DESA Pondok Cina, Depok, sekitar 25 km dari Jakarta, Kamis pagi pekan lalu jadi ramai. Ada 19 bis dan 12 mikrobis mondar-mandir Jakarta-Pondok Cina, mengangkut lebih dari 2.000 calon mahasiswa Politeknik Universitas Indonesia. Mereka akan menjalani tes masuk. Dan hanya sekitar 10% yang akan diterima, sesuai dengan daya tampung. Politeknik pertama kali dikenal di sini pada 1976, ketika ITB mendirikan Politeknik Mekanik Swiss, hasil kerja samanya dengan pemerintah Swiss. Ternyata, lulusan Politeknik Mekanik itu sangat terpakai. Enam tahun kemudian didirikanlah enam politeknik di enam universitas. Di USU (Medan), Unsri (Palembang), UI (Jakarta), Undip (Semarang), Unibraw (Malang), dan di ITB sendiri - jadi di Bandung ada dua politeknik. Rata-rata pendidikan ini menerima 200-an mahasiswa baru per tahun. Enam politeknik yang baru tentu saja belum membuktikan kebolehannya. Tapi Politeknik Mekanik Swiss, yang sudah meluluskan sekitar 250 tenaga terampil, dinilai berhasil. "Lulusan Politeknik Mekanik Swiss," kata Sutadi Suparlan, direktur produksi PT Nurtanio, "sebenarnya tak perlu mendapatkan training lagi." Di PT Nurtanio kini bekerja sekitar 30 lulusan Politeknik Mekanik. Tapi yang menarik, dengan bekal pendidikan yang lebih dari 60% praktek dan baru sisanya merupakan pelajaran teori, lulusan Politeknik Mekanik Swiss memang disiapkan untuk kerja tangan dengan keterampilan yang tinggi. Agus Safar dan dan teman-temannya, lulusan Politeknik Mekanik tahun lalu, Juli 1983 mendirikan CV Heksa Prakarsa Teknik. Belum setahun berdiri, sejumlah karya sudah dibuat. Misalnya, menara pengeboran setinggi 9 m. Pernah pula membuat 25 buah klinometer (alat pengukur kemiringan). Yang kini sedang mereka kerjakan, 26 buah lampu sorot untuk lapangan terbang Cengkareng. "Soal teknologi pembuatan barang-barang dari logam telah kami kuasai berkat latihan di politeknik," kata Agus, 23. "Tapi bisnis di lapangan dan pengadaan modal, kami sama sekali buta." Pemuda-pemuda itu terbentur pada pengadaan modal. "Kami butuh mesin bubut khusus yang harganya Rp 40 juta," tambah Agus. Tapi pendidikan tanpa gelar ini tak murah. "Biaya operasional per mahasiswa tiap tahunnya sekitar Rp 750.000," kata Hadiwaratama, direktur Politeknik Mekanik Swiss itu. "Dan itu belum termasuk investasi gedung dan peralatan praktek yang pada tahun 1976 seharga Rp 1,2 milyar," tambahnya. Maka, sebenarnya, enam politeknik yang baru tidak sepenuhnya mencontoh proyek percontohan itu. Tidak hanya soal jurusannya yang berbeda. Yang lama, terbagi menjadi Jurusan Perancangan, Pembuatan, dan Pemeliharaan. Yang baru, Jurusan Mesin, Elektronika, dan Sipil. Kurikulumnya pun, bagi enam politeknik yang baru 1982 menerima mahasiswa, hanya mencantumkan 45% praktek. "Ongkos operasional per mahasiswa politeknik yang baru hanya sekitar Rp 500.000," tambah Hadiwaratama. Sementara itu, ongkos kuliah tiga tahun di semua politeknik hampir sama. Yakni, sekitar Rp 180.000 tahun pertama, dan Rp 100.000 tahun-tahun berikutnya. Tapi Tumbelaka, pelaksana harian Rektor UI, yang ikut mengawasi tes masuk Politeknik UI pekan lalu, optimistis. Direncanakan tahun depan akan ada evaluasi dari pihak Swiss - yang membantu tenaga dosen untuk ketujuh politeknik itu. Dan sedang dirintis poli-poli yang lain. Misalnya, Unpad, Bandung kini merencanakan politeknik pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini