KATA menyerah rupanya tak masuk dalam kamus kubu Marsoesi-Dudy Singadilaga. Kelompok penentang Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) pimpinan Soerjadi dan Nico Daryanto ini kembali beraksi Kamis pagi pekan silam. Skenario mereka mungkin diilhami serangan "Enam Jam di Yogya". Sekitar 06.30 pagi itu, kurang lebih seratus orang berkaus putih yang mengaku kader PDI memaksa masuk dan merebut kunci kantor di Jalan Diponegoro 58 itu. Setelah menguasainya, barulah mereka mengeluarkan pernyataan. Jelas, isinya menyerang Soerjadi, yang mereka anggap tak pernah menggubris aspirasi yang bolak-balik mereka sampaikan. Di ujung pernyataan itulah tersibak bentuk gerakan yang sesungguhnya. Kelompok yang mengaku berasal dari 19 provinsi ini meminta agar Dudy Singadilaga kembali menjalankan fungsinya sebagai Ketua DPP. Dudy, yang bermarkas di Hotel Metta Kumala, 500 meter dari situ, tentu sudah siap. Ia segera datang, berpayung merah di tengah gerimis, disaksikan polisi dan aparat Kodim yang sudah berjaga. Segera Dudy membuat dua surat keputusan (SK) di atas kertas surat resmi PDI, lengkap dengan stempelnya. Pertama, ia mencabut pemecatan atas 8 anggota PDI termasuk ia sendiri dan para tokoh tua seperti Yusuf Merukh, Marsoesi, dan Palaunsoeka. Yang kedua, SK tentang pembentukan panitia kongres luar biasa PDI yang direncanakannya berlangsung tahun depan. Soal pemecatan itu rupanya memang sangat melukai Dudy dkk., yang merasa telah banyak berjasa buat partai banteng ini. Pertentangan dimulai ketika Soerjadi mencoba "menyegarkan" orang-orangnya di DPR. Lewat SK 059 yang keluar saat pendaftaran calon anggota dewan untuk Pemilu 1987, ia melarang orang yang sudah dua kali menjadi anggota untuk naik lagi. Juga para ketua DPD tak bisa merangkap menjadi wakil rakyat. Jelas, banyak orang tua yang tersodok, seperti Marsoesi, Dudy, Achmad Subagyo, atau Palaunsoeka. Puncaknya ketika mereka mengusulkan agar DPP pimpinan Soerjadi di-reshuffle seusai Sidang Umum MPR 1988. Buntutnya, Dudy dan ketujuh koleganya dipecat Soerjadi dari keanggotaan PDI pada 28 Maret 1988. Lalu keanggotaan mereka di DPR dicopot pula. Sejak itu, usaha menggulingkan Soerjadi tak pernah berhenti. Kali ini jurus yang dipasang Dudy adalah tuduhan manipulasi hasil kongres. Hal yang dianggapnya dipalsu adalah soal penyelenggaraan Kongres IV PDI, yang disebutkan akan berlangsung 1993. Menurut kelompok ini, seharusnya kongres berlangsung 5 tahun sekali, sesuai dengan anggaran dasar partai, artinya 1991 nanti. Berdasarkan dalih itu, Dudy yakin kali ini ia akan mendapat dukungan pemerintah. "Jelas, DPP-nya batal demi hukum. Maka, kami mengadakan kongres luar biasa," tuturnya. Tentu saja kubu Soerjadi menolak tuduhan itu. "Semuanya sudah sah hasil kongres," kata Sekjen PDI Nico Daryanto. Nico menilai, pendudukan atas kantornya itu tindakan kriminal. "Tak akan kami selesaikan secara politis, supaya hukum tegak," kata Nico tegas. Ini berarti ia melaporkannya ke pihak berwajib dan akan menuntut secara hukum. Pendudukan itu memang tak berlangsung lama. Setelah tujuh jam, para pembangkang akhirnya bersedia pergi dan menyerahkan kunci ke polisi. Kubu Soerjadi tak langsung kembali menguasai kunci itu. Baru Sabtu pagi mereka bisa membuka kembali kantor tersebut. "Itu cuma soal teknis," kata Nico. Yang menarik adalah sikap pemerintah, yang biasanya selalu cenderung memihak yang punya legitimasi, artinya DPP yang terpilih kongres. Kali ini, meski Menteri Dalam Negeri Rudini menganggap itu sebagai soal intern, ia menambahkan, "Perbedaan pendapat itu wajar, lebih baik bermusyawarah. Baik pimpinan maupun warganya jangan konfrontatif". Jadi, ada peluang buat Dudy dkk.? Yopie Hidayat dan Tri Budianto S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini