Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSOALAN di PT Freeport Indonesia tak pernah ada habisnya. Sejak Freeport masuk ke Nusantara pada 1967, ada saja masalah berkaitan dengan perusahaan asing pertama yang berinvestasi di Indonesia itu. Beberapa pekan ini, nama Freeport kembali mencuat setelah beredarnya rekaman pembicaraan antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Ketiganya membicarakan rencana perpanjangan kontrak penambangan dan bagi-bagi saham yang akan dilepas Freeport. Setya dan Riza membawa-bawa nama Presiden Joko Widodo, menyatakan Presiden menyetujui rencana mereka. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang mendapatkan rekaman pembicaraan tersebut dari Maroef, lantas melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dalam persidangan di MKD, Kamis pekan lalu, Maroef mengatakan permasalahan penambangan Freeport di Mimika, Papua, sangat kompleks. "Pengaruhnya sangat besar terhadap sosial, politik, dan keamanan," ujarnya. Selain berurusan dengan pejabat dan pemerintah di pusat, perusahaan tambang ini sering bermasalah dengan masyarakat lokal.
Lewat artikel yang terbit pada 18 Februari 1978 berjudul "Ada Apa di Tembagapura", Tempo menulis berbagai perselisihan antara Freeport dan masyarakat Papua. Mulanya adalah penembakan seorang polisi yang tengah berpatroli, didahului dengan perusakan pipa minyak dan kabel telepon milik Freeport oleh masyarakat yang merasa belum mendapatkan ganti rugi.
Ternyata, menurut majalah Australia, The Bulletin, yang terbit pada 11 Januari 1978, itu bukan gangguan pertama. Sebelumnya, ada upaya meledakkan jalur kabel pengangkut biji tembaga dari tambang yang berada di ketinggian 3.000 meter, di Pelabuhan Amamapare, tepi Laut Arafura, tapi gagal. Diduga teror itu dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Jakob Prai.
Soal teror berupa pemotongan kabel telepon, pipa minyak, dan jalur kabel serta blokade jalur logistik yang kemudian berujung pada rencana peledakan di instalasi penambangan terkuak dari dokumen berbentuk telex yang berisi pesan dari direksi Freeport Indonesia ke markas besar mereka di New York. Ini diungkap harian Sydney Morning Herald.
Presiden Direktur PT Freeport kala itu, Ali Budiardjo, enggan menanggapi dokumen yang diungkap media-media Australia tersebut. Ia menyerahkan persoalan itu ke Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Kepala Pusat Penerangan Hankam ketika itu, Brigadir Jenderal Daryono, mengatakan letupan-letupan tersebut terjadi karena ada kelompok masyarakat yang tak puas dan perilaku masyarakat setempat yang masih suka berperang antarsuku.
Koran Tifa Irian, yang terbit di Jayapura, pada 4 November 1977 menuliskan kegelisahan suku Amungme yang berdiam di sekitar pertambangan. Mereka meminta ganti rugi karena hutannya telah dibabat habis. Tuntutan itu sempat dipenuhi Freeport, tapi meletup lagi karena suku Amungme menganggap kompensasi yang mereka terima masih jauh dari janji manis Freeport.
M. Pogolamun B.S.W., putra Amungme dari Kecamatan Akimuga, Kabupaten Fakfak, mengatakan mereka cemburu kepada para pegawai Freeport yang hidup mapan. Menurut dia, orang-orang sukunya mau maju serta ingin mendapat pula sabun, celana, dan pakaian.
Area penambangan Freeport memang masih merupakan kawasan yang sangat terisolasi ketika itu. Pesawat perintis jarang singgah ke Mimika. Pelabuhan Amamapare pun jarang disinggahi kapal, kalau bukan untuk keperluan Freeport.
Kekecewaan masyarakat antara lain ditunjukkan dengan menarik diri dari berbagai program yang dibuat pemerintah. Jika pemerintah berkeras hendak melibatkan masyarakat, aparat yang menggelar program itu harus menyediakan sabun, rokok, atau tembakau. Suku-suku di Papua sudah mulai paham bahwa ada uang yang telah dianggarkan bagi masyarakat di setiap program pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo