Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKIBAT lumpur Lapindo, dua bulan lalu Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo mengusulkan menghapus tujuh desa di tiga kecamatan dari peta Indonesia dalam rancangan peraturan daerah. Pertimbangannya, kampung-kampung tersebut tetap menyerap anggaran karena masih terdaftar. Padahal seluruh penduduk sudah pergi menghindari luapan lumpur, sehingga tempat itu menjadi desa-desa mati.
Kisah "kematian" desa-desa pernah pula dilaporkan majalah Tempo. Namun, menurut berita dalam rubrik Nasional edisi 26 Mei 1984 itu, penyebabnya berbeda. Cerita dimulai ketika Tempo menyambangi sebuah kampung Dayak. Beberapa lamin—rumah panjang—yang biasanya dihuni ratusan orang nyaris tinggal puing. Rumput dan semak menyerbu masuk bangunan SD Inpres dan SMP. Ilalang mengerubuti kantor kecamatan. Gereja yang bertengger di lereng bukit juga telah lama sepi.
Data Dian, desa yang menjadi ibu kota Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, itu, memang bagai desa mati. "Hampir semua orang pergi," kata Anai Irang, kepala adat suku Dayak Kenyah. Ke mana orang-orang itu? Pak Camat, Abdul Karim, setahun lebih mendapat tugas belajar di Malang. April tahun itu, jabatannya diserahkan kepada Hengky. Namun, baru tiga pekan, Hengky ke Samarinda untuk tugas belajar di Universitas Mulawarman. Tak cuma Pak Camat yang lenyap. Dokter dan petugas puskesmas juga tidak lagi berada di tempat. Begitu pula para guru SD dan SMP, hingga sekolah terpaksa ditutup. Cuma petugas komando rayon militer yang masih bertahan. "Kami belum mendapat perintah untuk meninggalkan tempat," kata Prajurit Satu Eddy.
Kosongnya Kecamatan Kayan Hilir itu baru diketahui pada April 1984 tatkala Gubernur Kalimantan Timur Soewandi berkunjung. Bekas Bupati Lumajang itu kaget dilapori delapan dari sebelas desa di kecamatan itu telah ditinggalkan penduduknya. Kayan Hilir, yang luasnya 1.191 kilometer persegi, dulu berpenduduk hampir 10 ribu jiwa. Pada 1978 menyusut menjadi 3.834, dan tahun itu tinggal 400 orang yang mendiami tiga desa: Data Dian, Metun, dan Sungai Anai. Desa lain telah ditelan oleh rimba.
Penyebab utama eksodus itu adalah tekanan ekonomi. Harga barang-barang kebutuhan pokok selangit. Sebatang garam yang di kota cuma Rp 50, di Kayan mencapai Rp 500, sabun cuci Rp 1.500 sebatang, minyak tanah Rp 1.200 sebotol, dan gula pasir Rp 2.000 per kilogram.
Mahalnya harga karena transportasi yang amat sulit. Tanjung Selor atau Samarinda tak bisa ditempuh lewat darat. Yang mungkin melalui sungai, tapi makan waktu berbulan-bulan. Satu-satunya sarana yang cepat adalah lewat udara. Bahan kebutuhan pokok penduduk diangkut lewat bantuan pesawat Cessna MAF milik Persekutuan Penerbangan Misi Gerejani, dengan biaya yang tinggi. Biaya rata-rata angkutan barang per kilogram Rp 1.500-2.000.
Karena persoalan tersebut, para penduduk mengungsi. Tapi itu juga bukan cara mudah. Untuk sampai Tanjung Selor setidaknya butuh waktu tiga bulan melewati sungai deras dan bukit terjal. Malah untuk ke Kutai bisa setahun. "Tak ada anggota rombongan kami yang mati. Malah ada tiga bayi yang lahir selama perjalanan," kata Lidong Letting, yang memimpin 200 penduduk Desa Long Marung pindah ke Desa Rukun Damai, Kabupaten Kutai.
Ada pula ratusan penduduk Kayan Hilir yang melintasi perbatasan masuk Sarawak. "Di sana kami mudah bekerja dan mendapat duit," ujar Killa, 27 tahun, yang kembali ke Data Dian untuk menjemput orang tuanya. Di Malaysia Timur, mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit atau jadi buruh bangunan.
Menurut catatan pemerintah daerah Bulungan, bukan hanya penduduk Kayan Hilir yang pindah. Beberapa kecamatan lain juga bertambah sepi. Kayan Hulu, misalnya, lebih dari 12 ribu penduduknya telah hijrah, dan sekarang yang tinggal cuma sekitar 5.000.
Rupanya, bukan cuma tekanan ekonomi yang mendorong penduduk mengungsi. Menurut Ipuh Luwai, Kepala Desa Long Sungan yang menetap di Miau Baru, perpindahan juga karena desakan kaum muda. Para orang muda itu malu lantaran merasa tertinggal dibanding rekan mereka yang lebih dulu pindah dan sudah maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo