BERITA mengejutkan beruntun datang dari Sulawesi Tengah.
Mula-mula 40 transmigran asal Bali meninggal terserang malaria
di Sulawesi Tengah. Sepuluh hari kemudian jumlah korban
meningkat dua kali. Hingga Oka Mahendra, anggota DPR dari daerah
pemilihan Bali, minggu lalu merasa perlu menyurati Menmud
Transmigrasi Martono menanyakan musibah tersebut.
Dan akhir pekan lalu, Martono yang tengah meninjau beberapa
lokasi transmigrasi di Sul-Teng mengungkapkan jumlah korban yahg
sebenarnya, yaitu 113 orang. Tapi, katanya, tidak semuanya
karena malaria. Menurut Dirjen Transmigrasi Kadrusno, yang
meninggal karena malaria 85 orang, sedang 28 lainnya karena pen
yakit lain.
Para korban tersebut baru beberapa minggu tiba dari Karangasem,
Bali. Mereka termasuk rombongan yang berangkat pertengahan
Maret, terdiri 50 kk. Sebagian tinggal di proyek transmigrasi
Sausu Tambarana, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupatn Donggala
lainnya di Toili, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.
Menurut pemeriksaan medis, limpa para korban membengkak sampai
2,5. "Ini berarti penderita sudah lama mengidap malaria," kata
dr. Pintor Simorangkir dari RS Undata, Palu. Limpa itulah memang
yang pertama-tama diserang oleh bibit malaria yang kronis.
"Setelah itu menyerang butir darah merah," tambah Pintor.
Dengan begitu, menurut para pejabat kesehatan di Sul-Teng,
penyakit tersebut sudah dibawa sejak dari daerah asal. Wakil
kepala Kanwil Transmigrasi Sul-Teng, Demas, membuktikan hal itu
dengan menunjuk pada puluhan kepala keluarga transmigran asal
DKI, Yogya, Ja-Tim, juga Bali yang sudah tiba lebih dulu di
kedua lokasi tersebut -- begitu pula yang di lokasi lain
sehat-sehat saja.
Sebuah tim gabungan dari pusat dan daerah (Bali dan Sul-Teng)
sudah turun ke Sausu dan Toili. Selama 5 hari tim memeriksa dan
mengobati para transmigran secara massal, termasuk 100
transmigran yang dirawat di poliklinik setempat .
Akhirnya tim menyimpulkan ada lima faktor penyebab musibah
tersebut. Yaitu kurangnya perhatian dalam pengamanan kesehatan
sejak dari daerah asal terlambatnya penyemprotan rumah
transmigran di daerah tujuan kurangnya usaha penanggulangan
wabah sedini mungkin kurangnya persediaan kelambu dan
terlambatnya laporan dari daerah musibah.
Kesimpulan itu nampaknya dibuat senetral mungkin. Sebab
sebelumnya terkesan adanya saling menyalahkan antara para
petugas kesehatan Sul-Teng dan Bali. Ka-Kanwil Departemen
Kesehatan Sul-Teng, dr. Udin Muslaini, misalnya, berkata:
musibah itu tak perlu terjadi andai jadwal kedatangan
transmigran diketahui pihak Kanwil. "Apalagi bila pemeriksaan
kesehatan dilakukan secara teliti," tambahnya.
Tapi menurut dokter Kabupaten Karangasem, Tjokorde Gde Ardjana,
pemeriksaan secara teliti termasuk pemeriksaan laboratorium
tidak mungkin dilakukan terhadap ratusan transmigran hanya
dalam waktu 4 sampai 5 hari yaitu saat mereka dikarantina
sebelum berangkat. "Tapi transmigran yang berangkat itu umumnya
sehat," tambah Tjokorde.
Tuduhan yang dilontarkan Ka-Kanwil Transmigrasi Bali, drs. K.
Berlin lebih serius. Dia menilai Pemda Sul-Teng mengabaikan
pelayanan kesehatan para transmigran. Menurut laporan yang
diterimanya dari utusan transmigran yang kembali ke Bali, di
proyek transmigrasi tidak tersedia obat-obatan. Made Wirti,
misalnya, salah seorang transmigran yang pulang dan kini dirawat
di RSU Amlapura Karangasem, mengalami kesulitan di Toili.
"Sebelum berangkat saya membeli 150 biji pil kina. Tapi setelah
habis saya tak mendapat obat," tuturnya kepada Antara.
Bahwa Sul-Teng merupakan daerah malaria endemik, diakui oleh dr.
Udin Muslaini. Bahkan menurut dr. Akib Kamaludin dari Ditjen P3M
(Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular) Di Toili
ditemukan jenis nyamuk baru anopbeles minimus flavirostris,
sedang di Sausu ada anopheles barbirostris, yaitu dua dari 57
jenis nyamuk ganas di duma.
Selain penyakit malaria, ada keluhan lain dari transmigran yang
bermukim di Sausu dan Toili. Antara lain sarana perhubungan yang
sangat sulit. Banyak sungai di sana tanpa jembatan. Kalaupun
ada, hanya berupa jembatan darurat bikinan penduduk yang mudah
putus di musim banjir. Begitu pula jalanjalan yang ada, selain
naik-turun perbukitan, juga licin di musim hujan.
Selain tikus dan walang sangit di daerah ini dikenal pula hama
tanaman berupa rusa, babi hutan dan sejenis monyet tanpa ekor
yang di sana disebut yakis. Obat pembasmi hama? Di sana barang
semacam itu hampir tak dikenal orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini