Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo, 26 September 1992
Ribut Gubernur, Mengapa?
Memilih gubernur kini seperti memilih kepala desa. Tak ada calon unggulan dan tak ada calon pendamping. Setiap kontestan punya hak dan peluang sama untuk memperoleh suara terbanyak. Inilah percobaan Menteri Rudini yang untuk pertama kalinya diterapkan.
Konsekuensi pemilihan tanpa unggulan tentu mengandaikan adanya kompetisi bebas. Ini juga memungkinkan setiap fraksi di DPRD-lembaga yang akan memilih gubernur secara formal-lebih leluasa mencalonkan tokoh yang dipandangnya berbobot. Mereka, mestinya, tak diikat lagi harus memilih calon yang dirancang dari atas.
Dengan adanya kebebasan dalam pencalonan, persaingan, dan pemilihan semacam itu, tentunya tak terhindarkan adanya pergesekan kepentingan, adu suara, atau persaingan kekuatan. Proses dialektis inilah yang menjadi gejala dalam proses pemilihan gubernur.
Benang merah yang bisa ditarik dari balik ribut-ribut itu adalah adanya konflik kepentingan untuk duduk atau mendudukkan calon di kursi gubernur. Hanya variasinya yang berbeda. Ada persaingan di atas dan antarkelompok, seperti kasus Sumatera Barat, antarfraksi terutama Golkar dan ABRI, seperti di DKI Jakarta dan Sulawesi Utara, dan ada keinginan mendudukkan gubernur sipil atau bukan sipil, seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara dan Maluku.
ARSIP |   |
25 Juli 1947
Pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Hasyim Asy'ari, meninggal. Kakek Abdurrahman Wahid ini dimakamkan di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
27 Juli 1996
Peristiwa Sabtu Kelabu. Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, yang dikuasai pendukung Megawati, diserbu massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan. Massa Soerjadi dibantu aparat kepolisian dan TNI.
28 Juli 1825
Pangeran Diponegoro mengumpulkan bangsawan, seperti Pangeran Mangkubumi, Panular, Adinegoro, dan Adiwinoto, guna memobilisasi warga desa sekitar Selarong, Yogyakarta, untuk bersiap perang melawan Belanda.
29 Juli 1947
Pesawat Dakota VT-CLA milik perusahaan penerbangan India jatuh ditembak Belanda dalam misi kemanusiaan. Para perintis TNI AU tewas: Marsekal Muda Anumerta Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Udara Prof Dr Abdulrahman Saleh, dan Opsir Muda Udara Adi Soemarmo.
31 Juli 1947
Setelah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, beberapa negara, antara lain Australia, meminta Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan kepada Belanda, yang mengancam perdamaian dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo