MAKAN daging bagi keluarga Uha di Kampung Cirateun, Sukasari,
Kotamadya Bandung, pernah merupakan hal yang mewah, kendati di
rumahnya dipelihara 10 domba. Itu dulu. Sejak dua tahun lalu ia
mulai beternak kelinci. 'Kini kami sekeluarga tiap minggu makan
daging," ujar Uha yang dikaruniai 3 anak dan 4 cucu. Bahkan
penghasilannya bertambah.
Dalam hidup berkelinci, Uha tidak sendiri. Rosid, tetangganya,
bahkan tersohor di Bandung sebagai peternak kelinci yang paling
berhasil. Ia memelihara 40 kelinci jenis unggul, yang setiap 3
bulan bisa bertambah dengan 240 ekor lebih. Ternak itu
menghasilkan sekitar Rp 100.000 setiap bulan baginya.
Sanggup pula ia menyekolahkan keenam anaknya tanpa membebani
penghasilan itu. "Setiap anak saya mulai kelas 3 SD dibekali 4
ekor kelinci," cerita Rosid. "Hasil ternak itu bisa membiayai
segala keperluan mereka."
Tekniknya Gampang
Di Cirateun kini sedikitnya ada 20 peternak kelinci. Kegiatan
itu menarik perhatian Mamur Sutamihardja, manajer Koperasi
Keluarga Besar ITB (Institut Teknologi Bandung) merangkap
anggota staf PTP (Pusat Teknologi Pembangunan) ITB. Mamur
menghimpun peternak dari Cirateun itu dan mendirikan sebuah
pilot project peternakan kelinci. Ia memperoleh bantuan sebuah
bangunan di Lembang, milik Dinas Peternakan Kabupaten Bandung.
Proyek yang bernama ROMAYO itu -- singkatan dari nama Rosid
Mamat, Mamur dan Yoyo -- bertujuan merintis pembentukan suatu
organisasi peternak kelinci, mendirikan koperasi dan
meningkatkan mutu ternak itu.
Melalui ROMAYO, Mamur juga ingin memopulerkan usaha beternak
kelinci oleh setiap keluarga. Gagasan ini dinamakannya "Pabrik
Daging Mini di Pekarangan".
Setiap keluarga yang punya pekarangan sedikit, seyogianya memang
bisa heternak kelinci sebagai pekerjaan sambilan. Teknik
pemeliharaannya gampang. Kelinci itu bisa dipelihara dalam
kandang yang tidak perlu melebihi 4 mÿFD.
Menurut penelitian Lembaga Makanan Rakyat, mutu gizi daging
kelinci sebanding dengan daging ternak lain seperti sapi, atau
unggas seperti ayam. Dagingnya -- yang tidak diharamkan bagi
umat Islam -- berwarna putih, berserat halus dan rasanya selezat
daging ayam. Bagi yang diet, daging kelinci juga menguntungkan
karena nilai kalori dan kadar lemaknya yang rendah.
Namun di Indonesia -- seperti halnya di banyak negara berkembang
-- daging kelinci kurang mendapat perhatian sebagai sumber
protein hewani. Padahal kelinci adalah hewan bersih, yang secara
efisien mengubah rumput, daundaunan dan kacang-kacangan menjadi
protein hewani bermutu tinggi. Juga ia berkembang biak dengan
pesat sekali.
Kelinci mulai beranak pada umur 6 bulan, dan sekali melahirkan
antara 6 sampai 15 ekor. Dalam waktu satu tahun kelinci bisa
beranak 4 kali -- bahkan 5 kali -- selama 2 atau 3 tahun, sedang
masa hamilnya hanya 31 hari. Anak kelinci jenis unggul bisa
dipanen (dipotong) pada usia 3 « sampai 4 bulan yang menghasilkan
daging sampai 1 kg. Menurut perhitungan Mamur, sepasang kelinci
jenis unggul dalam satu tahun bisa berkembang biak menjadi 120
ekor lebih -- berarti minimal 100 kg daging.
LIPI dalam suatu Widya Karya pernah menetapkan kebutuhan protein
hewani dari daging minimal bagi orang Indonesia adalah 8,1 kg
per kapita setahun atau 156 gr seminggu. Itu belum terjangkau
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menjangkaunya, menurut Mamur, satu keluarga 6 orang cukup
dengan memelihara 3 ekor kelinci bibit unggul.
Pasaran bagi daging kelinci ternyata cukup memuaskan. Berbagai
restoran dan hotel di Bandung dan Jakarta selalu bersedia
membelinya. Satu ekor bisa mencapai Rp 750 sekarang. Hotel
Indonesia, misalnya, pernah meminta kepada Rosid agar mensuplai-
setiap minggu 1 kwintal daging kelinci. "Saya benar-benar
kewalahan," ujar Rosid. "Mana mungkin memenuhi permintaan
sebesar itu!"
Sebuah toko P&D di Bandung, bernama The Bandung Man, menjual
daging kelinci dalam kemasan plastik dengan harga Rp 1.500 per
kg. Pembelinya kebanyakan orang Barat, terutama orang Prancis.
"Tapi orang Indonesia yang pernah membelinya, akhirnya menjadi
langganan juga," cerita Ny. Oen, pemilik toko itu.
Kotoran
Laboratorium di berbagai perguruan tinggi, tentu saja banyak
pula memerlukan "kelinci percobaan". Sedang kulit hewan itu --
bisa mencapai harga Rp 250 -- menjadi bahan baku untuk usaha
kerajinan membuat topi, tas, sarung tangan, jaket, boneka,
sepatu anak-anak dan lain sebagainya. Pernah seorang pengusaha
kulit meminta 10 ribu lembar kulit kelinci setiap bulan, menurut
Rosid. Permintaan itu pun tak sanggup ia penuhi.
Peternak kelinci di Cirateun masih mendapat keuntungan tambahan.
Kebetulan kampung itu berbatasan dengan Kecamatan Lembang yang
banyak menghasilkan bunga dan sayur-mayur. Kencing dan kotoran
kelinci baik sekali sebagai rabuk untuk tanaman itu. "Kotoran
kelinci setiap hari kami kumpulkan dan kami jual," cerita Rosid.
Mengenai kelinci, Yahod Sumabrata pensiunan staf ahli Pemda Jawa
Barat bisa bercerita lebih banyak. Ia pernah dikirim ke Amerika
Serikat oleh Departemen Pertanian untuk mempelajari cara
beternak sapi. Tapi sepulangnya dari sana, Yahod lebih terkenal
sebagai ahli beternak kelinci. Ia berpendapat bahwa penduduk
kota, terutama golongan ekonomi lemah, bisa ditolong dengan
usaha beternak kelinci.
Di kota, mungkin rumput susah diperoleh. Tapi ini mungkin bisa
diatasi dengan membuat makanan kelinci secara mekanis seperti
misalnya pelet untuk ikan. "Di Amerika peternak kelinci tidak
mengalami kesulitan. Makanan ternaknya sudah diproduksi secara
besar-besaran," cerita Yahod.
Produksi daging kelinci di Amerika Serikat mencapai limabelas
ribu ton setahun. Produksi Prancis setiap tahun bahkan sampai
jutaan ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini