Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gubernur Baru Jakarta Lama

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAU terdengar klise, hasil pemilihan Gubernur DKI Jakarta bolehlah dianggap sebagai kemenangan demokrasi. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama telah membalikkan peta kekuasaan, yang biasanya didominasi kalangan elite berikut kekuatan sumber dananya. Mereka sukses meredam serangan isu suku, agama, ras, dan antargolongan yang membahayakan demokrasi.

Pemilihan Kamis pekan lalu itu juga bisa dijadikan model: gubernur terpilih berasal dari bupati atau wali kota berprestasi—Jokowi dan Basuki memperoleh pelbagai penghargaan sebagai kepala daerah, termasuk pernah dinobatkan sebagai Tokoh Majalah Tempo. Perek­rutan semacam ini jauh lebih baik. Sebab, selama ini, banyak calon kepala daerah berasal dari negeri antah-berantah yang maju ke pemilihan dengan ”menyewa” partai politik.

Para pemberi suara pun perlu diberi banyak pujian. Berdasarkan hasil exit poll, sebagian besar pemilih bersikap sangat rasional. Mereka menentukan pilihan berdasarkan program yang dijanjikan kandidat. Dengan proporsi lebih kecil, sebagian penduduk menganggap kandidat yang mereka pilih ”paling memperjuangkan kepentingan rakyat kecil”. Hanya sekitar 12,6 persen—hampir semuanya pemilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli—mencoblos gambar satu kandidat dengan alasan mewakili agama yang mereka anut.

Kegagalan kampanye menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di Jakarta itu merupakan berita positif. Propaganda ”memilih kandidat yang seiman”, yang digencarkan pendukung Fauzi dan Nachrowi pada jeda antara putaran pertama dan putaran kedua pemilihan, berusaha menghancurkan prinsip meritokrasi. Kampanye itu juga menggerus toleransi beragama, persoalan yang akan menjadi pekerjaan besar dan harus diselesaikan gubernur baru.

Jokowi dan Basuki barangkali memunculkan harapan bagi penduduk Jakarta: mereka akan memimpin Ibu Kota dengan lebih manusiawi. Ketika memimpin Kota Solo, Jokowi dikenal sangat humanis. Ia, misalnya, meminta Satuan Polisi Pamong Praja ”mengandangkan” pentungan dan pistol mereka. Jokowi juga mampu memindahkan kawasan pedagang pasar tanpa gejolak. Ketika menjadi Bupati Belitung Timur, Provinsi Bangka-Belitung, Basuki juga cukup membumi.

Di tengah euforia pendukungnya, Joko Widodo perlu terus diingatkan pada janji-janjinya selama kampanye. Ia menyatakan akan bersikap independen dari Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, figur sentral dua partai yang mencalonkannya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerindra. Dua politikus itu perlu disebut karena ada kemungkinan mencalonkan diri menjadi presiden pada 2014. Bukan mustahil jika kedua tokoh ini, terutama Prabowo, menjadikan Jokowi dan Basuki sebagai kuda troya bagi pencalonan dua tahun mendatang. Jokowi harus mampu memutus bayangan dan ikatan balas budi terhadap kedua patronnya itu.

Janji lain Jokowi-Basuki yang perlu dicatat adalah distribusi pembangunan. Keduanya menyatakan akan berorientasi pada pengembangan kampung dan kawasan kumuh. Mereka berjanji meninggalkan ”orientasi pada Sudirman, Thamrin, dan Kuningan”—yang ditahbiskan sebagai Segitiga Emas Ibu Kota. Jika berhasil, distribusi pembangunan ala Jokowi akan mengurangi sejumlah persoalan, seperti terbatasnya perumahan, ruang publik, sanitasi, dan transportasi.

Banyak janji lain dari gubernur baru yang perlu dicatat untuk kelak ditagih. Sebab, janji itulah kontrak politik Jokowi-Basuki sebagai ”pelayan publik” kepada tuannya, yakni semua penduduk Jakarta. Jokowi tentu sadar, dengan karakter yang sangat rasional, pendukungnya bisa dengan cepat berubah sikap jika ia tidak banyak membawa perubahan di Betawi, sebagaimana tingginya ekspektasi para pendukung mereka.

Meski memiliki gubernur baru, Jakarta masih kota yang sama. Berpenghuni 10 juta lebih, Jakarta juga menampung satu juta lebih pekerja dari kota-kota di sekitarnya. Kota ini menyandang masalah lalu lintas yang akut: kecepatan rata-rata kendaraan di jalanan hanya 20 kilometer per jam. Rasio kendaraan pribadi dan angkutan umum pun sangat timpang: 98 persen berbanding 2 persen pada 2010. Kemacetan lalu lintas, tentu saja, hanya satu dari banyak masalah yang akan segera dihadapi pemimpin baru.

Jokowi dan Basuki jelas perlu bekerja ekstrakeras, setidaknya untuk memperoleh dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, guna menjalankan program-programnya. Gabungan PDI Perjuangan dan Gerindra hanya minoritas di Dewan, memiliki 17 dari total 94 kursi. Dengan posisi itu, mereka bisa terjebak pada kompromi politik yang seharusnya dihindari.

Sembari menanti pelaksanaan program Jokowi dan Basuki, marilah tetap merayakan kemenangan demokrasi. Salut perlu disampaikan kepada Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, yang dengan sportif mengakui kekalahan mereka. Pada saat yang sama, mereka seyogianya juga meminta maaf kepada penduduk Jakarta karena telah menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan selama berkampanye.

berita terkait di halaman 34

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus