Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lagi: Rekening Gendut Pegawai Pajak

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKAYAAN fantastis seorang pegawai negeri tentu saja layak dicurigai. Sungguh tak masuk akal, seorang Dhana Widyatmika Merthana, pegawai pajak golongan III-C, menyimpan duit puluhan miliar rupiah yang disebar di 18 bank. Padahal harta resminya yang dilaporkan "cuma" Rp 1,2 miliar. Belum lagi miliaran dana tunai dalam rupiah dan dolar, emas lantakan, showroom mobil, truk, koleksi Mini Cooper DaimlerChrysler paling gres….

Kejaksaan Agung, yang sedang menyidik kasus mirip Gayus ini, hendaknya menerapkan prinsip follow the money. Ke mana saja transaksi keuangan mencurigakan itu mengalir, dengan siapa saja dia berhubungan selama ini. Semuanya bisa ditelusuri dari organogram ke samping dan ke atas. Direktorat Jenderal Pajak, tempat Dhana bekerja, kudu membuka pintu lebar-lebar bagi aparat kejaksaan untuk memeriksa Dhana dan istrinya, Dian Anggraeni—yang juga pegawai pajak—serta siapa saja yang patut diduga berkaitan dengan polah Dhana menimbun aset-aset ajaibnya.

Tersangka kasus ini sepatutnya dijerat dengan pasal berlapis, dari pasal tentang suap, soal korupsi, sampai Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Melalui ketentuan ini, bisa diterapkan pembalikan beban pembuktian. Majelis hakim kelak akan bisa memerintahkan Dhana membuktikan asal-usul duitnya yang mencapai Rp 60 miliar lebih itu. Kerja keras ini mengharuskan kejaksaan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, karena masih ada sejumlah rekening Dhana yang belum diblokir.

Kerja bareng antara kejaksaan, kepolisian, dan PPATK seharusnya terjalin sejak dini. Pusat Pelaporan mengaku secara rutin mengirimkan bahan temuan ke dua instansi penegak hukum itu. Nyatanya, bukannya ditindaklanjuti, temuan itu malah didiamkan, masuk bak sampah, atau bahkan dimanfaatkan sebagai alat untuk memeras. Padahal laporan hasil analisis sesungguhnya mengandung "isyarat" yang berpotensi melanggar hukum. Mei tahun lalu, misalnya, PPATK menemukan 2.392 laporan transaksi pegawai negeri yang mencurigakan, tapi tak ditanggapi.

Gegap-gempita penyidikan terhadap Dhana barangkali sudah dilakukan sejak dulu, bukan baru-baru ini saja—ketika rekeningnya makin tambun. Ingat perkara mafia pajak Gayus Tambunan, yang dipecat dan divonis tujuh tahun penjara—seraya menunggu vonis kasus lainnya. Begitu pula kasus Bahasyim Assifie, bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, yang menggelembungkan rekeningnya Rp 61 miliar lebih. Keduanya bermula dari laporan hasil analisis badan yang ketika itu dipimpin Yunus Husein tersebut.

Pencegahan pelanggaran hukum ini seharusnya diutamakan dengan mengefektifkan kinerja pengawas internal. Di setiap badan publik, termasuk Kementerian Keuangan, sudah ada inspektorat jenderal yang tugasnya mengawasi pelbagai kejanggalan, terutama menyangkut transaksi keuangan. Ada pula Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang bertugas memelototi transaksi aneh di setiap kementerian. Jika pengawasan efektif, pola korupsi yang kerap jadi modus di sektor pajak bisa dihindari.

Pengawas seharusnya peka terhadap praktek jual-beli "lahan basah" di sektor pajak yang menjadi benih korupsi. Pemerasan dari petugas pajak ke wajib pajak juga bisa dicegah. Sudah jamak dilaporkan bahwa petugas pajak kerap meminta sejumlah uang lelah sebagai jasa pengurusan administrasi perpajakan. Ada pula jurus negosiasi pajak yang dianggap saling menguntungkan antara petugas pajak dan wajib pajak. Dengan cara ini, wajib pajak mendapatkan pengurangan nilai pajak atau markdown yang harus dibayarnya secara signifikan, setelah menyogok petugas pajak.

Faktanya, lembaga pengawas internal melempem. Belum pernah terjadi ada pengawas "domestik" melaporkan hasil temuan janggal kelakuan korup pegawai negeri ke kejaksaan dan polisi. Ketimbang memprosesnya ke ranah hukum, mereka cenderung memberi sanksi administratif berskala ringan hingga usul pemecatan. Padahal, di lembaga yang menggiurkan lantaran setara dengan Rp 1.320 triliun pemasukan negara ini, sangat-sangat rawan pelanggaran pidana.

Menjerat mafia pajak dengan Undang-Undang Pencucian Uang merupakan keharusan. Bahasyim Assifie, misalnya, akhirnya divonis 10 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia terbukti melakukan pencucian uang dan korupsi sebesar Rp 64 miliar serta menerima suap Rp 1 miliar. Bahasyim didenda Rp 250 juta. Hartanya senilai Rp 60,9 miliar dan US$ 681.147 juga disita untuk negara.

Hukuman ini diharapkan mampu memberi efek jera. Kelak diharapkan tak ada seorang pun yang coba-coba menggarong duit negara, terutama di direktorat yang sangat prestisius sekaligus menggiurkan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus