Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA bukan orang Ambon dan belum pernah ke sana. Namun keindahan kota ini dapat saya bayangkan melalui lirik lagu "Kota Ambon", sebagai berikut:Kota Ambon, Ibu Negeri Tanah MalukuKota tempat pertama kali bertemuDari jauh terlihat Gunung SalahutuBeta ingat dahulu beta di situBulan terang menyinari pasirnya pantaiBunyi gitar, swara nyanyi beramai-ramaiSioh Ambon dengan teluk yang indah permaiKapan tempo, beta lihat ale lagi…?
Saya sendiri tidak tahu siapa pengarang lagu ini. Namun lagu itu sering saya dengar melalui radio pada sekitar tahun 1950-an dalam program yang dinamakan Irama Lautan Teduh.
Dari lirik lagu di atas, saya membayangkan betapa indahnya Kota Ambon beserta pantainya, terutama di kala bulan purnama. Dalam bayangan saya, malahan lebih indah dari Pantai Hawaii tempat menari Maria Montez (The South Sea Queen) atau Dorothy Lamour (Hurricane), adegan film tempo dulu.
Namun, sekarang, melalui layar televisi dan Majalah TEMPO, yang saya lihat adalah puing-puing, hitam kelam, bekas kerusuhan antarwarga yang mulanya terjadi pada Idul Fitri 19 Januari 1999 ini.
Akar permasalahan yang sebenarnya menyebabkan kerusuhan ini tidak saya ketahui, karena banyak versi. Rohaniwan Franz Magnis Suseno, misalnya, menyarankan sebaiknya dengan rendah hati kita mengakui bahwa memang ada prasangka dalam hubungan Islam-Kristen. Sementara itu, sosiolog Tamrin Amal Tomagola menambahkan terdapatnya faktor-faktor supralokal dari tingkat nasional datang menindih. Faktor supralokal pertama adalah politik pemerintahan yang sangat sentralistis. Faktor supralokal kedua ialah intrusi sistem ekonomi kapitalistis ke kota menengah dan kecil, termasuk Ambon (TEMPO No. 17/XXVII/26 Januari-1 Februari 1999). Kemudian, berdasarkan jajak pendapat TEMPO No. 18 /XXVII/2-8 Februari 1999), 68 persen responden tidak percaya bahwa konflik yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh agama.
Setelah kerusakan sebagai akibat kerusuhan yang terjadi, mampukah kita merekatkan kembali kerukunan warga Ambon yang telah telanjur retak ini?
Bait terakhir lirik lagu di atas sebenarnya juga menanyakan hal yang sama. Pertanyaan "kapan tempo, beta lihat ale lagi" tidak semata-mata melukiskan kerinduan seorang pemuda Ambon di rantau terhadap kampung halaman beserta kekasihnya yang setia menunggu. Namun, lebih luas dari itu, kerinduan warga Ambon yang ingin mengembalikan kerukunan di kampung halamannya sesuai tradisi "pela gandong".
Jawaban pertanyaan ini berpulang pada warga Ambon sendiri, tidak pada Amerika, Australia, Belanda, dan Portugis. Dengan iman yang kuat, tekad membaja, dan percaya pada kemampuan sendiri, saya yakin warga Ambon bisa mengembalikan Kota Ambon seperti sediakala, malahan mungkin akan menjadi lebih indah lagi. Saya sangat risi membaca berita Amien Rais berangkat ke Amerika untuk menyampaikan usul agar pemerintah Amerika Serikat menekan RI untuk segera menyelesaikan berbagai kerusuhan yang sudah banyak menelan korban jiwa dan materi (Pikiran Rakyat, 7 Maret 1999). Saya "sedikit" lega membaca keterangan Amien Rais berikutnya, bahwa keberangkatannya ke luar negeri adalah dalam rangka tuntutan zaman dan sunah Nabi, yaitu memperbanyak silaturahmi (Pikiran Rakyat, 15 Maret 1999). Sedikit lega karena tanpa diminta pun sebenarnya "The Man From Uncle" ini senang mengobok-obok dunia.
Apabila anda membaca tulisan ini, mungkin saja saya dicap "Ambon Sorangan", ungkapan orang Sunda yang kira-kira sama artinya dengan "bertepuk sebelah tangan". Silakan saja. Bagi saya, "Ambon" identik dengan "manis". Semanis "cau" (pisang) ambon yang banyak tumbuh di Jawa Barat. Semanis dan segurih "bika ambon", sejenis kue yang terkenal yang justru dibuat di Medan. Setidak-tidaknya tulisan ini dimaksudkan sebagai dorongan semangat bagi masyarakat Ambon yang saat ini sedang berupaya merekatkan serpihan cermin yang telanjur pecah.
AYUB ZAYUSMAN
Jalan Mulya Bhakti 12
RT 003/011, Leuwigajah
Cimahi Selatan 40532
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo