SEHARI-HARI mereka hanya makan singkong dan jagung. Mandi pun
tak pernah. Bahkan air buat minum pun sulit. Dulu, untuk
memperoleh air setetes dua, tak jaran harus diperas dari batang
pisang. Atau terebut air dari sebuah sumber kecil yang jauh
dari desa.
Desa Kepuhago, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman
(Yogyakarta) ini pun sebenarnya sudah dinyatakan sebagai
"kawasan berbahaya" karena sewaktu-waktu dapat disapu letusan
Gunung Merapi. Tapi 508 kk penduduknya enggan bertransmigrasi,
karena "selama ini kami tidak mengalami apa-apa," kata Setyo
Sukirno, sekretaris desa. Tapi diakui juga, selama ini hampir
seperdua waktu kerja warga desa hahis untuk mengurus air untuk
keperluan sehari-hari.
Karena itu penduduk bekerja keras. Dipimpin Lurah Ngadmo Wagito,
selama hampir setahun mereka berusaha menyalurkan air dari
sumbernya di Bebeng 2 jam berjalan kaki dari desa. Naik turun
bukit dan lembah, mereka membabat hutan lebat di lereng Merapi
itu. Akhir 1973, air berhasil masuk desa lewat saluran bambu.
Hal itu juga berkat bimbingan Dian Desa Yogyakarta, sebuah
lembaga sosial yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan,
serta sejumlah mahasiswa UGM.
Delapan dukuh di desa yang luasnya 700 ha itu kini sudah
memiliki 16 bak penampung air. Batang-batang bambu pun sudah
diganti dengan pipa plastik bantuan bupati Sleman, Suyoto
Projosuyoto. Untuk scmua itu Desa Kepuharjo dan lembaga Dian
Desa mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto masing-masing
berupa piagam dan uang Rp 2,5 juta disampaikan di Bina Graha
pada hari lingkungan sedunia 5 Juni, yang tahun ini bertema
"pelestarian air sebagai sumber kehidupan".
Desa lain yang juga mendapat penghargaan serupa ialah Wonolelo,
Kecamatan Sawangan, Magelang (Ja-Teng). Selain itu juga
Kabupaten Sikka di Flores (NTT). Sedang di Ja-Bar ada dua
pesantren yang juga mendapat penghargaan karena memelopori
pelestarian air di desanya.
Tanah Tandus
Yaitu Pesantren Suryalaya di Desa Tanjungkerta, Kecamatan
Pagerageung dan Pesantren Cipasung di Desa Cipakat, Kecamatan
Singaparna -- keduanya di Tasikmalaya. Adapun lembaga sosial, di
samping Dian Desa, yang juga mendapat penghargaan karena berjasa
membimbing masyarakat melestarikan sumber air ialah Badan Sosial
Maumere di Flores (NTT) dan Lembaga Penelitian Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta.
Kesulitan air juga dialami penduduk Desa Wonolelo, sekitar 30 km
dari Boyolali. Lewat bukit terjal dan jalan berkelak-kelok, desa
ini terpencil. Tanahnya yang rata-rata miring di lereng Gunung
Merbabu itu tandus, tak bisa ditumbuhi padi. Seperti halnya di
Kepuharjo, makanan pokok 4.000 jiwa penduduk Wonolelo juga
jagung dan singkong.
Untuk mengatasi kesulitan air, Siswo Nuryanto, pemuda tamatan
SMP swasta yang berusia 21 tahun dan terpilih sebagai kepala
desa pada 1972 mengajak penduduk mencari sumber air. Dari tahun
ke tahun pencarian dilakukan. .Akhirnya didapat 8 tuk (mata
air).
Karena sumber-sumber air itu rata-rata 4-5 km dari desa, Ihna
tahun lalu Lurah Nuryanto mengadakan rembuk desa. Dalam
musyawarah itu diputuskan untuk mengalirkan air ke desa lewat
saluran bambu yang dipasang di bawah tanah. Dan berhasil.
Usaha menyalurkan air, sudah sejak tahun 30-an dikenal di Desa
Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya. Yaitu ketika
K.H. Abdullah Mubarok mendirikan Pesantren Suryalaya. Bersumber
dari dua mata air di bukit Cakrabuana, air mengalir lewat
saluran bambu sepanjang 5,5 km. Dan kini batang-batang bambu
tersebut sudah diganti dengan pipa besi ukuran 6 inci bantuan
Departemen Kesehatan.
"Air memang masalah pokok dalam mendirikan pesantren," kata
Zainal Abidin Anwar, ketua pelaksana harian Pesantren Suryalaya.
Tapi air bersih yang melimpah itu ternyata tidak hanya berguna
untuk bersembahyang, juga untuk keperluan penduduk desa
sehari-hari: mandi, mencuci, minum. Kecuali itu sejak tahun 1901
pesantren ini juga memelopori pembangunan bendungan untuk
menyalurkan air Sungai Citanduy.
Santri Kudisan
Mula-mula mampu mengairi sawah 25 ha, setelah diperbaiki dengan
bantuan pemerintah Australia pada 1975, bendungan itu kini mampu
menjangkau 50 ha sawah dan kolam. Yang menarik ialah, hampir tak
ada lahan kosong di kompleks pesantren yang 19 ha itu. Kawasan
itu ditelan tanaman cengkih melulu. Lantaran usaha penghijauan
lingkungan dengan tanaman produktif inilah, Pesantren Suryalaya
mendapat penghargaan Presiden.
Bagi Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, (juga masih di
Kabupaten Tasikmalaya) penghijauan bukanlah masalah. Sejak dulu
kawasan seluas 202 ha ini rimbun dengan tanaman yang menghijau.
Yang jadi soal bagi 10.709 jiwa penduduknya ialah kebersihan
air. Untuk keperluan sehari-hari sejak lama mereka menggunakan
air dari saluran irigasi sekunder Cikunten setelah bercampur
dengan air sawah yang mengandung pestisida dan fosfor.
"Tak heran kalau dulu sebagian besar warga desa kejangkitan
penyakit kulit, penyakit mata dan perut," ujar K.H. Ilyas
Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung di Desa Cipakat. Banyak
pula di antara 2.000 santri di Pesantren Cipasung yang mendapat
julukan "santri kudisan" karena mereka juga mandi dan mengambil
air sembahyang dengan air kotor tersebut. Air itu dialirkan
secara berantai ke kolam yang lebih rendah tanpa disaring dengan
baik.
Awal tahun lalu, seorang santri senior selesai mengikuti program
latihan pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh LP3ES.
Ia lantas berembuk dengan para sesepuh mengenai penggunaan air.
Akhirnya bersama lembaga itu pihak pesantren mengajak penduduk
membangun instalasi penjernihan air dengan saringan pasir
lambat. Selesai 4 bulan sejak Mei 1979, instalasi tersebut mampu
menyediakan air bersih 150-160 liter sehari semalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini