Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Difabel

The Last of Us Part II, Game dengan 60 Fitur Terakses Disabilitas

Aksesibilitas dalam pengoperasian The Last of Us Part II mencakup pengendali bantuan visual, tuntunan suara, sampai pertarungan yang dapat dialihkan.

10 Juni 2020 | 10.00 WIB

Kota Seattle menjadi salah satu lokasi konflik di game The Last of Us Part II
Perbesar
Kota Seattle menjadi salah satu lokasi konflik di game The Last of Us Part II

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Penggemar game console Sony Play Station 4 tentu tidak akan melewatkan peluncuran The Last of Us Part II pada 19 Juni 2020. Game produksi Naughty Dog ini dilempar ke arena pertarungan para gamers sebelum Sony memproduksi Play Station 5 akhir tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kali ini Tempo tidak akan mempreteli fitur unggulan The Last of Us Part II satu per satu. Para pecinta game punya opini yang jauh lebih mumpuni mengenai fitur permainan misi penemuan Nora tersebut. Meski begitu, satu komponen yang cukup menarik dikuliti adalah pilihan 60 aksesibilitas bagi penggunanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Aksesibilitas atau sarana yang digunakan dalam pengoperasian The Last of Us Part II mencakup segalanya, mulai dari pengendali bantuan visual, tuntunan suara dalam menavigasi tantangan, serta pertarungan yang dapat dialihkan ke ponsel dalam pengoperasian game," kata Emilia Schatz, desainer aksesibilitas Naughty Dog seperti yang dikutip dari The Verge, Senin 8 Juni 2020.

Ketersediaan 60 fitur aksesibilitas dalam The Last of Us Part II bukan saja menahbiskan game ini sebagai proyek ambisius, juga menempatkan pertarungan pada satu panggung yang sama antara pemain disabilitas dengan pemain non-disabilitas.

Ellie mampu menyelinap di The Last of Us Part II untuk berada di posisi yang lebih unggul dibanding musuh

Contohnya, para pemain tak hanya dapat menavigasi permainan melalui tuntunan suara atau magnifier dalam mengidentifikasi objek. Naughty Dog juga membekali gamers dengan kontras warna beresolusi tinggi bagi mereka yang low vision. Kendati demikian, aksesibilitas bukan alat yang mempermudah gamers mencapai target kemenangan sebelum misi diselesaikan.

"Aksesibilitas adalah sarana mengakses game agar dapat dioperasikan secara bersama-sama," kata Schatz. Dia mengatakan, beberapa warna justru digunakan untuk mengecoh pemain yang memiliki buta warna.

Elemen aksesibilitas lain dalam permainan ini adalah text to speech atau fitur yang mampu mengubah pesan tulis menjadi suara atau sebaliknya. Langkah ini bisa digunakan saat berusaha mencapai target.

Akses tersebut tersedia dalam menu pilihan game maupun pilihan strategi yang digunakan oleh karakter jagoan Ellie dalam menjalankan misinya.

Sama halnya dengan beberapa game console versi tunanetra, dalam The Last of Us Part II, sound assistance kerap menjadi primadona aksesibilitas. Sebut saja, Blind Legend, game console berupa misi penyelamatan keluarga oleh seorang ayah tunanetra melalui tuntunan suara anaknya ini bahkan hanya menggunakan sound assistance dalam pengoperasiannya. Game ini tidak bergrafik sama sekali alias gelap.

Game Blind Legend. Foto: Google Play

"Karena grafik akhirnya jadi tidak penting, karena tidak memberikan sensasi sama sekali bagi pemain tunanetra," kata Irvano Thaha, gamer tunanetra, ketika dihubungi Tempo, Jumat 5 Juni 2020.

Sebelum kehilangan kemampuan melihat, Irvano Thaha adalah pecinta game Xbox Nitendo. Menurut dia, aksesibilitas game yang dapat menyentuh adrenalin tunanetra adalah getaran pada tuas permainan dan suara yang lebih detail.

"Kalau dulu main GTA 5, ada kaca retak itu kan senang melihatnya karena begitu detail. Tapi sekarang hal-hal yang seperti itu sudah tidak dapat dirasakan lagi," ujar Irvano.

Kembali ke proses penciptaan aksesibilitas dalam The Last of Us Part II, desainer game lainnya dari Naughty Dog, Matthew Galant memaparkan, butuh waktu lebih dari tiga tahun dalam melakukan riset dan korespondensi antara pengguna dan tim pengembangan. Dalam proses tersebut, Naughty Dog melibatkan advokat aksesibilitas Brandon Cole dalam setiap pengujian terfokusnya.

Pertarungan antara Ellie dan WLF di The Last of Us Part II

"Banyak terjadi debat, salah satunya ketika tim kami mengajukan pengembangan akses bagi pemain tunarungu," kata Galant. Tim pengembang game ingin tunarungu dapat merasakan sensasi permainan tanpa perlu pusing bolak balik ke menu pilihan untuk mendukung akses mereka saat bermain game. Konsekuensinya, tim harus membongkar pasang desain agar terakses bagi pemain tunarungu.

Aksesibilitas terakhir yang tak kalah penting adalah fitur penyelaras warna atau tone yang bisa digunakan untuk pemain low vision. Akses penyelaras warna ini membantu gamers low vision mengidentifikasi objek tanpa harus mendekat ke layar.

Ada pula keterangan berupa tulisan kontras yang dapat diperbesar serta diperkecil hanya dengan menyentuh fitur magnifier. "Kami ingin The Last of Us Part II dapat mengakomodasi pengguna dengan latar belakang yang lebih beragam, tentu bukan sesuatu hal yang mudah dan masih banyak yang perlu dikembangkan," kata Galant.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus