Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Air, Dari Desa Ke Pesantren

Penduduk desa kepuharjo (sleman) berhasil menyalurkan air lewat saluran bambu. bersama desa lain dan beberapa pesantren mendapat penghargaan dari presiden pada hari lingkungan.

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI-HARI mereka hanya makan singkong dan jagung. Mandi pun tak pernah. Bahkan air buat minum pun sulit. Dulu, untuk memperoleh air setetes dua, tak jaran harus diperas dari batang pisang. Atau terebut air dari sebuah sumber kecil yang jauh dari desa. Desa Kepuhago, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman (Yogyakarta) ini pun sebenarnya sudah dinyatakan sebagai "kawasan berbahaya" karena sewaktu-waktu dapat disapu letusan Gunung Merapi. Tapi 508 kk penduduknya enggan bertransmigrasi, karena "selama ini kami tidak mengalami apa-apa," kata Setyo Sukirno, sekretaris desa. Tapi diakui juga, selama ini hampir seperdua waktu kerja warga desa hahis untuk mengurus air untuk keperluan sehari-hari. Karena itu penduduk bekerja keras. Dipimpin Lurah Ngadmo Wagito, selama hampir setahun mereka berusaha menyalurkan air dari sumbernya di Bebeng 2 jam berjalan kaki dari desa. Naik turun bukit dan lembah, mereka membabat hutan lebat di lereng Merapi itu. Akhir 1973, air berhasil masuk desa lewat saluran bambu. Hal itu juga berkat bimbingan Dian Desa Yogyakarta, sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan, serta sejumlah mahasiswa UGM. Delapan dukuh di desa yang luasnya 700 ha itu kini sudah memiliki 16 bak penampung air. Batang-batang bambu pun sudah diganti dengan pipa plastik bantuan bupati Sleman, Suyoto Projosuyoto. Untuk scmua itu Desa Kepuharjo dan lembaga Dian Desa mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto masing-masing berupa piagam dan uang Rp 2,5 juta disampaikan di Bina Graha pada hari lingkungan sedunia 5 Juni, yang tahun ini bertema "pelestarian air sebagai sumber kehidupan". Desa lain yang juga mendapat penghargaan serupa ialah Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Magelang (Ja-Teng). Selain itu juga Kabupaten Sikka di Flores (NTT). Sedang di Ja-Bar ada dua pesantren yang juga mendapat penghargaan karena memelopori pelestarian air di desanya. Tanah Tandus Yaitu Pesantren Suryalaya di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung dan Pesantren Cipasung di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna -- keduanya di Tasikmalaya. Adapun lembaga sosial, di samping Dian Desa, yang juga mendapat penghargaan karena berjasa membimbing masyarakat melestarikan sumber air ialah Badan Sosial Maumere di Flores (NTT) dan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Kesulitan air juga dialami penduduk Desa Wonolelo, sekitar 30 km dari Boyolali. Lewat bukit terjal dan jalan berkelak-kelok, desa ini terpencil. Tanahnya yang rata-rata miring di lereng Gunung Merbabu itu tandus, tak bisa ditumbuhi padi. Seperti halnya di Kepuharjo, makanan pokok 4.000 jiwa penduduk Wonolelo juga jagung dan singkong. Untuk mengatasi kesulitan air, Siswo Nuryanto, pemuda tamatan SMP swasta yang berusia 21 tahun dan terpilih sebagai kepala desa pada 1972 mengajak penduduk mencari sumber air. Dari tahun ke tahun pencarian dilakukan. .Akhirnya didapat 8 tuk (mata air). Karena sumber-sumber air itu rata-rata 4-5 km dari desa, Ihna tahun lalu Lurah Nuryanto mengadakan rembuk desa. Dalam musyawarah itu diputuskan untuk mengalirkan air ke desa lewat saluran bambu yang dipasang di bawah tanah. Dan berhasil. Usaha menyalurkan air, sudah sejak tahun 30-an dikenal di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya. Yaitu ketika K.H. Abdullah Mubarok mendirikan Pesantren Suryalaya. Bersumber dari dua mata air di bukit Cakrabuana, air mengalir lewat saluran bambu sepanjang 5,5 km. Dan kini batang-batang bambu tersebut sudah diganti dengan pipa besi ukuran 6 inci bantuan Departemen Kesehatan. "Air memang masalah pokok dalam mendirikan pesantren," kata Zainal Abidin Anwar, ketua pelaksana harian Pesantren Suryalaya. Tapi air bersih yang melimpah itu ternyata tidak hanya berguna untuk bersembahyang, juga untuk keperluan penduduk desa sehari-hari: mandi, mencuci, minum. Kecuali itu sejak tahun 1901 pesantren ini juga memelopori pembangunan bendungan untuk menyalurkan air Sungai Citanduy. Santri Kudisan Mula-mula mampu mengairi sawah 25 ha, setelah diperbaiki dengan bantuan pemerintah Australia pada 1975, bendungan itu kini mampu menjangkau 50 ha sawah dan kolam. Yang menarik ialah, hampir tak ada lahan kosong di kompleks pesantren yang 19 ha itu. Kawasan itu ditelan tanaman cengkih melulu. Lantaran usaha penghijauan lingkungan dengan tanaman produktif inilah, Pesantren Suryalaya mendapat penghargaan Presiden. Bagi Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, (juga masih di Kabupaten Tasikmalaya) penghijauan bukanlah masalah. Sejak dulu kawasan seluas 202 ha ini rimbun dengan tanaman yang menghijau. Yang jadi soal bagi 10.709 jiwa penduduknya ialah kebersihan air. Untuk keperluan sehari-hari sejak lama mereka menggunakan air dari saluran irigasi sekunder Cikunten setelah bercampur dengan air sawah yang mengandung pestisida dan fosfor. "Tak heran kalau dulu sebagian besar warga desa kejangkitan penyakit kulit, penyakit mata dan perut," ujar K.H. Ilyas Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung di Desa Cipakat. Banyak pula di antara 2.000 santri di Pesantren Cipasung yang mendapat julukan "santri kudisan" karena mereka juga mandi dan mengambil air sembahyang dengan air kotor tersebut. Air itu dialirkan secara berantai ke kolam yang lebih rendah tanpa disaring dengan baik. Awal tahun lalu, seorang santri senior selesai mengikuti program latihan pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh LP3ES. Ia lantas berembuk dengan para sesepuh mengenai penggunaan air. Akhirnya bersama lembaga itu pihak pesantren mengajak penduduk membangun instalasi penjernihan air dengan saringan pasir lambat. Selesai 4 bulan sejak Mei 1979, instalasi tersebut mampu menyediakan air bersih 150-160 liter sehari semalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus