Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA, hiburan malam, dan kontroversi tentang pengaturannya adalah topik lama yang tak pernah habis dibahas. Majalah Tempo edisi 20 Maret 1971 pernah menerbitkan laporan panjang tentang rencana pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensertifikasi para hostes di Ibu Kota.
Para penerima tamu di klub dan tempat hiburan malam ini memang sedang naik daun pada awal 1970-an. Saking populernya keberadaan para hostes ini, sebuah grup band kala itu, The Mercy's, merilis lagu tentang mereka: Kisah Seorang Pramuria.
Mengapa semua manusia, menghina kehidupannya. Mencari nafkah hidupnya, sebagai seorang pramuria.
Seperti lirik lagu itu, tipisnya batas antara pramuria dan pekerja seks memang sempat jadi bahan perbincangan di masyarakat. Banyak yang menuding perempuan yang bekerja sebagai pramuria bisa pula disewa untuk "kepentingan lain". Pramuria disebut-sebut sebagai pelacuran gaya baru.
Penelusuran Tempo ketika itu menemukan bahwa faktanya tidaklah sehitam-putih itu. Seorang hostes bernama Wati, misalnya, menegaskan bahwa aturan dalam pekerjaan mereka cukup ketat. "Misalnya, kami tidak boleh berciuman dengan pelanggan," katanya sungguh-sungguh. "Hanya boleh tempel pipi," ujarnya dengan wajah tersipu.
Wati menilai tak ada yang salah dari pekerjaannya. Sebagai ibu, dia berkepentingan menjaga profesinya tak dilihat sebagai sesuatu yang keliru. "Saya punya anak, dan saya tidak ingin anak-anak saya terpautkan dengan ocehan-ocehan yang kurang sehat tentang pekerjaan saya," katanya.
Total di Jakarta ada 680 lebih perempuan yang berprofesi seperti Wati, menjadi pramuria di berbagai klub malam. Sayangnya, tak semua setegas Wati dalam menjaga relasinya dengan pengunjung tempat hiburan malam.
Wiendy, misalnya. Wanita bertubuh permai yang biasa menjadi pramuria di klub Galaxy ini mengakui ada saja rekannya yang tergelincir menjadi pekerja seks. "Tapi itu tergantung pribadi masing-masing," katanya sambil tersenyum simpul.
Pernyataan Wiendy ini diperkuat Soeratman, manajer LCC, sebuah klub malam lain di Jakarta. Menurut dia, ada kemungkinan sejumlah pramuria memang perempuan "nakal". "Tapi di sini semuanya diawasi," kata Soeratman. Dengan pendapatan jumbo yang mereka peroleh, dia yakin niat para pramuria untuk berbuat yang bukan-bukan bisa dikurangi.
Untuk mengurangi omongan miring, pada awal 1971 pemerintah Jakarta mengumumkan rencana menerbitkan lisensi bagi para hostes. Sertifikat kompetensi pramuria akan diberikan kepada mereka yang lolos tes. Ujiannya macam-macam.
Pertama-tama, pramuria harus bebas dari penyakit kulit, paru-paru, gigi, dan lain-lain. Kemudian mereka juga harus lulus ujian etika umum, seperti menata meja, bahasa Inggris, perawatan diri, serta pengetahuan makan dan minum. Kalau hasil tes dinilai memuaskan, baru lisensi dikeluarkan.
Untuk menyelenggarakan tes dan menerbitkan lisensi, pemerintah bekerja sama dengan Indonesian Night Club Association. Rencana kebijakan ini kontan menuai kritik. "Mengapa mesti pemerintah itu ikut campur? Anak-anak diharuskan tahu bahasa ini bahasa itu. Kalau diterima bekerja di sini, artinya tentu ia sudah qualified," kata seorang manajer klub malam.
Tapi, seperti biasa, pemerintah jalan terus. Bahkan, untuk menghindari praktek pelacuran, pemerintah DKI mengeluarkan peraturan khusus bagi pramuria. Salah satu isinya: hostes hanya boleh menemani tamu ”dalam norma-norma kesopanan dan kesusilaan”, termasuk ketika melayani minum dan berdansa. Entah bagaimana cara mengukur dansa dan minum yang sopan dan bersusila itu. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo