Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akhir Aksi Jubah Putih

Tokoh "jubah putih" Tengku Bantaqiah, 45, bersama 15 pengikutnya menyerahkan diri, karena dijanjikan tak diadili. Ia merasa kesal, Majelis Ulama Aaceh menuduhnya menyebarkan ajaran sesat.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 19 bulan Tengku Bantaqiah, 45 tahun, bersembunyi di rimba Beutong, sekitar 100 km dari Meulaboh, Aceh Barat. Dan setelah merasa aman, 11 Desember lalu, tokoh kelompok "Jubah Putih", bersama 15 pengawal dan pengikutnya, yang menggegerkan Aceh pada Mei 1987 itu mau menyerahkan diri. Ia mau turun gunung setelah ulama Amirul Mukminin, 45 tahun, yang biasa dipanggil Tengku Aceh, dan keluarga Bantaqiah turut membujuk. Suasana sempat tegang ketika Tengku Bantaqiah hendak ditemui Komandan Kodim 0105, Letkol. M. Iskak. Sore hari itu, di rumah Tengku Aceh, di lokasi transmigrasi Krueng Tadu, sekitar 34 km dari Meulaboh, Bantaqiah dan pengikutnya tak mau keluar kamar. Yang keluar justru 5 pengawalnya, berpakaian jubah putih, hitam, dan merah. Sorot matanya tampak sangar, dengan sikap siaga, pedang di tangan. Setelah lama, barulah Bantaqiah keluar. "Kami datang cuma empat orang, tanpa pasukan," Iskak membujuk, sembari meyakinkan bahwa mereka tak bawa pistol. Seragam militer yang dipakai Iskak pun hanya untuk menghargainya. Bantaqiah manggut-manggut, dan suasana pun jadi damai. Lalu mereka bersalaman, makan bersama, dan dilanjutkan dengan pidato. Tengku Bantaqiah pun berpidato, dalam bahasa daerah Aceh, bahwa dia mau hidup baik-baik. "Saya sebenarnya bukan anti-Pancasila dan UUD 45," kata Bantaqiah kepada TEMPO. Ia pun mengaku pernah dihubungi utusan gerombolan pengacau keamanan "Aceh Merdeka" agar bergabung. Tapi ajakan itu ditolaknya. Hanya saja, kata bapak 8 anak yang pada Pemilu 1971 mengaku mencoblos Golkar itu, orang lain salah paham kepadanya. "Masa, Majelis Ulama (MU) Aceh seenaknya menuduh menyebarkan ajaran sesat," tambahnya. Misalnya, dua kalimah syahadat yang diajarkan Bantaqiah adalah "Ujudku, ujud Allah". Padahal, yang benar "Tiada ujudku, melainkan ujud Allah". Tanpa komunikasi, tiba-tiba keluarlah fatwa MU Aceh, 22 Januari 1984. Isinya: Ajaran (Thariqat) Tengku Bantaqiah bertentangan dan merusak ajaran Islam, serta akan mudah menggiring umat Islam ke dalam ajaran Wujudiah (Wahdatul Ujud). Kejaksaan Tinggi Aceh juga melarang ajaran Bantaqiah. Sementara itu, MU Aceh memang belum minta pendapat Bantaqiah langsung. "Soalnya, mau ke mana mencari dia. Kalau ada di hutan, bagaimana mencarinya," ujar Ali Hasymi, Ketua MU Aceh. Akibatnya, Bantaqiah, yang berpendidikan sampai kelas III madrasah ibtidaiyah itu, merasa malu dan jengkel. Apalagi ilmu kebal yang diajarkan Bantaqiah dicap syirik. Bahkan muncul tuduhan lain, misalnya tak perlu berhaji ke Mekah. Cukup ke Beutong saja, tepatnya di pesantrennya, di desa terpencil Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat. Sejumlah pengikutnya, yang berjubah putih itu, pada 15 Mei 1987 (saat itu bulan Puasa), mulai melancarkan aksi. Di Meulaboh, misalnya, di pagi buta mereka berteriak-teriak minta agar kedai-kedai tutup di bulan Puasa itu. Mereka membawa senjata tajam, seperti parang atau pedang. Di Sigli, Kabupaten Pidie, pun terjadi. Tak pelak lagi, ABRI dan polisi turun tangan. Bentrokan tak terhindarkan. Sabirin, seorang anggota kelompok "Jubah Putih", tertembak mati. Dan empat pengikutnya -- Jakfar, Utoh Syarif, Hasbi Daud, dan Buyung Binti Tengku Basah -- ditangkap dan sudah divonis Pengadilan Meulaboh. Sementara itu, Bantaqiah, yang telah 19 bulan bersembunyi, mau menyerahkan diri karena dijanjikan tak akan diadili. "Mudah-mudahan, jangan terulang peristiwa yang lalu," ujar Bantaqiah. Ia berjanji akan mengajak pengikutnya, sekitar 2.000 orang di Bukit Barisan, menyerahkan diri. Bantaqiah kini masih di rumah Tengku Aceh. Suhardjo Hs. (Jakarta) dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus