Saya merasa terusik untuk menanggapi tulisan "Merayap dari Bawah, Didukung dari Atas" (TEMPO, 25 Januari 1992, Luar Negeri) yang mendiskreditkan Al Azhar, Mesir, sebagai basis fundamentalis? Sebenarnya, secara dialektis, memberi corak "black and white" terhadap sesuatu hendaklah lebih dulu melalui data yang autentik dan absah agar asumsi kekinian TEMPO tak terjerembab dalam lubang kehampaan. Mahasiswa Al Azhar, yang TEMPO cap sebagai fundamentalis, adalah mahasiswa-mahasiswa yang menekuni berbagai ilmu pengetahuan, khususnya Islam, yang berorientasi kepada pembinaan umat dan dakwah Islamiah. Betapa absurd dan semenamenanya klasifikasi itu. Al Azhar sebagai lembaga ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain adalah perguruan tinggi yang didalamnya menyimpan segudang kualitas sejarah Mesir yang diukir oleh tokoh-tokoh ulama dan intelektualnya, yang dimulai jauh sebelum kemerdekaan Mesir. Satu contoh, di tahun 1807, ketika memanasnya kampanye dan propaganda sengit Perezer, seorang jenderal koloni Inggris yang mencoba menanamkan pengaruhnya di Mesir sebelum negeri itu ditaklukkan. Ketika itu Al Azhar tak tinggal diam dalam mematahkan semua bentuk infiltrasi asing ke negaranya. Ia bahkan tampil dengan jiwa dan semangat patriotisme membara yang dipelopori tokohnya, Umar Makram. Demikian juga Ahmad Orabi. Ia memimpin revolusi pada 1881 untuk mendongkel rezim Muhammad Ali yang menjadi boneka Inggris. Jadi, orang-orang Al Azhar tak pernah menutup mata setiap kali negeri itu dilanda krisis. Keberadaannya bahkan ia suguhkan sedemikian rupa, loyalitasnya semata-mata kepada agama, bangsa, dan negaranya. Di awal abad ke-20 dikenal tokoh-tokoh pujaan Mesir, seperti Muhammad Abduh, Rifaat al Thohtawi, Abdullah al Nadem, dan lain-lainnya kesemuanya itu adalah orang Al Azhar. Juga jangan lupa saham yang telah diberikan mahasiswa Indonesia yang belajar di Al Azhar, prakemerdekaan, di Kedutaan Besar Belanda di Kairo. Mereka melakukan aksi demo yang paling gencar untuk memaksa Belanda angkat kaki dari Indonesia. Jadi, Al Azhar yang dituding itu berstatus pengayom rakyat yang punya hak otonom dan memperoleh wakil-wakil tetap di Parlemen Mesir. Bahkan, Grand Syeikh (Imam Al Azhar) sebagai pemimpin tunggal spritual yang ditunjuk langsung oleh presiden. MAHYUDDIN AZHAR Mahasiswa Al Azhar 77 Misr & Sudan St. Flat Nomor 12 Hadaeq ElQobba Kairo Mesir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini