Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parkir Berbayar di Jakarta
PARKIR di Jakarta? Sulit. Itulah yang dirasakan Gubernur Ali Sadikin saat baru mulai menjadi nakhoda di Ibu Kota. Tapi, tanpa gembar-gembor, urusan parkir kemudian diserahkannya kepada PT Parkir Djaya, tidak melalui tender. Perusahaan ini ditunjuk sebagai pelaksana tunggal pengelolaan pelataran parkir di Ibu Kota untuk jangka waktu lima tahun per 1 April 1972.
Tidak ada perubahan mencolok yang dirasakan warga Jakarta atas keputusan itu hingga 15 Mei 1972, ketika mereka menerima tanda bukti pembayaran retribusi yang dikeluarkan Dinas Pajak dan Pendapatan DKI. Inilah pertama kalinya pemerintah DKI Jakarta resmi memberlakukan parkir bayar.
Atas pemberlakuan itu, masyarakat wajib merogoh kocek, saat itu, Rp 15 untuk parkir motor, Rp 25 untuk mobil, dan Rp 50 untuk truk atau bus.
Tapi kemenangan PT Parkir Djaya sebagai pengelola tidak serta-merta membuat masalah parkir selesai. Ada beberapa tantangan lain yang harus dihadapi. Mula-mula soal jaminan keamanan. Dengan harga karcis yang terbilang murah, PT Parkir Djaya harus memastikan kendaraan tetap dalam keadaan baik, terhindar dari pencurian atau pencongkelan.
Tugas PT Parkir Djaya itu lebih berat dari perusahaan parkir di luar negeri, seperti Singapura. Di Negeri Singa, soal ganti rugi tak jadi masalah. Toh, sebagian besar pengemudi mengasuransikan kendaraannya. Pemilik kendaraan di Singapura juga tak perlu khawatir terhadap aksi pencongkelan karena barang-barang hasil jarahan di sana tak punya pasar.
Tantangan lain lebih besar, yakni memikirkan jalan atau cara untuk mengambil alih kerja eks pemborong parkir. Eks pemborong parkir ini bukan pengelola lahan biasa. Seperti cerita seorang pemborong bernama Samin.
Samin disebut berhasil mengumpulkan Rp 6 juta sebulan, dan hanya Rp 225 ribu yang disetorkan ke pemerintah DKI Jakarta. Mengambil alih lapak seorang Samin, yang dikawal tukang-tukang pukul, jelas bukan perkara mudah. Apalagi masih ada lebih dari 100 Samin yang menyebar di seluruh penjuru parkir Ibu Kota.
PT Parkir Djaya akhirnya mengundang mereka bermusyawarah. Rembuk massal ini dihadiri semua wali kota. Bahkan Parkir Djaya tak segan mengajak mereka bergabung sebagai tukang parkir resmi.
Perusahaan itu menghabiskan Rp 2,5 juta untuk mencetak karcis. Dari penghasilan yang diperoleh, Rp 20 juta akan disetor ke kas DKI setiap bulan—artinya Rp 240 juta per tahun. Seiring dengan naiknya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, uang itu mungkin akan bertambah—meskipun ujian bagi Parkir Djaya juga bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo