Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTAMU ke Istana Presiden Senin pekan lalu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin memulai dengan sedikit basa-basi. Politikus Golkar ini tak langsung menjelaskan tujuan kedatangannya kepada Presiden Joko Widodo. Dia membuka pertemuan dengan memaparkan target legislasi lembaga pada 2016. Ia menyebut 40 rancangan undang-undang bakal diselesaikan Senayan tahun ini.
Baru kemudian, Ade yang didampingi empat pemimpin DPR lain serta pimpinan fraksi, Badan Legislasi, dan Komisi Hukum mulai masuk ke pokok perkara yang dibawanya dari Senayan. Kepada Presiden, Ade menyatakan salah satu yang masuk target adalah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. "Ini masalah strategis. Kami ingin dengar sikap Bapak Presiden," kata Ade seperti ditirukan Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana, yang ikut pertemuan, Senin pekan lalu.
Pertemuan di Istana tak lepas dari rencana DPR mengesahkan pembahasan revisi Undang-Undang KPK lewat rapat paripurna keesokan harinya. Awalnya pengesahan diagendakan Kamis dua pekan lalu. Tapi rapat paripurna saat itu batal. Di sisi lain, rencana revisi ditolak pegiat antikorupsi dan pimpinan KPK karena berpotensi melemahkan lembaga tersebut. Ada empat poin revisi yang menjadi sorotan, yakni tentang penyadapan, dewan pengawas, perekrutan penyidik, dan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Dalam pertemuan itu, Jokowi memutuskan menunda pembahasan revisi usulan Senayan. Alasannya respons publik cenderung negatif. "Perlu ada waktu yang cukup untuk mematangkan rencana revisi dan sosialisasi kepada masyarakat," ujar Jokowi.
Keputusan ini ditanggapi beragam dalam pertemuan dua jam itu. Sejumlah pemimpin fraksi dan alat kelengkapan Dewan menyatakan mendukung. Tapi beberapa di antaranya mempersoalkan nasib revisi Undang-Undang KPK dalam Program Legislasi Nasional 2016. Salah satu yang bersuara adalah Ketua Komisi Hukum Bambang Soesatyo. "Jadi dikeluarkan dari Prolegnas atau ditunda selamanya?" kata Bambang. Namun Jokowi tak merespons.
Presiden juga tak memberikan tanggapan ketika Ade Komarudin tampil di pengujung pertemuan. Saat itu Ade berpidato mendukung keputusan Presiden. Tapi ia juga menyatakan revisi tetap masuk Program Legislasi 2016. "Itu kesimpulan yang disampaikan ketua," ucap Dadang Rusdiana.
Langkah Jokowi menunda revisi Undang-Undang KPK berhulu sepekan sebelumnya. Setelah tiba dari kunjungan kerja ke Amerika Serikat, Jumat dua pekan lalu, Jokowi beberapa kali berdiskusi dengan kalangan internal Istana. Di situ ia sudah berencana menolak revisi jika draf dari DPR justru memperlemah KPK, bukan sebaliknya. "Kalau isinya nanti memperlemah, Presiden akan menarik diri dari pembahasan," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo.
Lewat diskusi itu pula Jokowi memandang empat poin revisi bisa memperkuat KPK jika diberi catatan tertentu. Poin tentang penyadapan, misalnya, dilakukan KPK tanpa perlu izin pengadilan, tapi lewat tata cara tertentu dan perlu ada audit. Sedangkan dewan pengawas hanya untuk mengontrol etika. Adapun KPK juga bisa memiliki penyidik di luar dari kejaksaan dan kepolisian. Terakhir, SP3 bisa diterbitkan dengan syarat tersangka meninggal atau sakit dan tak bisa dibawa ke pengadilan.
Selain itu, Jokowi meminta masukan pimpinan KPK. Dalam pertemuan itu, pimpinan KPK menyatakan menolak revisi. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan lembaganya setuju revisi jika indeks persepsi korupsi Indonesia membaik. "Revisi harus menunggu indeks kita di angka 50," ujarnya.
Berdasarkan data Transparency International, indeks korupsi Indonesia pada 2015 ada di angka 36 dari total nilai 100. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-88 negara bebas korupsi, meningkat dari tahun sebelumnya di posisi ke-107. Pendapat KPK ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan Jokowi dalam memutuskan penundaan revisi saat bertemu dengan pimpinan DPR. "Sikap Presiden sudah jelas, menolak membahas revisi Undang-Undang KPK saat ini," kata Johan Budi.
Sikap tegas Jokowi tak diikuti sejumlah pembantunya. Salah satunya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Politikus senior Partai Golkar itu tetap ingin revisi Undang-Undang KPK bergulir di Senayan. Bahkan, beberapa menit sebelum mendampingi Jokowi bertemu dengan DPR, Luhut masih optimistis revisi bisa berjalan.
Saat berada di ruang tunggu Istana, Luhut sempat berbincang dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, yang juga ikut mendampingi Presiden bertemu dengan DPR. Saat itu Luhut menyinggung rencana revisi Undang-Undang KPK. Menurut seseorang yang mengetahui percakapan itu, Luhut mengatakan semua pihak yang kontra sudah ia temui dan memahami rencana revisi. "Sudah tak ada masalah. Kita jalan saja ke depan," ujarnya menirukan Luhut. Seusai pertemuan, Luhut pun berkukuh revisi Undang-Undang KPK bakal selesai tahun ini.
Luhut juga bergerak di luar koordinasi. Jumat dua pekan lalu, ia mengklaim Jokowi sudah meneken surat presiden tentang revisi Undang-Undang KPK. "Sudah Presiden sampaikan. Surat sudah dikirim ke DPR," ucapnya. Kala itu Luhut berharap pembahasan revisi bisa selesai pada Maret mendatang. Klaim Luhut dibantah Johan Budi. Menurut Johan, surat hanya bisa keluar jika draf dari DPR sudah diterima Presiden. Sedangkan saat itu draf dari Senayan belum ada lantaran jadwal paripurna—yang bisa mengesahkan draf—pada Kamis dua pekan lalu ditunda.
Upaya menggulirkan revisi sudah lama dilakukan Luhut. Pada akhir Oktober 2015, misalnya, Luhut menggelar rapat dengan pimpinan fraksi di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, untuk membahas kelanjutan revisi Undang-Undang KPK. Padahal, pada 13 Oktober 2015, rapat konsultasi antara Presiden Jokowi dan pimpinan DPR menyepakati pembahasan revisi ditunda hingga masa sidang 2016. "Luhut memang paling ngotot," kata seorang pejabat pemerintah.
Bukan cuma Luhut yang berbeda sikap. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga ditengarai punya kepentingan atas kelanjutan pembahasan revisi Undang-Undang KPK. Sikap Pramono berkaitan dengan gerak-gerik partainya, PDI Perjuangan, yang menjadi motor revisi di Senayan. "Kondisi seperti ini membuat Presiden sering mendapatkan informasi yang distorsi," ujar sumber di pemerintahan.
Revisi mengebiri kewenangan komisi antikorupsi memang bermula dari gerilya PDI Perjuangan. Pada Juni 2015, rencana revisi diajukan pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, yang juga kader partai banteng. Wacana revisi sempat mengalami tarik-menarik antara DPR dan pemerintah. Apalagi ketika Partai Golkar mengusulkan rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Lobi kedua lembaga kemudian membuahkan kesepakatan baru. Pemerintah mengambil alih RUU Pengampunan Pajak. Sebaliknya, revisi Undang-Undang KPK diambil alih sejumlah fraksi pendukung pemerintah plus Fraksi Golkar. Kemudian jangkar lobi mengegolkan revisi Undang-Undang KPK berada di tangan Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Golkar.
Luhut membantah tudingan paling ngotot merevisi Undang-Undang KPK. "Kalau saya ngotot, cerita salahnya di mana?" ucapnya. Ia mengatakan empat poin revisi justru bakal memperkuat KPK. "SP3 yang mengeluarkan komisioner, penyadapan dan penyidik independen juga keputusan dari dalam, dewan pengawas untuk post-audit. Jadi kurangnya di mana?"
Pramono Anung menyangkal membawa kepentingan partai terkait dengan rencana pembahasan revisi Undang-Undang KPK. "Sebagai pembantu Presiden, saya pasti mendukung apa pun keputusannya," katanya.
Prihandoko, Ananda Teresia, Tika Primandari, Diko Oktara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo