Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM lagi sampai di tempat ia biasa memimpin kebaktian Minggu, Pendeta Palti Panjaitan menghentikan motor yang ditumpanginya bersama istri. Sekitar 500 orang menghadang di jalan, 200 meter dari tempat Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia rencananya bakal dibangun. Di belakang massa itu, sebuah bus berlogo Pemerintah Kabupaten Bekasi membentengi.
Melihat sang Pendeta datang, massa langsung mengerubuti. Suasana pagi pekan lalu itu memang sudah memanas. Kepala Dinas Kesatuan Berbangsa dan Berpolitik Kabupaten Bekasi Atang Hermansyah dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Agus Rismanto meminta rencana kebaktian dibatalkan.
Setelah berdebat, Pendeta Palti akhirnya menurut. Ia memutar setang, kembali ke arah perumahan Villa Bekasi Indah 2. Ia bahkan belum sempat turun dari motornya. "Akhirnya kami kembali ke rumah masing-masing," kata Palti kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Ini bukan pertama kalinya ibadah jemaat HKBP Filadelfia dihadang massa. Palti mengatakan intensitas penolakan warga setempat meningkat sejak Januari tahun ini. Sampai pekan lalu, tak kurang dari sepuluh kali kegiatan ibadah mereka diganggu oleh massa yang mengaku warga Jejalen dan sekitarnya.
Sebidang lahan di RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, rupanya memicu pertentangan di antara dua kelompok itu. Luasnya 16 x 48 meter, dengan pagar tembok setinggi manusia. Bedeng berdinding tripleks beratap asbes seluas 8 x 6 meter berdiri di dalam area berpagar. "Itu untuk gudang dan WC," kata Palti.
Palti bercerita, tanah itu dibeli oleh pengurus HKBP pada 2007. Niatnya di situ akan dibangun gereja. Setahun setelah urusan pembelian tanah beres, mereka mengajukan permohonan izin mendirikan rumah ibadah. Tapi, sampai kini, izin tak kunjung turun.
Tak juga ada kejelasan soal tempat ibadah mereka, pada akhir 2009 jemaat memutuskan menggelar ibadah Ahad di lahan yang sudah mereka beli. Beralas tikar, beratap tenda biru. Tapi kegiatan ibadah itu kerap direcoki oleh demo massa yang tak setuju.
Sopianti, 46 tahun, mengatakan perbedaan keyakinan menjadi penyebab penolakan warga. Sopi tinggal sekitar 50 meter dari lokasi tanah gereja. Menurut dia, mayoritas warga Jejalen yang muslim tak menerima keberadaan gereja di lingkungannya. "Warga emosional karena pengurus HKBP tak terbuka ketika gereja pertama kali dibangun," katanya. Ketidaksetujuan ini disampaikan ke pemerintah Bekasi. Laporan warga ditanggapi dengan penyegelan lokasi gereja pada pertengahan Januari dua tahun lalu.
Tak sampai sebulan jemaat sempat melakukan kebaktian di dalam area berpagar. Setelah itu, rantai dan gembok besar dipasang mengunci gerbang. Sebelum menyegel, Bupati mengeluarkan surat keputusan menghentikan kegiatan pembangunan gereja dan kegiatan ibadah HKBP Filadelfia.
Tak terima dengan penyegelan, pihak HKBP mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Kuasa Hukum HKBP Filadelfia, Saur Siagian, mengatakan PTUN mengabulkan gugatan ini. Putusan pengadilan juga membatalkan SK Bupati dan memerintahkannya memproses permohonan izin pembangunan gereja yang pernah diajukan.
"Pengadilan memenangkan karena alasan penyegelan tak masuk akal," kata Saur. Sialnya, putusan pengadilan itu tak menyelesaikan persoalan. Pemerintah Bekasi mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. HKBP Filadelfia kembali dimenangkan. Putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan PTUN Bandung.
Bupati Bekasi (saat itu dijabat Sa'duddin) tetap bergeming meski telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Akibatnya, selama dua tahun belakangan, jemaat Filadelfia hanya bisa beribadah di luar pagar tanah mereka.
Sebelum awal tahun ini, demo dan penolakan hanya terjadi sekali waktu. Tapi, dalam empat bulan terakhir, aksi massa hampir tiap pekan. Pada pertengahan April lalu, misalnya, massa memasang pengeras suara dan menyetel lagu-lagu islami tepat di seberang lahan gereja tempat jemaat Filadelfia sedang beribadah.
Dalam beberapa aksi terakhir, Ketua Front Pembela Islam Bekasi Murhali Barda tampak di antara massa yang menolak ibadah. Ia menuding pengikut HKBP Ciketing sengaja datang ke kebaktian Filadelfia. Tapi ia membantah FPI Bekasi terlibat dalam aksi di Jejalen Jaya itu. "Hanya memantau," ujarnya.
Palti curiga ada pihak tertentu yang memanfaatkan ketidaksetujuan sebagian warga untuk mengulur-ulur pemberian izin mendirikan rumah ibadah. Apalagi ribut-ribut makin sering terjadi menjelang pemilihan kepala daerah. "Yang tidak setuju hanya sebagian kecil. Lainnya tidak ada masalah," katanya.
KISAH penolakan warga terhadap keberadaan gereja rupanya bukan hal baru bagi jemaat Filadelfia. Pendeta Palti mengatakan, pada April 2000, beberapa keluarga komunitas suku Batak sepakat mendirikan HKBP Filadelfia. Mereka ini komunitas yang tinggal di sekitar Desa Jejalen Jaya, Desa Mangun Jaya, Desa Satria Jaya, dan Desa Sumber Jaya. Perumahan yang dihuni oleh komunitas Batak tersebar di perbatasan desa-desa ini.
Ketika itu, ibadah mingguan dilakukan di rumah jemaat secara bergantian. "Tapi warga perumahan keberatan," katanya. Pengurus HKBP kemudian membeli rumah toko di Perumahan Villa Bekasi Indah 2, Desa Sumber Jaya, untuk dipakai beribadah.
Di tempat ini pun mereka didatangi penduduk yang menolak ruko dijadikan tempat ibadah. Ujung-ujungnya, jemaat Filadelfia harus menandatangani surat pernyataan tidak akan menjalankan ibadah—khususnya di Blok C Villa Bekasi Indah 2—di seluruh perumahan pada umumnya. Terus-menerus ditolak, pengurus akhirnya memutuskan membeli tanah yang kini pun dipersoalkan.
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bekasi Dedi Rohendi memiliki pengertian berbeda tentang putusan PTUN. Menurut dia, pengadilan hanya memutuskan HKBP boleh mengurus izin mendirikan rumah ibadah. "Bukan melakukan peribadatan di pinggir jalan," ujar Dedi.
Maka, sebelum ada izin resmi mendirikan tempat ibadah, larangan beribadah di pinggir jalan itu masih berlaku. "Kami bukan melarang orang beribadah, tapi mengatur tempat beribadah," katanya.
Kartika Candra (Jakarta), Hamludin (Bekasi)
Sekretaris Jenderal Religions for Peace Indonesia, Theophilus Bela, mengatakan tak kurang dari 28 kasus gangguan dan penolakan terhadap gereja terjadi di wilayah Jabodetabek selama kuartal pertama tahun ini. Tahun lalu jumlahnya mencapai 64 kasus.
Berikut ini beberapa di antaranya.
Februari 2012
Gereja Bethel Setia Mekar di Kampung Rawa Kalong, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi
Kasus: Lima gereja (2 Gereja Bethel Indonesia, 1 Gereja Pantekosta di Indonesia, 1 Gereja HKI, dan 1 Gereja Pantekosta) tidak boleh melakukan kegiatan. Kegiatan disatukan di Setia Mekar karena ada penolakan dari Front Pembela Islam dan Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi.
Februari 2012
Kasus: Tujuh gereja diancam akan disegel di Kompleks Ruko Permata Hijau Permai, Kota Bekasi. Penyegelan tidak dilaksanakan karena pihak gereja membuktikan bahwa surat dari Pemerintah Kota Bekasi tentang penyegelan palsu.
Februari 2012
Kasus: Tiga gereja di Jalan Kaliabang Tengah, RT 03 RW 04, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, pada 10 Februari 2012 disegel Pemerintah Kota Bekasi. Jemaat gereja melakukan kebaktian Minggu di halaman gereja.
Maret 2012
Kasus: Gereja Pantekosta di Indonesia pimpinan Pendeta Abraham Boys di Tangerang diancam akan diserang massa, tapi digagalkan polisi.
April 2012
Kasus: Menjelang Jumat Agung (6 April) dan Paskah (8 April), Gereja Pantekosta di Indonesia pimpinan Pendeta Ronald Maringka di Cikarang diancam akan diserang massa, tapi dicegah polisi.
Sumber: Religions for Peace Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo