Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Eks Karyawan Merpati
PADA 6 April 2016, saya didatangi kuasa hukum PT Merpati Nusantara, Bapak Agung Cahyono, untuk sosialisasi program penawaran paket penyelesaian permasalahan pegawai (P5)/perundingan bipartit. Nyatanya itu bukan sosialisasi, melainkan pemaksaan untuk tanda tangan program P5, yang tak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Saya menolak menandatangani.
Pada 27 Juli 2016, saya dihubungi via telepon oleh pihak dari manajemen PT Merpati, Bapak Aries Munandar, mengenai program P5. Lalu, pada 3 Agustus 2016, saya menerima pesan pendek yang intinya pemaksaan pada program P5. Dengan ini, saya menyampaikan kepada pemerintah:
1. Jamsostek adalah hak setiap karyawan yang seharusnya disetor ke Jamsostek, tapi PT Merpati tak menyetor ke Jamsostek sejak Desember 2009 hingga gaji terakhir November 2013. Ini harus ditindaklanjuti aparat hukum.
2. Semua paket program P5 yang dibuat manajemen PT Merpati tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Ni Sayu Kade Swastiningsih
Pegawai Merpati Airlines Distrik Denpasar
Keluhan Dosen Universitas Riau
SETELAH pulang dari pendidikan S-3, sudah tiga kali saya menerima perlakuan tidak diperbolehkan mengajar, yaitu pada 2011, 2014, dan 2015, tanpa alasan jelas. Pada 2011, dengan dalih rapat dosen, tanpa kehadiran saya, mereka menonaktifkan saya. Padahal saya hanya meminta ditambah mata kuliah yang saya ajar karena pada saat itu saya cuma diberi dua mata kuliah. Saat itu teman saya yang masih tugas belajar di Bandung diberi empat mata kuliah dan sudah diperbolehkan mengajar di S-2.
Ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Pada 2012, saya hendak dipukul oleh seorang guru besar saat saya meminta hak mengajar di program S-2 dan meminta penilaian teman sejawat saat saya mengikuti sertifikasi dosen. Pada 2014, sepulang dari seminar internasional IIAS di Maroko, saya didemo. Mahasiswa yang mendemo mengakui bahwa kejadian itu dimobilisasi untuk mencemarkan nama saya. Di antara mahasiswa yang berdemo adalah anak dan saudara petinggi di institusi tersebut di mana mereka saya beri nilai tidak lulus mata kuliah karena tidak ikut ujian.
Pada 2015, saya melaporkan pemalsuan tanda tangan di beberapa skripsi mahasiswa yang saya bimbing yang dilakukan oknum pimpinan yang menandatangani di atas nama saya tanpa setahu saya dan saat ini mahasiswanya sudah wisuda. Kemudian saya melaporkan penggantian nama pembimbing di jurnal ilmiah tesis di mana saya sebagai pembimbing diganti namanya dengan nama orang lain yang sama sekali tidak terlibat dalam penulisan tesis mahasiswa tersebut. Bahkan saya temukan dalam jurnal itu dosen yang masih bergelar S-1 sudah membimbing tesis, sedangkan dosen tersebut sedang kuliah di program S-2.
Pada saat saya melaporkan pemalsuan tanda tangan, terjadi tindakan penghinaan kepada saya, bahkan sedikit penganiayaan. Saya tidak diperbolehkan masuk ruangan mengajar karena ruangan dikunci oleh petugas keamanan yang diperintahkan oknum pimpinan universitas. Mahasiswa diintimidasi tidak boleh mengikuti kuliah saya dengan ancaman nilai dari saya tidak akan diakomodasi.
Pada hari pertama saya masuk untuk mengajar, ada dosen yang tanpa persetujuan saya menjadi asisten saya mengunci ruangan dan saya tidak diperbolehkan mengajar, padahal saya sebagai dosen penanggung jawab. Dosen yang merampas mata kuliah saya itu adalah yang mengikuti pendidikan S-2 yang sembilan tahun tidak bisa menyelesaikannya. Selain itu, saya tidak diberi honor mengajar dan biaya penelitian.
Saya sudah melaporkan pelbagai kejadian itu kepada Kepolisian Daerah Riau. Buktinya berupa laporan LP/18/I/2015/SPKT/Riau tanggal 15 Januari 2015, LP/71/III/2015/SPKT/Riau tanggal 24 Februari 2015, dan surat laporan saya tentang HAKI ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau tanggal 10 September 2015. Sudah hampir dua tahun proses hukum berjalan, tapi tidak ada kepastian.
Dr Tuti Khairani Harahap, MSi
Pekanbaru
RALAT
PADA rubrik Pokok & Tokoh majalah Tempo edisi 29 Agustus-4 September 2016 di halaman 104 yang berjudul ”Maudy Ayunda, Menikmati Hal Berbeda” terdapat kekeliruan. Di alinea dua dan tiga tertulis kalimat ”Trinity, The Naked Traveler”, seharusnya ”Trinity, The Nekad Traveler”. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo