SUASANA dingin dan agak tak acuh mewarnai sidang paripurna DPR di ruang Graha Karana, Rabu pekan lalu. Terdaftar 372 anggota dewan yang terhormat hadir, tapi sebagian besar minum-minum santai di luar ruang. Padahal, hari itu, di ruang yang dingin itu, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) baru saja disetujui untuk disahkan jadi undang-undang. Padahal, tatkala Desember tahun lalu pemerintah menyampaikan RUU-PA kepada pimpinan DPR-RI, "Kami semula khawatir, pembahasannya akan alot, tersendat-sendat, dan tak selesai sesuai dengan jadwal," kata H. Bambang Sutisna, Ketua Panitia Khusus RUU-PA. Kontroversi memang sempat meledak, menyusul munculnya surat Wakil Ketua MPR, R. Suprapto, dan makalah Koordinator Polkam F-KP yang menentang RUU-PA. Debat makin menghangat dengan munculnya pertikaian intern di F-KP dan penentangan F-PDI terhadap judul dan banyak materi RUU-PA. Tapi diam-diam F-ABRI melakukan lobi-lobi intensif, meredakan kontroversi yang memanas. Kemudian para anggota dewan merampungkan pembahasan RUU-PA itu tepat waktu, cuma 76 hari. Judul RUU-PA, yang semula ditolak F-PDI, sepakat tak diubah. Atas usul F-ABRI, pada bagian awal batang tubuh RUU dicantumkan bahwa subyek hukum RUU ini hanyalah orang Islam. Juga usul F-ABRI, semua pejabat Peradilan Agama disyaratkan beragama Islam dan bebas organisasi terlarang (Pasal 13). Jumlah bab RUU-PA tetap 7, dan 108 pasal. Perubahan redaksional dan pengertian tentu ada. Bab 4, yang asalnya berjudul "Acara", diperjelas jadi "Hukum Acara". Li'an (sumpah oleh kaum pria untuk menuduh istri berzina) pada bagian ketiga bab ini juga diubah jadi judul baru, "Cerai dengan Alasan Zina". Perdebatan soal li'an muncul karena dinilai tak sesuai dengan prinsip kesamaan hak antara kaum wanita dan pria, yang diakui UU Perkawinan 1974. Semua fraksi kemudian sepakat mengubah istilah li'an, agar kaum pria dan wanita sama-sama bisa melakukan pembuktian berzina, lewat sumpah, jika gugatan mereka tak disertai saksi mata. "Jadi, pihak istri yang dituduh berzina punya hak untuk bertindak sebaliknya kepada suami," kata Sukardi Effendi dari F-PP. Perdebatan lain yang paling pelik di tenyah pembahasan RUU ini, soal pilihan hukum (rechtskeuze) dan kaitannya dengan wewenang Pengadilan Agama. Menurut pasal 49 ayat satu RUU-PA, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan 6 perkara perdata perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah -- di kalangan orang Islam. Masalahnya, pasal itu tak menjelaskan apakah para pencari keadilan itu boleh melakukan pilihan hukum. Ataukah RUU-PA diperuntukkan semua kaum beragama. Terakhir disepakati, pasal itu tetap seperti semula. Pihak yang berperkara boleh melakukan pilihan -- hukum adat, perdata, ataukah Islam -- dalam menyelesaikan tiga perkara kewarisan, hibah, dan sedekah. Semua fraksi dalam pendapat akhir menyarankan agar pemerintah segera melakukan langkah-langkah penyiapan pelaksanaan UU-PA nanti. Misalnya membuat peraturan pelaksanaannya serta mengangkat pejabat juru sita, setidaknya di 303 kantor Pengadilan Agama yang sudah ada. Jumlah Pengadilan Tinggi Agama baru 18, padahal semestinya ada di tiap provinsi. "Sudah kami rencanakan, sesuai dengan kebutuhan," kata Munawir Sjadzali, yang pernah menyebut RUU-PA sebagai anak bungsu. UU No. 14 Tahun 1970 memang menyebutkan, peradilan di lingkungan Departemen Kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama. Ketiga peradilan sudah disahkan jadi undang-udang. Tinggal RUU-PA, insya Allah, menyusul segera. Ahmadie Thaha dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini