Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#ff9900>TEMPO DOELOE</font><br />Mengemis di Kota, Mulia di Desa

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP memasuki bulan puasa, selalu ada pemandangan baru di sekitar persimpangan jalanan Jakarta, yakni "banjir" rombongan gerobak. Dari dalamnya berhamburan manusia menyapa kendaraan dan orang yang lewat sambil meminta belas kasihan agar diberi sedekah.

Pada 23 Juli 1983, melalui laporan utama, majalah Tempo pernah memotret kehidupan para pengemis dan menguliti trik-trik mengemis mereka. Cerita dimulai pada dinihari di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta. Para penghuni rumah bedeng di RW 03 mulai keluar. Ada lelaki tua yang dituntun seorang wanita. Lalu perempuan yang tangannya dibalut perban dengan baju compang-camping. Kemudian dua wanita diiringi anak perempuan. Dan akhirnya barisan empat wanita yang masing-masing menggendong anak. Mereka bergegas ke arah Patal Senayan. Tujuannya Masjid Al-Azhar di Jalan Sisingamangaraja.

Itulah sisa-sisa pengemis yang menghuni kawasan Simprug, yang tak merasa perlu mudik di hari Lebaran. Bahkan hari raya itu mereka sambut dengan niat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Seusai salat, aksi menadahkan tangan dengan memelas dimulai. Uang berjatuhan ke kaleng, ke tangan yang tengadah, ke pangkuan yang terbuka lebar. Mereka yang berwajah paling kusam dan yang menggendong bayi mendapat hasil lebih banyak. "Aku dapat tiga puluh sembilan ribu," kata seorang pengemis yang menggendong bayi.

Saat-saat seusai sembah­yang Idul Fitri memang terkenal sebagai masa panen di kalangan para peminta-minta. Pada hari raya itu seorang pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan di atas Rp 15 ribu. Sedangkan ketika sembahyang Jumat, yang seminggu sekali, mereka anggap sebagai panen kecil.

Tinah, pengemis di Simprug, menyebutkan, setiap Jumat, ia bisa mengantongi Rp 6.000 sehari. Pada hari-hari biasa hanya Rp 2.500. Ia biasa beroperasi ditemani anaknya yang kecil. Pernah pula Tinah meminjam bayi tetangganya. Dengan bayi di gendongan, hasilnya lebih banyak. "Tapi saya harus menyewanya," ujar Tinah.

Lagak pengemis hampir sama di berbagai tempat. Siti, 45 tahun, yang beroperasi di Pasar Senen, Jakarta Pusat, selalu menggips kakinya dan duduk bersimpuh di depan toko. Anaknya, yang berumur sekitar lima tahun, tergeletak dengan kumal di sebelahnya. Ia tak perlu mengiba-iba. Orang yang merasa kasihan melemparkan uang ke pangkuannya. Ketika toko tutup sore hari, Siti pulang ke Gang Bungur dan gips dibuka. Tak ada yang kurang pada kakinya. Sehari ia bisa mendapat Rp 3.000. Dan masih banyak cerita jika kisah mereka dideretkan.

Lalu dari mana datangnya para pengemis tersebut? Ini salah satu ceritanya. Empat bus malam dari Jakarta beriringan memasuki Kota Pemalang, Jawa Tengah. Kendaraan itu kemudian menuju Kecamatan Randu Dongkal. Setelah melewati Kelurahan Warung Pring, para penumpang turun. Mereka berjalan menempuh jalan desa berdebu dan berbatu sepanjang hampir tujuh kilometer. Di Desa Kreyo, sanak saudara mereka menyambut dengan girang.

"Jika baru datang dari Jakarta, mereka kelihatan mewah. Siapa yang tidak bangga," kata Sugimo, 43 tahun, Lurah Desa Kreyo. Dia tak tahu persis berapa penduduk desanya yang merantau ke Jakarta. Yang aneh, semua pamong Desa Kreyo tak tahu pasti pekerjaan warga mereka di Ibu Kota. "Kebanyakan menjawab jadi karyawan pabrik."

Lurah ini bukannya tak pernah mendengar bahwa warga desanya di Jakarta hidup sebagai pengemis. "Boleh jadi berita itu benar, tapi saya tak berani memastikan," ucapnya.

Bekas Lurah Kreyo, Sumarta, 67 tahun, lebih tegas mengakui profesi yang dijalani warga desa. "Sejak dulu saya tahu. Tapi mereka tak sebanyak sekarang, sampai desa ini sepi," kata Sumarta terus terang.

Saking banyaknya pengemis dari sana, ada semboyan "Nek maring Jakarta, rekasa ngemis, namung maring desa ketingal mulya". Artinya, biarlah di Jakarta jadi pengemis, asalkan di desa tampak sejahtera. Nah, falsafah ini jadi kebanggaan. Dan itu kemudian berlaku di Desa Warung Pring, Rembul, Gombong Kembaran, dan Sedayur, semuanya di Kecamatan Randudongkal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus