPO. Inilah yang membuat kebudayaan "hanya belajar kalau mau ujian". Pun sistem sekolah sekarang, yang mencampur semua anak dengan tingkat kecerdasan yang berbeda, sangat merugikan. Bukan bagi anak yang pintar yang mendukung keperluan didirikannya sekolah anak super-cerdas. Tapi, menurut dia, bagi anak yang kurang cepat belajar. "Anak itu akan tertinggal terus, karena sebelum dia paham betul, guru telah maju dengan pelajaran berikut," katanya. Sebenarnya ini agak ironis pula. Guru di sekolah dianggap tak besar pengaruhnya, sementara sebagai orang tua di rumah dianggap menentukan proses dan belajar anaknya sendiri. Sudijarto, yang selama 1975-1981 menjadi Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K, tentu saja tak hanya mengkritik. Yang diusulkannya pertama kali adalah perbaikan cara guru mengajar. Guru sebenarnya cukup "merencanakan, mengawasi dan memberi bimbingan." Dengan kata lain sebagai motivator murid. Ia bandingkan guru dengan jururawat di Puskesmas. "Jadi masalahnya ialah: siapa dokternya?" lanjutnya. Untuk kondisi yang sekarang ia menunjuk, barangkali penilik sekolah yang bisa berperanan sebagai dokter itu. Dengan kualitas yang diperbaiki, yang memungkinkan seorang penilik sekolah mampu "mendiagnosa mengapa seorang murid sukar belajar, kemudian mampu pula memberi obatnya harus begini," maka -- menurut orang kelahiran Desa Pagergunung, Pemalang, Jawa Tengah itu--guru tinggal melaksanakan hasilnya. Mungkinkah itu? Kepada TEMPO ia mengatakan dibanding harus menjadikan 600 ribu guru SD menjadi "dokter", lebih mungkin menjadikan penilik sekolahnya. Tentu persyaratan lain pun harus dipenuhi "penilik sekolah harus keluar masuk kelas juga, tak hanya periksa-periksa sekolah waktu-waktu tertentu saja seperti sekarang ini." Yang menarik adalah yang dikatakannya kepada TEMPO di hotel tempatnya menginap di Bandung--tentang bagaimana memberikan pengertian kepada orang tu . agar memberikan suasana belajar di rumah bagi anaknya. "Sebenarnya bisa praktis sekali -- ialah lewat PKK yang ada di kelurahan-kelurahan itu," katanya penuh semangat. "Coba, kalau di PKK itu juga diberikan pengertian tentang pendidikan, kan baik?" Pra penguji dan penyanggah--antara lain Prof. Dr. Setiaji dari IKIP Negeri Jakarta, Prof. Dr. Sikun Pribadi dari IKIP Negeri Bandung, Rektor ITB Prof. Dr. Harjadi Supangkat--agaknya cukup diyakinkan. Bahkan hasil penelitian yang ternyata mengandung faktor menyimpang pun tak mengganggu para guru besar itu untuk memberikan predikat cum laude. Penyimpangan itu, diterakan dalam disertasi, terdapat di satu kota yang meskipun orangtua responden banyak menjadi guru atau dosen, ternyata hasil dan proses belajar responden rendah. Untuk hal ini Sudijarto cukup menjawab: "Itu memerlukan penelitian khusus." Betapapun, anak petani dan pengrajin emas berumur 43 tahun ini menggugah perhatian bukan hanya ke arah guru. Toh, dengan berapi-api, di hadapan sekitar 70 hadirin di aula IKIP Bandung itu, ia berkata: "Apakah ada guru yang tidak bisa tidur karena muridnya tak mengerti-mengerti juga pelajaran yang diberikannya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus