Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000>TEMPO DOELOE</font><br /><font face=arial size=3><B>Berburu Darah Biru</B></font>

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Bangsal Kansetanan, Keraton Solo, Syahrini tersenyum manis menerima gelar Kanjeng Mas Ayu, awal Juli lalu. Ini gelar perempuan tertinggi di keraton itu. Dengan anugerah yang disampaikan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger (Pengageng Sasana Pustaka) itu, Syahrini masuk golongan ningrat Solo. Kabarnya, penyanyi cantik itu mendapat gelar bangsawan karena dinilai sebagai artis yang tidak memiliki citra jelek dan sedang naik daun.

Nah, ada satu masa di negeri ini ketika orang ramai-ramai merunut asal-usulnya untuk mengetahui seberapa ningrat dia. Mereka mendatangi kantor silsilah seperti Tepas Darah Dalem di Keraton Yogyakarta. Fenomena ini ditulis dalam laporan utama majalah Tempo edisi 13 Mei 1978.

Sebagai misal, pada satu hari di awal Mei 1978, tiga orang tampak mendatangi kantor Tepas Darah Dalem. Dengan hormatnya mereka duduk di bibir kursi, di kantor yang lengang itu, menghadap pimpinan kantor. Dalam bahasa Jawa halus yang tinggi, yang tertua di antara mereka menjelaskan maksudnya. "Kami ingin memperoleh Paring Dalem Serat Kekancingan (surat silsilah)," katanya.

Surat itu mengandung keterangan yang menjelaskan garis keturunan dari salah satu raja Jawa. Raja itu bisa dari kerajaan yang masih ada, seperti Surakarta dan Yogyakarta, bisa juga dari kerajaan yang sudah punah, seperti Pajang dan Demak. Bahkan, "Banyak yang meminta pengakuan bahwa mereka keturunan Raja Brawijaya (Majapahit)," kata Kanjeng Raden Tumenggung Danuadiningrat, Kepala Kantor Silsilah Keraton Yogyakarta.

Pada tahun-tahun itu, permohonan akan surat ini meningkat. Catatan statistiknya tidak ada, tapi terakhir rata-rata per bulan 200-300 surat silsilah dikeluarkan. Pemohonnya dari berbagai kalangan, mulai buruh, tani, pegawai negeri, sampai perwira tinggi ABRI. Kebanyakan berasal dari luar Yogyakarta. Ada juga yang dari luar Jawa dan luar negeri.

Bagaimana dapat dibuktikan bahwa seseorang benar-benar keturunan Raja Brawijaya, yang hidup sekitar 500 tahun lampau? "Ya, asal kemudian keturunannya ­cocok dengan nama putra sultan atau sunan menurut buku pedoman kami. Yang bersangkutan harus membuktikan sendiri," tutur Danuadiningrat. Maka ia tidak mengesampingkan kemungkinan adanya orang-orang yang ingin mengaku-aku keturunan ningrat.

Sebelum memperoleh lembaran asal-usul itu, lebih dulu ada surat keputusan dari keraton yang dituju, seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.

"Raden Mas Haryo Rahadian Yamin, jika nanti diangkat sebagai pangeran dan berhak mendapat gelar, akan mendapat nama Kanjeng Pangeran Haryo Soerjohadiningrat". Ini salah satu keputusan Mangkunagoro VIII yang dikeluarkan pada 19 Juli 1975. Ini berarti Rahadian Yamin satu-satunya pangeran yang jadi peragawan ketika itu.

Selain berkat keturunan, gelar keningratan dan pangkat dalam istana di Jawa dapat diperoleh dari perkawinan, jabatan, atau dihadiahkan. Seorang rakyat biasa, misalnya, bisa mendapat gelar pangeran atau paling tidak bupati keraton (KRT) jika menikah dengan putri seorang raja atau adipati. Rahadian Yamin, misalnya, mendapat gelar karena istrinya, BRA Satoeti, adalah putri Mangku­nagoro VIII.

Bukan hanya orang Jawa pribumi yang bisa dihadiahi gelar. Go Tik Swan, pengusaha batik keturunan Tionghoa di Solo, misalnya, memperoleh gelar Raden Tumenggung Harjonagoro dari Kasunanan. "Dia mencari dana untuk memugar keraton dari Caltex, juga setiap kali diselenggarakan upacara keraton," kata KRT Sastrodiningrat, Sekretaris Keraton Sura­karta.

Apa yang hendak ­dicari atau dibuktikan dengan mempunyai surat silsilah itu? Berbagai alasan disebutkan para pemohon. Ada yang berharap, dengan mengetahui sebagai keturunan raja, mereka juga meniru kehalusan budi pekerti yang menurunkan mereka. Banyak pula yang menyebut alasan supaya tidak kepaten obor (kematian suluh), supaya anak-cucu tahu nenek moyang mereka. Tak ada yang terus terang mengaku bahwa alasannya ialah untuk menaikkan derajat sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus