Sudjoko
Mantan guru besar ITB, tinggal di Bandung
Minggu, 21 Maret 1999. Pada salah satu berita yang dibacanya, penyiar Indonesia di BBC mengucapkan kata-kata "operasi keamanan". Kemudian, lusanya, sang penyiar menyebut, "pasukan keamanan". Siapa yang dimaksud BBC? Ternyata, Serbia, negeri pecahan Yugoslavia yang terkenal karena pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan akhir-akhir ini punya "mainan baru", yakni Kosovo. Kedua kata itu tentu aslinya berasal dari security operations dan security forces. Kata security memang bertebaran dalam berita. Diplomat AS, Richard Holbrooke, lebih suka menggunakan istilah government forces, sedangkan pihak lain ada yang memberi julukan Yugoslav army dan Serbian special forces.
BBC juga memopulerkan sebutan police untuk penyerobot Serbia. Jutaan orang awam di Indonesia tentu membayangkan pak polisi pengatur lalu lintas, padahal yang dimaksud adalah tentara Serbia. Menyimak gaya eufemisme BBC itu, tidak terlalu salah pula kalau ada yang usil dan menjuluki tentara Serbia itu sebagai "satpam".
Siapakah perancang istilah "polisi" dan "keamanan" yang menyesatkan itu? Kalau politionele actie jelas, penciptanya adalah Jenderal Spoor. Pelaku "aksi kepolisian" ini tidak bersenjata sempritan, melainkan meriam, tank, dan pesawat terbang. Tapi itu riwayat lama dalam perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Sekarang di Serbia, siapa akrobat kata-kata? Yang paling masuk akal adalah pers Yugoslavia, yang dengan setia menjadi corong bagi Presiden Slobodan Milosevic. Tapi mengapa corong presiden? Jawabnya pendek saja: Milosevic ini diktator. Pers, polisi, tentara, pejabat, dan rakyat Serbia digenggamnya. Negaranya memang republik, tetapi dulu—tahun 1980-an—Milosevic menindas dan menyensor pers, serta mewajibkan Marxisme di semua sekolah. Atas jasa ini, pada 1986 dia diangkat menjadi ketua Partai Komunis Serbia. Supaya selamat, nama partainya itu diganti menjadi Partai Sosialis Serbia (1990). Nama partai berubah, tapi ulahnya sampai hari ini, ya, tetap seperti dulu. Cuma sekarang dia memakai pers dan TV untuk mengobarkan semangat ke-Serbia-an. Artinya, mengobarkan semangat kebencian terhadap rakyat Bosnia dan kini rakyat Kosovo yang hampir semuanya muslim.
Tentu saja kata "agama" dan "Islam" sama sekali tidak disebut-sebut dalam berita. Agaknya di belahan bumi Barat, pemimpin yang paling geram menyaksikan ulah Slobodan Milosevic adalah Presiden AS, Bill Clinton. Tapi dia tidak memprotes pers Yugoslavia atau menegur penyiar BBC. Yang dilakukannya adalah mengirim istrinya, Hillary, dan anaknya, Chelsea, ke Mesir, dengan acara melihat-lihat piramid dan bekunjung ke masjid. Clinton tentu mengharapkan agar KLA menangkap "isyarat" itu.
KLA adalah singkatan dari Kosovo Liberation Army, yakni tentara muslimin Albania. Setengah dari tujuh pasukan KLA sekarang mungkin sudah ditumpas "polisi" Serbia. Tokoh KLA seperti Ibrahim Rugova dan Hashim Thaci, yang hampir terbunuh di Paris, tentu punya sebutan lain untuk tentara Serbia. Cuma beritanya tidak ada, biarpun wawancara dengan mereka ada. Serbia tentu senang kalau berita-berita di dunia memakai istilah "etnik Albania". Tidak ada yang berkata muslimin Albania, misalnya.
Setelah berita Kosovo ini, seorang wartawan BBC bicara tentang ethnic cleansing and ethnic hatred. Lalu "dongengnya" ditutup dengan kalimat, "There is no longer law and order there." Dan there ini di mana? Hah, ternyata di Kalimantan Barat. Jadi, sejauh yang menyangkut kejadian di Indonesia, bahasa BBC bisa berubah.
Lalu dari mana BBC itu meminjam istilah ethnic cleansing?Tentu saja dari Radovan Karadzic, sobat Slobodan Milosevic. Karadzic sudah lama terkenal sebagai BB—bukan Brigitte Bardot, tetapi "Bosnia Butcher" alias Jagal Bosnia. Pada 1995 dia didakwa sebagai penjahat perang oleh PBB (United Nations War Crimes Tribunal) atas kejahatannya membantai muslimin Bosnia secara besar-besaran. Jauh sebelumnya dia sudah terkenal sebagai komunis, penjudi, koruptor, ketua Partai Demokrasi Serbia, dan penyebar kebencian terhadap Islam di Balkan. "Kaum muslim Bosnia sedang menyiapkan perang suci untuk mengubah Bosnia menjadi negara Islam!" begitulah Karadzic berkoar-koar kepada rakyat Serbia. Tapi penjahat ini tidak pernah ditangkap dan PBB pun tidak melanjutkan proses hukum yang sudah dimulainya.
Sehabis dongeng ini, muncul berita yang mengobral kata genocide. Kita boleh yakin, yang terpingkal-pingkal mendengarkan istilah itu adalah Milosevic dan Karadzic. Sebabnya, yang diberitakan ternyata adalah peristiwa di Rwanda pada 1994, ketika suku Hutu membantai setengah juta atau 800.000 orang suku Tutsi. Dua penjahat Beograd itu kira-kira berkomentar begini: "Untung, bukan kita yang dimaksud! Padahal dulu kita yang selalu dituduh melakukan genocide terhadap penduduk muslim Bosnia!" Dan pantas-pantas saja kalau kedua jagal rakyat Bosnia dan Albania itu mengucapkan terima kasih kepada pers, TV, dan radio. "Terima kasih atas crime cleansing terhadap kami!" kira-kira begitulah ucapan mereka. Ini tentu saja kalau kedua jagal itu memang merasa dibantu oleh media massa di Barat sana.
Sesudah itu—kendati di bawah ancaman bom-bom NATO—ethnic cleansing di Kosovo masih terus berlangsung. Begitu juga teror dan scorched earth policy alias membumihanguskan ribuan rumah penduduk muslim Kosovo. Dalam bahasa Inggris bisa disebut burn homes terror oleh para genociders. Tapi, karena berkaitan dengan Serbia, barangkali bagi telinga orang sana, kata-kata ini kurang sopan adanya. Serbia memang bukan Rwanda, dan tentang ini jangan sekali-kali kita lupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini