Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Djoko Suyanto:</font><br />Saya Tak Ingin Masuk Partai

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN menuju masa pemilihan umum agaknya selalu merepotkan Djoko Suyanto. Lima tahun lalu, dia sibuk menyiapkan kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono pada Pemilihan Umum Presiden 2009. Kini, ketika Yudhoyono tak mungkin lagi mencalonkan diri, tantangan yang dihadapi Djoko justru semakin berat.

Sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, ia bertanggung jawab atas keamanan negeri ini. Tewasnya delapan anggota Tentara Nasional Indonesia oleh serangan kelompok bersenjata di Distrik Tingginambut dan Sinak, Papua, Kamis dua pekan lalu, mungkin mengawali persoalan keamanan tahun ini.

Meski tak terdaftar sebagai anggota Partai Demokrat, sebagai sohib dan bagian dari ring-1 Presiden Yudhoyono, Djoko seolah-olah tak terpisahkan dengan partai penguasa tersebut. Dia disebut-sebut cocok memimpin Demokrat, yang sedang terpuruk akibat berbagai kasus dugaan korupsi yang melibatkan kadernya. Termasuk dugaan gratifikasi yang melibatkan mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum. Lebih jauh lagi, tak sedikit pula yang terang-terangan mengajukan mantan Panglima TNI ini sebagai calon presiden pada 2014.

Ditemui wartawan Tempo Agoeng Wijaya, Qaris Tajudin, Maria Hasugian, dan Anton Septian, Rabu pekan lalu, Djoko, yang sepanjang wawancara menghabiskan dua cangkir teh rendah gula, tak mau tampak ambisius. Dia menolak menyebut tahun ini sebagai tahun politik. "Saya lebih senang menyebutnya tahun dinamis."

Wawancara dilakukan di rumah dinasnya di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan. Karena jarang ditinggali, rumah yang dipenuhi foto dan lukisan diri Djoko dan keluarganya itu sedikit beraroma lembap. Sehari-hari, Djoko memang menjadi tetangga Presiden Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor.

Apa yang sebenarnya terjadi di Papua?

Ini merupakan rangkaian kejadian yang tidak berdiri sendiri. Kejadian ini menunjukkan kelompok-kelompok keras di Papua masih ada.

Pada saat kejadian, sepuluh prajurit TNI yang dihadang dan ditembak itu tidak mengenakan seragam dan tak bersenjata. Bagaimana bisa? Bukankah itu wilayah operasi kelompok bersenjata pimpinan Goliat Tabuni?

Mereka tentara reguler yang sudah membaur dengan masyarakat sehingga tidak curiga akan terjadi penyerangan. Masalah ini sedang dievaluasi, bagaimana seharusnya prosedur standar untuk operasi di kawasan seperti itu. Bagaimanapun, mereka kan sudah tahu kondisi daerah itu seperti apa, seharusnya waspada.

Siapa pelaku penyerangan tersebut?

Terlalu dini menyebut pelakunya. Tapi setidaknya ada empat kelompok bersenjata di Papua. Ada juga pendukung mereka di luar negeri, seperti Benny Wenda di Inggris dan beberapa lainnya di Australia.

Dari analisis sementara, apa tujuan penyerangan ini?

Sejak 2004, pemerintah menerapkan pendekatan perekonomian dan kesejahteraan dalam menangani Papua. Pendekatan keamanan, seperti operasi pengejaran pada masa lalu, sudah enggak ada. Dengan tidak adanya operasi militer, kelompok bersenjata itu tak punya lagi alasan untuk menarik perhatian internasional.
Akhirnya, satu-satunya cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian dunia adalah menciptakan ketegangan Papua. Tujuannya supaya pemerintah Indonesia langsung memberlakukan keadaan darurat di sana. Kalau sudah begitu, lembaga-lembaga penggiat hak asasi manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan tertarik, "Wah, ada apa lagi, nih?"

Apakah memang sempat ada gagasan memberlakukan operasi militer di Papua? Panglima TNI bahkan sudah mengatakan siap jika operasi tersebut dibutuhkan.

Tidak ada. Setidaknya selama saya menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, hal itu tak akan terjadi. Kalau kami melakukannya, berarti terpancing oleh keinginan kelompok bersenjata tadi.

Lalu bagaimana pemerintah akan menangani kasus penyerangan ini?

Kami akan menerapkan tertib sipil. Artinya, penegakan hukum yang dikedepankan.

Bagaimana tertib sipil bisa diberlakukan jika jumlah personel TNI di Papua sangat banyak? Bukankah itu cenderung memancing bentrokan?

Lho… di sana hanya ada sekitar 16 ribu personel. Di Jawa, yang luasnya sepertiga Papua, ada 40-an ribu personel. Kok, enggak ada yang mempersoalkan? Selain itu, negara kita ini kepulauan sehingga tak mungkin militer dipusatkan di satu wilayah. Harus disebar. Keberadaan TNI di sana bukan untuk memusuhi orang Papua, melainkan sebagai strategi pertahanan negara kita.

Pemerintah bisa meredam kekerasan bersenjata di Aceh dengan merangkul Gerakan Aceh Merdeka. Mengapa tak dilakukan hal yang sama di Papua?

Dulu, ketika menangani Aceh, kami bisa mengetahui pemimpin mereka. Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, dan lainnya berpusat kepada Hasan Tiro. Bila kami bisa approach mereka yang di atas, pesannya akan sampai ke bawah juga. Di Papua, kelompoknya sangat fragmented. Jangan dikira tak ada upaya kami mendekati teman-teman di garis keras itu. Sudah dua tahun ada utusan khusus mendekati mereka dengan cara-cara seperti di Aceh. Hanya, agak sulit karena satu kelompok dan lainnya tak berkaitan atau merepresentasikan gerakan mereka.

Bagaimana dengan beberapa tokoh Papua yang ada di luar negeri?

Sama saja. Yang di luar negeri itu ditaati oleh siapa di Papua? Kami enggak tahu juga.

Mendengar jawaban Anda, rasanya kekerasan bersenjata di Papua tak akan berakhir dalam waktu dekat….

Ya, tapi kita tak boleh putus asa. Orang Papua yang menyesalkan adanya kelompok-kelompok bersenjata di Papua itu juga banyak.

Tadi Anda bilang, selama Anda menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, tak akan ada operasi militer di Papua….

Memang enggak ada.

Pertanyaannya: apakah sikap itu tak akan berubah jika Anda nanti menjadi Presiden RI?

Tidak usah berandai-andai menjadi presiden. Saya bukan anggota partai dan tak ada keinginan masuk partai. Untuk mencapai posisi presiden, kan, harus dari partai politik.

Tapi nama Anda sudah nyaring disebut sebagai kandidat….

Jujur ya, tahun 2013-2014 banyak orang bilang sebagai tahun politik, tahun yang keras. Tapi saya lebih senang menyebutnya tahun yang dinamis. Tugas saya tahun ini kan berat di bidang politik, hukum, dan keamanan. Jadi saya akan berkonsentrasi pada tugas sampai paripurna lebih dulu.

Sudah ada yang merayu Anda agar bersedia menjadi calon presiden?

Enggak ada.

Bukankah Partai Demokrat sudah berencana mencalonkan Anda?

Enggak ada, tuh. Itu kan analisis para analis atau pengamat.

Benarkah Anda memiliki tim kecil untuk "bersiap-siap" menghadapi pemilihan presiden tahun depan?

Enggak ada. Saya memang punya tim khusus speech writer, yang membantu saya yang sering diminta berbicara di depan bermacam-macam forum. Tapi ini bukan tim rahasia. Enggak ada. Untuk apa?

Misalnya Rachland Nashidik (Sekretaris Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Demokrat). Tampaknya, dia gencar sekali mempromosikan Anda?

Enggaklah….

Tapi sepertinya memang penyokong Anda sudah kesengsem….

Ya, memang saya cakep, ha-ha-ha…. Saya berteman dengan banyak orang, termasuk dengan Rachland dan Kasto (Kastorius Sinaga, Ketua DPP Partai Demokrat Departemen Hubungan Luar Negeri). Di luar itu, saya juga punya banyak teman.

Siapa saja anggota tim pembuat pidato itu selain Rachland dan Kastorius?

Banyak. Kalau membicarakan persoalan ekonomi, tentu saya enggak meminta mereka, tapi kepada yang lain. Tim itu enggak ada daftarnya. Swear, deh. Mereka sukarela. Jadi jangan diartikan macam-macam.

Saat ini teman dekat Anda, Presiden Yudhoyono, sedang kesulitan menghadapi masalah di partainya. Anda tak ingin membantu dia mengembalikan citra Partai Demokrat?

Diskusi ya sering, namanya teman. Sori, beliau presiden dan saya menterinya. Di luar itu, saya juga teman yang sering diundang ngobrol di taman belakang rumahnya. Kami tetanggaan. Pasti ada (pembicaraan soal Partai Demokrat), tapi bukan untuk menarik saya masuk ke partai. Dia sering bertanya, "Piye apike (bagaimana baiknya)?" Itu biasa saja.

Jadi Yudhoyono tidak pernah meminta Anda bergabung ke Demokrat?

Tidak, karena dia tahu saya tidak mau.

Ada yang bilang Anda cocok memimpin Demokrat karena netral, ketimbang kader yang terkubu-kubu setelah Anas menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek Hambalang.

Begini, kalau saya masuk dan memimpin, itu justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik, terutama terhadap kader yang sudah berangkat dan berkarya sejak awal partai itu berdiri. Kalau pemimpinnya diambil dari luar partai, kontroversinya akan bertambah besar.
Selain itu, saya kan bukan orang politik. Jadi, dari sisi itu, hampir impossible. Jika dimintai pendapat oleh SBY pun, saya akan menyarankan supaya Demokrat mengambil pemimpin dari kader. Masak iya tak ada satu kader yang baik dari sekian banyak. Pasti ada, cuma belum muncul.

Benarkah Istana ikut andil ketika surat perintah penyidikan Anas bocor ke publik sebelum diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi?

Jangan tanya saya. Yang jelas, saya menjamin kantor saya tidak pernah dipakai untuk urusan yang begituan.

Bagaimana pendapat Anda jika Partai Demokrat mencalonkan Kepala Staf Angkatan Darat Pramono Edhie Wibowo, yang akan pensiun Mei nanti?

Saya tidak tahu. Kan, yang memilih rakyat, bukan saya.

Pernahkah Yudhoyono menyinggung soal peluang pencalonan adik iparnya tersebut?

Beliau itu, sungguh, sampai sekarang belum punya pilihan. Apalagi dengan (turunnya) elektabilitas partai seperti sekarang ini.

Kalau benar Anda tak ingin jadi presiden, apa yang akan Anda lakukan setelah selesai menjadi menteri?

Pancasila. Pertama, pensiun dulu dari menteri. Kedua, momong cucu. Ketiga, menyenangkan istri, yang sudah lama terbengkalai, ha-ha-ha…. Keempat, golf. Kelima, main musik. Lengkap sudah. Selain itu, saya akan kembali ke aktivitas sosial.

Benarkah, untuk pengamanan menjelang Pemilu 2014, Presiden akan mempercepat pergantian Kepala Kepolisian RI, yang seharusnya pensiun Januari tahun depan?

Kok, Anda lebih tahu? Itu kabar kabur kanginan (tak jelas asal-usulnya). Sebagai Ketua Komisi Kepolisian Nasional, yang bisa memberikan pertimbangan dan mengusulkan Kapolri baru, sampai sekarang saya belum dimintai pertimbangan oleh Presiden.

Anda masih sering bermain musik bareng Yudhoyono?

Akhir-akhir ini sudah jarang. Beliau sibuk. Kalau saya, masih sering main musik. Di halaman belakang rumah saya ada aula yang bisa memuat 70-an orang, lengkap dengan alat musiknya. Tiga bulan sekali saya mengumpulkan beberapa teman di rumah untuk main musik.

Anda dulu pemain band?

Ya, dulu, ketika saya masih menjadi kadet dan perwira di Madiun.

Anda pegang alat musik apa?

Drum. Kalau cuma memukul drum, sampai sekarang saya masih sering.

Apa aliran musik yang Anda sukai?

Mau jenis apa? Mulai dangdut sampai jazz, saya suka. Tapi, karena saya masuk generasi tua, sudah pasti Beatles dan Bee Gees.

Anda bikin lagu juga? Biasanya, kalau sudah bisa bikin lagu, bikin album, lama-kelamaan jadi presiden….

Tidak, musik itu hobi saja. Sejak SMP, saya suka musik. Kata orang, kan, hidup harus ada keseimbangan antara otak kiri dan kanan. Kalau seimbang, seseorang bisa memimpin dengan bijak.

Bagaimana Anda menjaga ketahanan tubuh?

Saya rutin nge-gym di kantor, hampir tiap hari. Empat hari sepekan saya berangkat dari rumah jam lima. Bukan rajin, tapi menghindari macet. Sampai di kantor jam enam pagi, jadi masih sempat treadmill atau angkat beban. Kalau akhir pekan, saya main golf.

Berarti Anda belum mandi ketika berangkat ke kantor?

Belum. Saya biasa berangkat ke kantor pakai celana pendek. Setelah berolahraga, saya mandi di kantor.

Apa ilmu bela diri Anda?

Tidak punya.

Enggak biasanya tentara tak punya ilmu bela diri….

Ya, karena saya tidak punya musuh.

Apakah Anda berbisnis juga?

Tidak. Sepanjang hidup, saya hanya menjadi anggota TNI. Dan memang aturannya sekarang kami dilarang berbisnis, kan.

Tapi biasanya seorang jenderal punya banyak usaha?

Saya kan marsekal, ha-ha-ha….

Djoko Suyanto
Tempat dan tanggal lahir: Madiun, 2 Desember 1950 Pendidikan: l SMA (1969) l Akademi Angkatan Udara (1973) l RAAF Flight Training Course l F-5 Weapon Instructor Course, Williams AFB, Arizona (1983) l Joint Services Staff College, Australia (1995) l Kursus Reguler Lemhannas (1999) Karier militer dan politik: l Instruktur Penerbang Pesawat F-5 Tier l Komandan Skuadron Udara 14, Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun (1990-1992) l Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara di Jayapura, Papua (1992-1994) l Asisten Operasi Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I Bandar Udara Halim Perdanakusuma (1994) l Wakil Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi (1997) l Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara Iswahyudi (1997) l Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I l Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara II, Makassar (2001) l Komandan Pendidikan TNI Angkatan Udara (2002) l Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Udara (2003) l Kepala Staf Angkatan Udara (2005-2006) l Panglima TNI (2006-2008) l Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (2009-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus