Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN ekstra-cepat permohonan peninjauan kembali perkara cerai selebritas Venna Melinda mengejutkan Petrus Bala Pattyona. Pengacara Ivan Fadilla, mantan suami Venna, itu menilai turunnya putusan dalam waktu 71 hari tidak lazim dan mencengangkan. "Biasanya putusan PK baru keluar paling cepat dua tahun, bahkan lebih," kata Petrus, Selasa pekan lalu.
Petrus mengatakan kasus perceraian Venna dengan Ivan sebenarnya telah diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada Maret dua tahun lalu. Putusan cerai itu berkekuatan hukum tetap. Majelis hakim menetapkan aset berupa rumah dan sejumlah mobil sebagai harta gana-gini atau harta bersama. Selain itu, hak pengasuhan anak diberikan kepada Venna dan Ivan.
Menurut Petrus, ketika rumah dan sejumlah mobil tersebut akan dilelang, Venna mengajukan gugatan peninjauan kembali atas putusan pengadilan agama itu. Permohonan peninjauan kembali dikirimkan Venna ke Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9-13, Jakarta Pusat, kantor Mahkamah Agung, pada 17 April 2015, dan diputus pada 30 Juni 2015. "Venna ingin menguasai semua harta itu," ujar Petrus. Tak mau menerima putusan itu, Ivan berupaya mengajukan gugatan atas harta bersama yang kepemilikannya diakui Venna. "Kami mengajukan gugatan agar rumah yang jadi harta gana-gini itu dibagi dua," kata Petrus.
Bagi Petrus, proses ekstra-cepat terbitnya putusan itu semakin meyakinkannya bahwa berurusan di Mahkamah ibarat masuk lorong gelap. Saking gelapnya, siapa pun tidak bisa tahu bagaimana kondisi dan di mana ujungnya. Di MA, orang tak bisa meraba-raba ke mana arah perkara. Semua meja dan semua tahap bersifat koruptif. "Semua hal bisa 'diperdagangkan', bahkan sekadar jualan nomor register perkara," ujarnya.
Petrus tak menuduh ada mafia dan uang yang bekerja sehingga Mahkamah memutus secepat kilat kasus Venna. Menurut dia, jika tidak ada operasi tangkap tangan seperti yang telah terjadi beberapa kali, sulit mengungkap bukti materiil permainan uang di MA. Tapi, kata dia, bau tak sedap adanya mafia pengadilan terasa amat kuat di lembaga itu. Petrus pun menduga posisi Venna sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat juga berperan. "Saya duga dia setidaknya menggunakan pengaruhnya," ujar Petrus.
Menanggapi tudingan itu, Venna menyebutkan, "Silakan tanya ke pengacara saya." Pengacaranya, Reza Mahastra, mengatakan Venna melakukan upaya hukum di Mahkamah layaknya masyarakat umum biasa yang mencari keadilan. Menurut Reza, cepatnya MA memutus perkara itu bukan urusan Venna. Tentang tudingan Venna menggunakan pengaruhnya sebagai anggota DPR, Reza mempersilakan Petrus membuktikannya. "Jika tidak bisa dibuktikan, dapat dianggap sebagai fitnah," kata Reza.
Seorang pengacara asal Surabaya yang kerap beperkara di Mahkamah Agung menyebutkan putusan peninjauan kembali sangat muskil terbit dalam jangka kurang dari tiga bulan. Menurut dia, antre perkara dan mendapatkan nomor register perkara saja bisa berbulan-bulan, bahkan tahunan jika tidak "diurus", yang artinya mengawal hal itu dengan melibatkan orang dalam di Mahkamah. Pengacara itu memastikan, jika kurang dari tiga bulan sudah keluar putusan, pasti ada yang "mengurus", yang bekerja mirip mafia. "Itu pasti besar ongkosnya," kata sang pengacara.
Kisah pengacara yang berkantor di Yogyakarta menguatkan hal itu. Ia menyatakan beberapa kali mengurus perkara di Mahkamah. Ketika ia baru tiba di MA, selalu ada orang yang menawarkan jasa mengurus. Orang itu, kata dia, anggota mafia hukum yang melibatkan orang internal MA atau orang suruhannya. Suatu saat, ketika mengurus perkara perdata, ia langsung disambut seseorang dengan mengatakan, "Kalau mau cepat, lewat sini saja."
Orang itu menyebutkan, kalau ingin cepat, mengurus perkara di Mahkamah tidak bisa dengan cara lurus-lurus saja. Jika bagian administrasi MA tidak jalan, orang tidak pernah tahu kapan perkara akan selesai. Pengacara itu juga mendapat penjelasan bahwa di MA pembuktian tidak penting. "Yang penting punya orang dalam." Orang yang menawarkan itu meninggalkan nomor telepon seluler dan mewanti-wanti, jika ingin menemuinya, jangan di dalam gedung MA.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Aradila Caesar, mengatakan setidaknya ada 30 hakim dan 6 pegawai Mahkamah Agung yang menjadi makelar kasus. Aradila mengatakan kebanyakan broker perkara di Mahkamah menggunakan modus suap atau pemerasan untuk jual-beli perkara.
Dia mengatakan, di kalangan hakim, ada yang mereka siapkan menjadi broker perkara sejak seleksi. Seorang hakim dibantu lolos seleksi asalkan mau meringankan perkara yang dititipkan. Mafia ini telah berjalan lama dan mengakar. "Ada kecenderungan dibiarkan," ujarnya. "Kalau ada broker perkara tertangkap, itu akibat sial saja."
Mahkamah Agung membantah tudingan itu. Juru bicara Mahkamah, Suhadi, mengatakan pengawasan internal MA berjalan dengan ketat. Menurut dia, pengawasan kepada hakim, panitera, dan pegawai tidak dibedakan. Suhadi menyebutkan MA punya sekitar 40 hakim pengawas khusus untuk mengawasi kinerja hakim. Menurut Suhadi, 40 hakim pengawas tersebut bisa disebar ke berbagai daerah untuk bekerja. "Ketua MA juga rajin datang ke daerah untuk sosialisasi pengawasan," ujarnya.
Menurut Suhadi, pegawai Mahkamah dilarang keras bertemu dengan pihak luar di kantor. Tentu, kata dia, jika mereka bertemu di luar kantor dan berkomunikasi dengan pihak luar, lembaga MA tak bisa mengawasi. "Tak sedikit kok hakim yang kami sidang di Majelis Kehormatan Hakim," ujarnya.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan, jika terjadi suap di lembaganya, itu lebih karena faktor individu. Menurut dia, pegawai MA juga manusia biasa yang bisa tergiur mencari celah demi keuntungan pribadi. "Namun kami tak akan patah semangat untuk mewujudkan peradilan yang agung," katanya.
Sunudyantoro, Indra Wijaya, Istman M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo