Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Akar Radikalisme di Indonesia

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ivan Armadi Hasugian mengaku menjadi simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) setelah berselancar di warung Internet milik kakaknya. Remaja 17 tahun ini menjadi tersangka percobaan pengeboman saat kebaktian di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, pada 28 Agustus 2016.

Polisi belum menemukan fakta bahwa Ivan bagian dari kelompok teroris yang selama ini diincar dan dicegah mengebom tempat-tempat publik. Ivan menjadi pelaku pertama pengeboman yang tak berafiliasi dengan kelompok teroris. Ia bisa menjadi semacam ekor radikalisme berlatar agama yang selalu merongrong Indonesia, seperti dilaporkan Tempo edisi 25 April 1981.

Dalam laporan ”Komando Jihad Sudah Selesai”, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo dan Menteri Agama Alamsjah mengumpulkan sejumlah ulama, cendekiawan, dan pemimpin Islam. Pemerintah memberi penjelasan mengenai latar belakang dan penyelesaian peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, yang terjadi pada Maret 1981.

”Supaya antara umat Islam dan pemerintah tidak saling mencurigai atau saling memfitnah,” ujar Sudomo, menjelaskan tujuan pertemuan. Kala itu ada anggapan bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menghendaki perkembangan Islam. Dia memaparkan kegiatan teror yang terjadi di Tanah Air antara 1976 dan 1981.

Pada 1976, pelakunya adalah kelompok H Ismail Pranoto (Hispran), yang menamakan diri Komando Jihad. Teror antara lain berbagai peledakan di Bukittinggi, Padang, dan Medan. Hispran kemudian tertangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman seumur hidup pada 1978.

Teror yang terjadi pada 1977 dilakukan oleh kelompok Hassan Tiro dkk, yang menamakan diri Front Pembebasan Muslim Indonesia. Gerakan yang memproklamasikan Negara Aceh Merdeka itu kini praktis telah dapat dilumpuhkan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Maret 1978, berbagai aksi dipersiapkan dan direncanakan oleh kelompok Abdul Qadir Djaelani, yang menurut Sudomo menyatakan diri sebagai penganut ”Pola Perjuangan Revolusioner Islam”. Djaelani ditahan dan diadili. Kini, setelah menjalani hukuman dua tahun penjara, ia dinyatakan bebas.

Yang paling lama bertahan adalah kelompok Warman dkk, yang menamakan diri Komando Jihad dan bergerak pada 1978-1980. Aksi mereka antara lain pembunuhan Parmanto, Pembantu Rektor I Universitas Negeri 11 Maret, dan pembunuhan mahasiswa IAIN Yogyakarta. Warman tertangkap, tapi konon berhasil melarikan diri.

Paling menarik adalah pengungkapan mengenai teror kelompok Imran dkk, yang menamakan diri Dewan Revolusi Islam Indonesia. Sudomo menunjukkan sehelai dokumen hasil sitaan dari pihak yang berwajib berupa surat kelompok Imran kepada Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Iran. Surat yang ditulis dalam bahasa Inggris itu mula-mula berisi ucapan selamat dan memuji keberhasilan Khomeini, terutama dalam menghadapi kekuasaan Syah Iran, kelompok Yahudi, dan komunis.

”Dewan Revolusi Islam Indonesia adalah sebuah gerakan bawah tanah yang akan berperang melawan rezim Soeharto, yang tidak setuju kepada ajaran Islam. Kami rencanakan untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto dan mengubahnya menjadi sebuah Negara Islam. Kami dan beberapa Perwira Angkatan Darat Indonesia telah mendirikan Dewan Revolusi Islam Indonesia pada tanggal 7 Desember 1975,” demikian sebagian isi surat. Surat yang diakhiri dengan permintaan bantuan spiritual dan material untuk merealisasi revolusi itu dicap Indonesian Islamic Revolution Board dan ditandatangani Imran Muhammad Zein sebagai leader (pemimpin).

Kelompok Imran ini, menurut Pangkopkamtib, yang menyerang pos polisi Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981 dan membajak pesawat terbang Garuda DC-9 Woyla. Berbagai kelompok tadi, menurut Laksamana Sudomo, mempunyai tujuan politis jangka panjang sama dengan DI/TII, yakni mendirikan negara Islam. ”Pendirian pemerintah jelas,” katanya. ”Kami pisahkan masalah agama dengan oknum-oknum penganut agama yang telah sesat melakukan tindakan kekerasan yang justru bertentangan dengan ajaran agama dan hukum.”

Hampir semua ulama yang diundang Sudomo keberatan penggunaan istilah Komando Jihad. Kepada pers, Sudomo mengakui, beberapa tokoh eks DI/TII pada 1971 memang dibina Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Tujuannya mengarahkan mereka supaya baik dan dikaitkan juga dengan pemilihan umum. ”Tapi, kalau dilihat dari perbuatan mereka pada 1976, jelas itu sudah out of hands dan di luar pengetahuan Bakin,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus